Monyet-monyet itu memandang Hanny tajam dari kejauhan kemudian mengejarnya dengan beringas. Hanny berlari terpontang-panting hingga dia harus mencari tempat persembunyian. Mau tak mau Hanny masuk ke ruangan kamar mayat sebagai tempat persembunyiannya. Darah Hanny berdesir, bulu kuduknya merinding seketika hingga bibirnya gemetar, giginya menggertak, jantung berdebar-debar, nafas terengah-engah, tangannya kaku hingga matanya merem melek. Ruangan yang di masukinya ini dingin sekali hingga ia sulit bernafas.
Hanny melihat ada penutup kepala berwarna hijau dan putih, penutup mata, masker, sarung tangan, meja periksa organ, kereta jenazah, kantong mayat, apron plastik, label jenazah serta lemari jenazah. Hanny menelan ludahnya berkali-kali melihat mayat yang tergeletak di meja periksa. Lengannya bengkok, jari-jari kakinya hancur, sementara mukanya ditutup dengan kain kasa. Untung saja ditutup dengan kain kasa, kalau tidak mayat itu bisa saja melihat Hanny dengan bengis sama halnya dengan yang dilakukan monyet-monyet di luar sana. Barangkali mayat ini korban tabrakan. Hanny membiarkan ruangan ini tidak bercahaya dengan tujuan supaya monyet-monyet itu tidak mengetahui keberadaannya.
Namun Hanny mendengar suara krek krek krek seperti suara gagang pintu yang dibuka. Tanpa pikir panjang Hanny menarik lemari jenazah paling bawah ternyata ada mayat di dalam. Kemudian Hanny membuka lemari baris ke dua, ternyata juga ada. Ia membuka lemari paling atas ternyata kosong. “Syukurlah” ujarnya mengelus dada. Lemari itu terlalu tinggi untuk ia raih, Hanny menarik sebuah meja dan berdiri di atas supaya bisa masuk ke lemari jenazah itu.
Ohh Tuhan, mengapa aku harus masuk ke lemari jenazah ini? Orang mati saja belum tentu masuk ke lemari jenazah, lah ini orang hidup terpaksa masuk ke lemari jenazah. Maafkan saya ibu, bapak, adek dan yang lain-lain, bukan maksud hati saya mau mengganggu. Harap maklum. Aku harap ini bukan pertanda buruk, gumamnya dalam hati sambil menutup mata dengan bibir gemetar.
Suara monyet itu mulai memenuhi ruangan. Monyet-monyet itu mulai membuat kekacauan di kamar mayat ini. Hanny mendengar tempat tidur dorong itu dihempas ke arah lemari jenazah tempat Hanny bersembunyi dan terdengar suara bum dengan hentakan keras hingga membuat Hanny terperanjat karena kaget. Hanny menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara sedikitpun dan memejamkan matanya berharap supaya monyet-monyet itu segera keluar.
Namun siapa sangka, monyet-monyet itu menarik lemari jenazah bagian bawah namun tidak berhasil, mungkin terlalu keras dan berat untuk ditarik. Kalaulah mereka menemukan Hanny, ia bisa saja diterkam dan dijadikan mangsa oleh mereka. Hanny tidak mendengar suara apa-apa lagi, namun ia masih bertahan untuk tetap berada di dalam. Hanny merasa ini sebuah tipuan, barangkali monyet-monyet itu membuat siasat agar Hanny keluar. Apa aku bisa bertahan di sini, uhhh dinginnya. Aku bisa mati kalau berjam-jam di sini, keluh Hanny dalam hati.
***
Yo, Bona dan Grace akhirnya sampai di rumah sakit setelah melalui serangan bertubi-tubi dari para monyet itu.
“Kita menyebar, Bon”
“Maksudmu?”
“Kau pergi ke arah sana, aku dan Grace ke arah sini”
“Kenapa begitu, Yo?”
“Ada yang salah?”
“Benar-benar salah Yo!”
“Kenapa Bon” Ujar Grace.
“Ya ialah Grace, secara kamu dan Yo itu bisa bela diri, lah sementara aku? Ahhh … sudahlah, bisa saja aku diterkam monyet liar itu nanti!”
“Hmmm, benar juga. Ya udah Yo, aku dan Bona barengan, ya” ujar Grace.
“Hmmm” ujar Yo berlalu meninggalkan mereka berdua.
Yo menelusuri koridor demi koridor sambil berjalan tertatih sembari berseru “Ma, Han!” Yo mendengar suara krek, salah satu pintu ruangan terbuka, Yo mendengar cermat pintu mana yang baru saja terbuka itu. Yo menoleh ke belakang dan buk Yo terjatuh akibat dorongan dari seseorang yang berada di belakangnya. Yo membalik badannya dan berseru “Ma!” Mama tidak peduli dengan seruan Yo, ia menarik ke dua kaki Yo dan menyeretnya. Mama menghempas Yo ke dinding hingga membuat Yo teriak “Jangan, Ma”
Mama masih beringas dan hendak menghempas Yo kembali. Tak lama Papa datang dan memegang ke dua lengan Mama dari belakang. “Ada apa dengan Mama, Pa?” Tanya Yo meringis sambil memegang rahangnya yang sakit akibat hempasan Mama di lantai.
“Papa juga tidak tahu, Yo”
Mama memberikan perlawanan dengan membenturkan kepalanya ke wajah papa hingga Papa terluka dan mengeluarkan darah dari hidungnya. Papa berteriak keras, “Awww”
“Bertahan, Pa. Jangan dilepas.” Ujar Yo melangkah memasuki salah satu ruangan hendak mencari pengikat. Sementara Papa mendorong Mama menghadap ke dinding untuk menghindari perlawanan.
“Buruan Yo, Papa sudah nggak kuat. Mama sudah mulai berontak”
“Sebentar, Pa”
Yo membawa tali yang ia dapatkan dari lemari di salah satu ruangan yang ia masuki. “Ini talinya, Pa”
“Kamu yang ikat Yo, biar Papa yang nahan tangan Mama”
“Ayo Pa, giring Mama ke ruangan ini. Kita harus mengikatnya di jeruji jendela ini”
“Lalu bagaimana cara mengembalikan kesadaran Mama, Yo?”
“Aku akan berusaha, Pa”
“Kita harus segera mencari Hanny, Yo. Papa dari tadi mencari dia kemana-mana tapi belum ketemu.
***
“Hah” Hanny mengembuskan nafas dengan cepat setelah apa yang ia alami terkurung dalam lemari jenazah. Kalau sampai satu jam lagi aku di sini, aku bisa menjadi es batu. Ujar Hanny dalam hati. Bibirnya kaku sehingga sulit untuk digerakkan, sehingga Hanny mangap karena sulit untuk menutup mulutnya. Jemarinya meregang dan tak bisa ditekuk. Hanny memutuskan untuk keluar dari lemari jenazah itu dengan mendorong tubuhnya agar lemari bergeser ke depan. Hanny keluar dengan rambut urakan dan melirik liar memastikan bahwa monyet-monyet itu tidak berada di sana lagi. Hanny melompat ke luar dari lemari itu tanpa menekuk lututnya karena seluruh tubuhnya kaku seperti robot. Hanny berjalan menuju pintu dengan gerak patah-patah menggerakkan lengannya ke atas dan ke bawah, menggerakkan lehernya ke kiri dan ke kanan. Hanny meringis, “Ahhhh aku bahkan belum bisa menggenggam tanganku”
“Tante, Hanny!” Pekik Bona memanggil mereka.
“Kira-kira di mana mereka ya, Bon?” Tanya Grace
“Kalau aku tahu aku tidak akan teriak memanggil nama mereka Grace”
“Hmmm”
Apa? Bukankah itu suara Bona? Ampun bahkan untuk memegang gagang pintu ini aku kesusahan apa lagi teriak. Bodohnya kau Hanny, kau cukup menendang pintu ini, ujar Hanny dalam hati.
Hanny menendang pintu ruangan ini, kakinya yang kaku tidak menghasilkan tendangan yang begitu kuat, hingga tidak kedengaran. “Apa lagi yang harus kulakukan?” Keluhnya kesal. Kemudian Hanny membatin lemah, tidak ada yang bisa kuperbuat selain menekan sakelar lampu on/of ruangan ini, aku hanya membutuhkan kekuatan di ujung telunjukku. Jadi itu pasti bisa kulakukan.
“Bon, lihat lampu di ruangan itu kedap-kedip!”
“Benar Grace”
Grace mendekati ruang jenazah itu dan memegang gagang pintu untuk ia buka, namun Bona menahan tangannya dan berkata “Tunggu, untuk apa kau buka pintu itu, Grace? Apa kau tak tahu kalau itu kamar mayat?”
“Aku tahu”
“Lalu kenapa kau mau masuk ke sana? Seram ah Grace. Kita pergi saja dari sini, kita cari mereka di tempat lain”
“Kalau kau takut, kau tunggu saja di luar. Barangkali ada yang butuh bantuan di dalam sana!”
“Ohhh Grace, orang-orang di dalam sana sudah mati. Bagaimana bisa kau mengatakan ada yang butuh bantuan?”
“Biarkan aku masuk ke sana, Bon”
“Baiklah, jangan salahkan aku kalau ada sesuatu yang mengganggumu di dalam Grace”
“Tidak akan”
Grace menekan gagang pintu perlahan dan mendorongnya tanpa mengeluarkan suara. Hanny meletakkan kakinya di celah pintu kemudian mendorongnya agar pintu terbuka lebar. Grace terperanjat dan melepaskan tangannya dari gagang pintu dan menjerit “Setan … eh setan” Kemudian Grace bergerak mundur dan menginjak kaki Bona sambil berseru “Huuu”
“Aduhh … aduh Grace sakit tahu!” Keluh Bona menyeringai. Tak lama Bona berseru tegang “Mana, mana setannya Grace?”
Hanny keluar dari ruangan itu dan mendekati Bona. Dengan mulut mangap Bona berseru “Ada apa denganmu, Han?”
Hanny menanggapi perkataan Bona hanya dengan gelengan kepala
“Apa kau sudah mati, Han?” Tanya Bona sambil berjalan mengitari Hanny. Tambahnya lagi “Jawab dong, Han! Kenapa diam aja? Mulutmu sakit, ya?”
Hanny hanya bisa menggeleng dengan mulut mangapnya.
“Han, kenapa kau cuma menggeleng?”
“Siapa dia, Bon?