Suara teriakan dengan bahasa aneh Si Pria Tua itu menjadi pengantar ritual. Kalimat ini ia ucapkan sebelum Si Jubah Putih terbaring melayang, hatcha habahaba hatcha habahaba hatcha habahaba habang hatcha habang hatcha habang halindo halimontang hamuna. Dia menengadahkan tangannya ke atas sambil berputar dan memejamkan mata. Semua tawanan bersujud dengan lutut menyentuh lantai dek sementara tangan di tengadah ke atas. Si Jubah Putih berbaring melayang di udara dan berputar sekencang angin. Yo, Hanny, Bona, Pak Obby, Mama dan Ibu Merry hanya menyaksikan mereka mengadakan ritual itu. Kapal bergoyang kencang seperti sedang diterpa badai di tengah lautan. Selagi mereka sibuk dengan ritual itu, Hanny tidak hanya tinggal diam. Dia mencoba membuka lilitan rambutnya, namun tidak berhasil.
Lempengan mata besar sudah berjalan keluar dari dalam rumah itu. Lempengan itu kini berada di bawah kapal sebagai landasan untuk menggerakkan kapal itu. Rumah itu menjadi titik balik menuju negeri Vietno yang sudah lama di nanti-nantikan si Jubah Putih.
“Bu Merry sekarang bagaimana? Katakan sesuatu, apa yang bisa kita lakukan?” Tanya Hanny pelan melingkarkan ke dua telapak tangannya di ujung bibir.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan. Bagaimanapun Si Jubah Putih itu tidak bisa dikalahkan. Hanya ada satu cara untuk mengurungnya kembali ke dunianya. Kita butuh lempengan mata. Entah ada di mana lempengan itu. Mustahil kita mendapatkan lempengan itu! Semua sudah terlambat, Nak. Berdoalah!”
“Han, apa yang baru saja dikatakan ibu itu?” Tanya Mama.
“Ibu ini tahu semua tentang kapal ini, Tante. Itu sebabnya matanya ditutup dengan kepingan aluminium yang telah digembok. Ibu itu bilang, kita tidak akan selamat. Mustahil untuk menemukan penangkal agar Si Jubah Putih itu bisa kembali ke dunianya”
“Katakan, apa yang bisa menangkal ini semua, Han?”
“Lempengan perak yang bersimbolkan mata dan hati, Tante”
“Katakan pada perempuan itu bahwa lempengan itu ada pada Tante”
“Apa, Tante? Lempengan itu ada pada Tante? Tante tidak bercanda kan?
“Tidak, Han!”
Hanny yang berada di dekat Ibu Merry membisikkan di telinganya perihal lempengan perak itu. Ibu Merry berkomat-kamit dan tangannya bergetar hebat. Barangkali, Ibu Merry bertanya-tanya, bagaimana mungkin lempengan itu ada di tangan Mama.
***
“Goncangan apa ini Mulak? Kepalaku pusing,” ujar Papa sambil memegang kepalanya dengan ke dua tangannya. Papa berjalan terhuyung- huyung menyusuri koridor. Sampai pada akhirnya Papa terhempas oleh angin karena proses ritual yang diadakan Si Pria Tua. Papa berpegangan di tiang kapal agar tidak terhempas lebih jauh.
“Berpegangan Mulak!”
Setelah angin kencang mulai reda, Papa dan Mulak kembali menyusuri ruangan lain untuk menemukan Yo dan Mama.
“Stop Mulak. Jangan bersuara. Sepertinya mereka ada di sana! Aku akan coba lihat dari dekat. Itu Mama … Mulak! Siapa yang berani mengikat Mama seperti itu. Oh tidak! Yo, Hanny dan Bona juga ada di sana.”
Papa bingung harus mulai dari mana. Papa tidak ingin rencananya untuk menolong Mama gagal karena kecerobohannya. Dengan sikap yang tegas dan keberanian yang tinggi Papa menyemangati dirinya “Aku pasti bisa! Ayolah Tuan Nando, kau pasti bisa menyelamatkan mereka semua!”
Kepulan asap yang membumbung tinggi itu membuat pandangan kabur. Kepulan itu menjadi salah satu bagian dari ritual yang tidak boleh terlewatkan. Tujuannya agar semua tawanan bisa menghirup asap mistis dari Si Jubah Putih. Papa memanfaatkan situasi itu untuk segera masuk dan melepaskan ikatan Yo dan yang lainnya.
“Apa ritualnya masih lama Bu Merry? Bagaimana kita bisa mengambil lempengan perak dari kantong Yo? Sementara dia berada di seberang sana!” Ujar Hanny cemas.
“Coba kau beri dia isyarat!”
“Sulit, Bu! Yo sama sekali tidak menoleh ke sini!”
Papa memotong tali yang mengikat tangan dan kaki Yo dengan pedang yang ia bawa.
“Papa!” Teriak Yo senang menghempas jauh tali yang mengikat tangannya.
“Shhh! Sekarang kau buka ikatan Mama dan bebaskan Hanny.”
Yo melepaskan ikatan Mama dan memotong rambut Hanny yang terlilit itu.
“Ohh Yo! Kau bisa membuat rambutku rusak”
“Kalau tidak kupotong, apa harus kutarik? Rambutmu bisa saja terlepas semua, Han. Sudah Han, keadaan tidak mengizinkan kita berdebat sekarang”
“Rambutku! Tidak! Teganya kau Yo! Padahal bulan depan aku mau ikutan lomba rambut terindah?”
“Kau pasti bercanda kan, Han?”
“Tidak ada yang memintamu untuk percaya, Yo. Lepaskan juga tali ikatan Ibu Merry, Yo! dia akan membantu kita untuk bisa keluar dari sini”
“Baiklah”
“Tante baik-baik saja?” Tanya Hanny cemas kepada Mama Yo.
“Baik Han” ujar Mama sambil berdiri. Kemudian Mama mengarahkan pandangan ke Yo dan memekik “Bantu Papa menurunkan Bona dari sana, Yo”
Papa meminta Yo untuk naik ke atas bahunya agar bisa memutuskan pengikat di kaki Bona. Terdengar suara braak “Aduh! Hampir saja leherku patah Yo. Seharusnya kau menangkapku di bawah tadi!”
“Siapa yang mau, Bon! Kalau aku di bawah, leherku yang bisa patah. Sudah ahh, yang penting kamu sudah turun,” tukas Yo sambil melompat dari pundak Papa.
“Hmmm!” Keluh Bona meringis sambil memegang lehernya dan menggerakkannya seperti gerakan patah-patah.
“Yo, sekarang juga keluarkan lempengen perak tadi dari kantongmu,” Pinta Mama sambil mengulurkan tangan kanannya.
Yo mencoba mengeluarkan lempengan itu dari kantongnya, namun lempengan itu tidak bisa ditarik keluar. Lempengannya itu lengket di kantong Yo. Mama berusaha untuk mengeluarkan lempengan itu namun tidak berhasil.
“Sini berikan pada Mama pedangmu, Yo. Mama akan merobek kantongmu agar kita bisa mengambil lempengan itu.”
“Apa? Apa tidak ada cara lain, Ma? Bisa saja bokongku terluka, Ma!”
“Tidak akan! Percaya sama Mama!”
Mama berhasil mengambil lempengan itu dan memberikannya kepada Ibu Merry.
“Tapi bagaimana dia bisa melakukan itu, Han? Matanya saja tertutup!” Ujar Yo meragukan kemampuan Bu Merry dengan meruncingkan ujung mulutnya seakan hendak bersiul.
“Yo, mata fisiknya boleh saja tertutup, tapi mata batin Ibu itu lebih kuat dari apa yang kau pikirkan.” Balas Hanny acuh.
Lempengan itu sudah berada di tangan Bu Merry. Dia merabanya dengan seksama hingga membolak-balikkan lempengan itu berkali-kali. Bu Merry hendak duduk bersila mengambil posisi sambil memegang lempengan itu. Namun Pak Tua sudah duluan beraksi meniupkan angin dari mulutnya hingga Bu Merry terhempas. Si Jubah Putih tetap masih berada dalam posisi melayang. Posisi yang mungkin tidak bisa diganggu gugat lagi. Ritual ini mungkin sebentar lagi akan selesai. Pengawal mulai menyerang mereka dengan bengis hingga melukai lengan Mama.
“Kau tidak apa-apa, Ma?” Tanya Papa cemas mendekati Mama.
“Cuma sakit sedikit, Pa! Jangan khawatir,” ujar Mama meringis memegang lengannya yang sakit.
“Han, bawa Tante dan Ibu itu naik! Biar Om, Yo dan Bona yang menghadapi mereka”
“Apa tidak sebaiknya aku ikut mereka Om?” Tanya Bona memelas.
“Tidak!” Jawab Papa Yo keras.