BRAKKKKKKKKKKK
“ WOI PAGI-PAGI UDAH MELAMUN AJA LO!” ngegas Rara yang sedari tadi memanggilnya tapi tak kunjung di gubris. Rara adalah teman kuliahnya mereka menjadi akrab sejak sah jadi maba. Rara adalah satu-satunya teman Nania di perkulihan, selain menjadi teman kuliah ternyata Rara juga kakak kelasnya sewaktu SMA dulu. Sedikit informasi Rara istirahat satu tahun, katanya: Cape, masa baru lulus sekolah lanjut kuliah, nanti otak gue lembek lama-lama kata Rara sih.
“Apaan sihh ra pagi-pagi teriak. Kuping gue enek nihh dengar lo teriak mulu,” kata Nania sembari mengusap kupingnya yang terasa panas akibat teriakan Rara.
“Dihhh salah sendiri di panggilin bukannya nyahut, Lo napa sih hobinya melamun mulu. Kerasukan baru tau rasa lo,” ucap Rara. “Laporan kelompok kita lo bawakan Na? hari ini jadwal kita presentasi,” ucap Rara lagi sekedar mengingatkan.
“Tenang aja gue bawa kok,” jawab Nania. “Lo udah pelajari semuanya kan Ra? Awas aja kalau belum.”
Rara memutar bola matanya malas. “Yaelah udahlah. Masa cewek sepintar dan sehits gue belum belajar. Mau taruh di mana muka cantik gue kalau belum,” jawab Rara sombong.
“Bagus dong kalau begitu. Nanti yang presentasi duluan lo.” Enteng Nania.
Rara melotot pada perempuan yang ada di hadapannya. “Wait minute. Lo tadi barusan bilang apa? Gue duluan? Yang presentasi? Gitu?!” bertubi-tubi pertanyaan yang di lontarkan Rara, tak terima dengan perkataan Nania barusan.
“Gak usah lebay, katanya tadi lo kan udah belajar. Katanya kalau belum mau taruh dimana muka cantik gue,” ucap Nania, sembari menirukan perkataan Rara dan mengeluarkan laporan yang telah mereka kerjakan bersama-sama.
Rara tertawa geli. “Yaelah na, guekan hanya bercandya. Lagian bukannya lo udah bagi siapa saja yang bakal presentasi duluan. Kok tiba-tiba gue duluan sih na,” memelas Rara. “Masa lo tega sih Na.”
Nania memutar bola matanya malas. “Yaudah, tapi ingat ya Ra presentasinya serius, Awas aja sebentar lo ketawa.” Ancam nania sembari melemparkan laporannya ke arah Rara dan di tangkap sempurna oleh Rara.
“Hehehe, aye aye captain." Ucap Rara hormat. "Lagian muka Edo tuh ngseselin banget, Pengen banget gue bungkusin. Tuhh muka apa panggung stand up comedy sih,” celetuk Rara.
Edo yang berusan menginjakkan kakinya di kelas mendengar samar-samar seseorang yang menggibahi dirinya pagi-pagi begini, Dan merasa seolah-olah arwahnya di panggil.
Mendapati sumber suara yang sepertinya sangat tidak asing baginya, Edo menghampirinya. “Eitssss apa-apaan nih, Pagi-pagi kok kuping gue panas,” ujarnya.
Rara orang yang menggibahinya kaget, entah dari mana anak kuntil kemasan saset ini ada di sampingnya. “Apaan sihh, Nimbrung aja anak kodok.” Ketus Rara kesal.
Edo mengibaskan rambutnya kearah belakang. “Memang yahh... Pesona sang Edo itu tidakk bisa di ragukan lagi, Buktinya nihh dua bocah tumbal pabrik mengaggumi gue sedari tadi,” ucap Edo sengaja di keraskan agar di dengar banyak orang.
Entah sejak kapan pulpen yang di pegang Rara sedari tadi, mendarat mulus di jidat Edo. Wow gercep bett yah tangan sih Rara.
“Makan tuhh pesona! pagi-pagi udah nurunin imun gue aja lo!” Kesal Rara.
“Awwww, sakit njing. Yang salah saha yang di timpuk saha. Aneh aja nih nenek sihir satu,” ucap Edo kesakitan, akibat terkena lemparan maut nenek sihir eitts Rara maksudnya.
Pertikaian antara Rara dan Edo bukanlah hal yang baru. Entahlah Rara dan Edo ini kalau ketemu bagaikan pulau Jawa dan pulau Bali, tidak bisa di satukan.
Nania yang merasa bosan dengan pertikaian Edo dan Rara. “Bisa gak sekali aja lo berdua kalau ketemu akur,” ucap Nania yang sudah tidak tahan.
Rara yang mendengarkan perkataan Nania barusan, membulatkan matanya sempurna. “Idwih najwis banget gue akur ama nihh siluman! Enek gue kalau lihat dia Na,” pekik Rara.
Edo yang tidak terima dengan penghinaan Rara. “Heh! nenek sihir! Siapa juga yang mau deket-deket ama limbah dunia!”
“Idwihh nggak kebalik tuh?!” teriak Rara.
Nania yang sedari tadi mendengar perdebatan Edo dan Rara rasanya pengen menghilang saja. Siapapun tolong Nania, tolong hentikan perdebatan ini, bawa Nania pergi entah kemana asalkan jangan ada dua makhluk senyawa ini. Tolong, Nania sudah tidak sanggup. RIP BUAT NANIA
Terpaksa harus Nania yang menghentikannya, jika bukan dia harus siapa lagi. “Edo dengan kerendahan hati gue mohon banget sama lo. Lo kemana kek asalkan lo ama Rara nihh. Cerai dulu sementara yahh, enek gue dengar lo berdua debat mulu,” kata Nania panjang lebar, jika bukan begini, mungkin saja pertikain Edo dan Rara tidak akan pernah kelar.
“Yahhhh, nggak asik lo Na. Baru aja gue mau ngehina nihh tumbuhan angker,” lesu Edo dan berlalu pergi entah kemana. (Author juga nggak mau tahu, terserah edo mau kemana.)
“Dasar si anyingg,” umpat Rara kepada Edo yang sudah menjauh. “Na, kok lo tadi nggak tunggu gue sih?” tanya Rara.
Rara dan nania kebetulan mereka satu kos, bedanya Nania berada di lantai atas sedangkan Rara berada di lantai bawah.
Nania memutar bola matanya malas. “Lo aja yang lelet Ra, hampir sejam gue di depan kamar lo. Ngetuk pintu, kayak orang gila tau nggak,” kesal Nania. Masalahnya ini bukan yang pertama kalinya tapi sudah berulang kali. Sudah jadi sarapan pagi buat Nania setiap kali mereka ada mata kuliah pagi. “Di telfonin juga nggak di angkat, lo itu kalau tidur, simulasi mati atau gimana sih Ra,” sambungnya.
Rara tertawa tanpa adanya rasa bersalah. “Yaelah Na. Lo aja yang manggilnya kurang tenaga,” celetuk Rara, mencoba membela diri.