Setelah melalui perjalanan dan pertempuran yang hebat tadi, Yo benar-benar lapar. Yo pergi ke dapur untuk mengambil makanan. Wahh, Mama tahu aja makanan kesukaan Yo. Ada cumi goreng tepung, tempe bacem dan tumis kangkung. Mama juaranya kalau sudah nyenangin Yo dengan masakan lezat ini. Yo duduk di meja makan menikmati semua hidangan yang ada.
Tak lama setelah itu, ada sesuatu yang menggelitik telapak kaki Yo. Ia melongok ke bawah meja makan, eh ternyata ada Mulak yang sedang asik mengelus-elus dan menciumi kakinya. Hahaha, Mulak pasti merindukan Yo. Ahh, syukur saja Yo tidak membawa Mulak tadi, kalau tidak Mulak bisa celaka dengan semua hal yang menimpa Yo hari ini. Tapi bagaimana mungkin Mulak bisa melihat Yo? Sedangkan Mama dan Papa sama sekali tidak bisa? Mulak sepertinya memiliki kemampuan khusus. Yo meraih Mulak yang masih berada di bawah meja untuk ia peluk. Kemudian Yo meletakkannya di atas meja untuk ikut menikmati makanan yang banyak ini.
Tanpa sengaja, Mulak menyenggol sendok makan yang di atas meja hingga jatuh ke lantai.
“Shhh … Mulak hati-hati”
Suara itu membuat Mama ingin beranjak turun dari tangga, “Suara apa lagi itu? Ahh aku pasti salah dengar.”
Yo dan Mulak benar-benar kelaparan. Mereka menghabiskan semua makanan yang Mama sediakan, bahkan Mulak menikmati rendang jengkol yang sudah Mama hangati. Makanan lezat itu membuat Yo kalap hingga ia tak sanggup untuk berdiri karena kekenyangan. Belum lagi sambal terasi yang teramat pedas itu membuat bibirnya dower dan mukanya memerah. Keringat mengucur deras membasahi rambut dan wajahnya.
“Ha, benaran kamu mau makan jengkol itu Mulak? Kamu memang cocok berteman dengan Hanny. Pantasan Hanny sampai tergila-gila dengan rendang jengkol. Tak tahunya kamu lebih doyan. Ya udah, kapan-kapan aku minta Mama masakin rendang jengkol yang jauh lebih enak ya. Itu jengkol punya Hanny. Kalau Hanny ada disini, aku rasa kalian berdua akan berkelahi karena itu, hahaha” Ujar Yo tertawa tipis.
Mulak mengangguk dan dengan raut mukanya yang lucu dia mengunyah jengkol itu dengan lahap dan menuntaskannya. Mulak menjilati tangannya hingga bersih.
“Apa dari tadi kamu tak makan? Sampai kamu menjilati tanganmu hingga bersih, lidahmu kayak kain pel aja. Aku pernah bilang ke kamu tak mesti nunggu aku untuk kasih kamu makan. Kamu bisa ambil makanan sendiri kalau sudah lapar. Oke!” Ujar Yo mengingati Mulak.
Setelah selesai makan, mereka membersihkan semua piring kotor dan mengelap meja makan yang sudah berantakan dibuat Mulak. Mulak mengambil lap basah dan membersihkan meja dengan piawai.
“Ambil sikat gigimu, aku tidak mau bau mulutmu mengganggu komunikasi kita, Mulak”
Mulak bergegas ke kamar mandi dan mengambil sikat giginya yang berkarakter singa. Awalnya Mulak menolak menggunakan sikat gigi itu. Dia takut kalau karakter singa itu bisa saja hidup dan menggigit mulutnya. Setelah Yo jelaskan berkali-kali, bahwa karakter singa itu hanya mainan, akhirnya Mulak mau menggunakan sikat gigi itu, meski Yo memaksanya. Bahkan saat pertama kali memakainya, Yo yang turun tangan untuk menyikat gigi Mulak.
“Ukk, akk! Ukk, akk! Ukk, akk!” Mulak menunjuk pisang yang terletak di atas kulkas.
“Apa? Ini? Mau pisang? Ya udah, bersihkan aja dulu giginya, nanti aku kasih. Ahhh … dasar monyet! Ups!”
Mulak mendengar Yo mengatakan monyet. Itu adalah kata-kata yang sangat Mulak benci. Mulak mengambil air dan memercikkannya di wajah Yo.
“Maaf! Tuh pisangnya udah di atas meja,” ujar Yo mengusap wajahnya yang basah. Mulak merasa bersalah dan mengambil lap untuk mengeringkan muka Yo. Namun Yo menolak dan berujar “Udah, jangan cari perhatian. Aduh Mulak, lap itu memang mengeringkan mukaku tapi baunya tak enak. Ambil tissue aja!”
Bagaimana caranya Yo bisa berkomunikasi dengan Mama? Bagaimana pula Yo meminta bantuan Mama? Mama saja tidak bisa melihat Yo. Mulak memberikan bahasa isyarat untuk Yo agar segera naik ke kamarnya. Mulak berjalan di depan Yo persis seperti seorang pemandu. Mulak mendorong pintu kamar, itu tandanya Mulak ingin Yo membukanya. Setelah pintu terbuka, Mulak langsung naik ke atas meja belajar dan mengambil pena.
“Pena! Untuk apa? Apa kamu mau belajar nulis?”