Selanjutnya mereka masuk ke hutan pinus yang lebat. Atmosfer hutan dengan hawa menyejukkan seakan menyambut gembira kedatangan mereka. Pohon pinus yang jangkung seperti pemain basket itu tumbuh rapi dengan jarak tanam yang nyaris sama. Daun lebat dari pohon yang menjulang tinggi itu tampak seperti sarang burung raksasa. Lingkar pohon pinus yang tidak terlalu besar itu membuatnya tampak gagah berdiri tegap menghias hutan laksana panglima perang selalu berada pada poros depan. Gesekan dedaunan pohon itu menghilangkan sunyi, persis seperti dua sejoli yang sedang berbincang hangat tanpa ada yang menggangu.
Tanaman pakis tumbuh sepanjang jalan. Kunang-kunang berkeliaran memamerkan cahayanya, hingga Grace ingin menangkapnya, namun kunang-kunang itu terbang lebih tinggi hingga sulit untuk meraihnya. Dedaunan cokelat yang bertebaran di tanah yang sudah menjadi humus itu tampak tebal hingga serasa sedang berjalan di atas keset katun tebal. Yo mengambil ranting besar untuk ia gunakan mengibas tanaman pakis agar leluasa berjalan.
Bona terkesima melihat jamur yang tumbuh di sepanjang jalan. Jamur-jamur itu tumbuh manis menumpang hidup di pohon-pohon besar yang sudah tumbang. Jamur itu mempunyai daya tarik tersendiri, hingga bona mendekatinya dan ingin memetiknya.
“Cantiknya” puji Bona mengendus aroma jamur itu dan hendak menjumput dengan jari-jarinya.
“Jangan dipetik, Bon. Jamur itu bisa saja beracun” Ucap Grace menepis tangan Bona.
“Bagaimana kalau aku memeluk pohon ini aja, Grace?” Sahut Bona sambil memeluk salah satu pohon pinus yang ada di dekatnya.
“Terserah”
Jamur berkepala merah itu tumbuh berkelompok seakan sedang bermain injit -injit semut timpah menimpah. Jamur itu seakan bergerak mengikuti mereka. Namun saat Yo dan Bona menoleh ke belakang, jamur-jamur itu tetap berada di tempatnya.
“Ada yang aneh, Yo”
“Aku tahu apa yang kau pikirkan!”
“Apa itu benar?”
“Ya, lalu kita harus bagaimana?”
“Apa kita harus lari?”
“Ide yang bagus”
Yo memberikan aba-aba go, kemudian mereka berlari sekuat tenaga.