DUBRRAKKKKKKKKKKK
“ Woi, pagi-pagi udah melamun aja lo!” bentak Rara, sambil menjitak pelan kepala Nania, yang sedari tadi diam kayak patung taman kota.
Nania dan Rara pertama kali akrab sejak awal masuk kuliah. Sebelumnya, mereka cuma sebatas kenal wajah, Rara adalah kakak kelas Nania sewaktu SMA. Dulu, hubungan mereka nggak dekat-dekat amat, hanya sebatas tahu nama dan sering lihat di lorong sekolah. Tapi semua berubah sejak mereka resmi jadi maba dan ternyata masuk jurusan yang sama. Cuma bedanya, Rara sempat ambil gap year Cape, karena katanya "Gila aja, baru lulus sekolah langsung kuliah, nanti otak gue overheat. Harus cooling down dulu, bro." Sekarang Rara adalah partner in crime nya.
Keakraban mereka mulai terbangun saat sering kebagian kelompok tugas bareng. Dari yang awalnya canggung-canggung awkward, lama-lama malah jadi partner ngeluh soal tugas, dosen killer, sampai drama perkuliahan lainnya. Mereka punya selera humor yang sama, sama-sama gampang kesel, dan punya hobi unik, saling lempar nyinyiran tapi tetap lengket kayak lem UHU.
“Apaan sihh ra pagi-pagi teriak. Kuping gue enek dengar lo, teriak mulu,” gerutu Nania, sembari mengelus kupingnya yang terasa panas. Korban teriakan Rara.
“Dihhh salah sendiri! Dipanggil kek patung pancoran. Lo napa sih, Na? Kebanyakan nonton drakor? Atau lagi cosplay jadi biksu semedi?" Celetuk Rara sambil menyipitkan mata.
Nania mengerjapkan mata, lalu mencibir. "Apaan sihh, Ra. Lebay, gue cuman lagi kontemplasi hidup, bukan kerasukan ataupun lagi cosplay."
Rara melirik sinis, bibirnya menyungging senyum miring. "Gue kira kerasukan, ternyata cuma kontemplasi hidup. Sok banget kayak tokoh utama drakor, padahal skripsi aja belum kelar."
Nania mendesah pelan, matanya melirik tajam ke arah Rara, "Kadang gue mikir, lo tuhh punya bakat alami jadi komentator hidup orang." Jedanya, "Tuh laporan kelompok kita gue bawa, hari ini presentasi, kan?"
"Yash! Aman!" Rara mendadak ceria. "Eh Tapi.......lo udah nyiapin semuanya, kan? Jangan-jangan, lo lupa lagi siapa yang bagian buka presentasi."
"Lo udah pelajari semuanya kan Ra? Awas aja kalau belum.”
Rara memutar bola matanya malas. “Yaelah udahlah. Masa cewek sepintar dan sehits gue belum belajar. Mau taruh di mana muka cantik gue,” jawabnya sombong.
Nania nyengir jahat. "Kalau gitu lo aja yang buka presentasi. Kan lo bilang cewek sepintar dan sehits lo udah belajar."
Rara membelalak, ngefreze, "Wait wait wait....Lo tadi barusan bilang apa? Gue, yang presentasi duluan? Na, please deh, jangan bercanda, gue bisa muntah glitter!”
“Gak usah lebay, katanya tadi udah belajar? Kan lo juga bilang 'mau taruh dimana muka cantik gue kalau belum',” ucap Nania, sembari menirukan perkataan Rara.
Rara tertawa geli. “Yaelah na, bercandya doang. Masa lo tega sih Na.”
Nania melempar laporan ke arah Rara, yang langsung di tangkap bak pemain basket profesional.
"Pokoknya inget ya Ra, presentasinya serius. Awas aja sebentar lo ngakak di tengah jalan," ancam Nania.
“Hehehe.....aye aye, captain," jawab Rara lantang. " Tapi serius deh, muka Edo tuhh ngeselin parah. Kayak hasil photoshoot gagal. Gue tuh Na, pengen banget ngebungkusin dia pake plastik kresek, terus titipin ke ekspedisi JNE tujuan planet lain, " celetuk Rara.
Baru menginjakkan kakinya di dalam kelas, Edo tiba-tiba berhenti, telinganya menangkap suara-suara familiar yang terdengar seperti gibahan pagi-pagi buta. Insting arwah penasaran dalam dirinya langsung aktif.
"Perasaan gue...... Kok kayak nggak enak gini yahh," gumamnya menoleh kanan kiri, lalu mendapati dua sosok yang tak asing sedang cekikikan. "Aha..... Ketahuan!"
"Eitsss, apaan nih? Baru sampe, kuping gue udah panas. Siapa yang gibahin gue dengan penuh cinta, hayoo?" nyengir Edo sok cool, sambil melangkah santai.
Rara, pelaku utama dalam gibahan itu refleks terkejut, entah dari mana anak kuntil kemasan jumbo ini tepat di sampingnya. “Apaan sihh lo? Nimbrung aja nggak pake permisi, dasar anak kodok!" Ketus Rara kesal.
Edo menyibak rambutnya ke belakang ala cowok-cowok di iklan shampo. “Namanya juga pesona, Ra. Sekali lewat, dua gadis langsung terpikat. Biasa. Karisma Edo itu nggak main-main.”
Tanpa pikir panjang, pulpen di tangan Rara melayang mulus dan mendarat tepat di jidat Edo. Plak!
“Makan tuh karisma! Lo tuh pagi-pagi bukan bikin semangat, malah nurunin imun!” semprot Rara.
“Aww, sakit njir. Yang salah saha ,yang di timpuk saha. Aneh aja nih nenek sihir,” rintih Edo sambil meringis, lebay tapi ngena.
Bagi anak sekelas, konflik receh bin absurd ini. Sudah kayak sinetron stripping, tidak pernah tamat. Tidak ketemu, kangen marah-marah. Ketemu, berantem. Nania yang duduk di dekat mereka hanya bisa menghela napas panjang.
“Eh bisa gak, sekali aja ketemu nggak ribut?” nadanya setengah memohon, setengah frustasi.
Rara langsung menatap Nania, seolah dia baru saja mendengar lelucon paling garing sejagad. “Astaga Nania. Gue akur sama siluman lele ini? No way. Enek gue lihat mukanya!”
Edo membalas dengan cepat,“Heh, nenek sihir! Kutil tuyul. Siapa juga yang mau temenan sama limbah dunia kayak lo!” Edo manyun sambil ngibas-ngibas tangan depan hidung.“bau-baunya toxic,” nyinyirnya setengah mati.
“Idwihh nggak kebalik tuh?!” teriak Rara.
Nania menatap langit-langit, seolah berdoa semoga langit terbuka dan membawanya kabur dari kelas ini. Tapi sayang, yang turun cuma debu.
Akhirnya, dengan seluruh energi sisa, Nania turun tangan. “Edo, sumpah ya… gue rela lo teleport ke dimensi lain dulu deh. Yang penting lo jauh dari Rara. Nih, suasana kelas udah kayak debat capres versi horor komedi.”
Edo manyun. “Yahhhh, gak asik lo Na, baru saja gue mau ngehina nih tanaman angker,” katanya sebelum melipir keluar kelas. Nggak jelas ke mana, dan sejujurnya Nania juga nggak peduli. Bebas. Entah ke mana, Nania juga malas tahu. (Author juga nggak mau tahu, terserah edo mau kemana.)
“Dasar si anyingg,” gumam Rara penuh kekesalan sambil melirik punggung Edo yang sudah menjauh. Terus dia balik ke Nania, “Na, kok tadi nggak tungguin gue sih?”
Kebetulan mereka satu kos, bedanya Nania berada di lantai atas sedangkan Rara berada di lantai bawah. Waktu masa pencarian kosan, keduanya sama-sama mengalami nasib sial ditolak terus, kosan penuh, atau tempatnya serem kayak setting film horor. Sampai akhirnya mereka menemukan satu kosan yang punya dua kamar kosong—sayangnya nggak sederet. Nania dapat kamar di lantai atas, sedangkan Rara di lantai bawah. Tapi itu bukan masalah besar buat mereka. Yang penting satu tempat, bisa saling nitip indomie, dan ada temen buat curhat tiap habis ketemu dosen yang hobi ngasih tugas dadakan.
Sejak saat itu, mereka jadi lebih dari sekadar teman kuliah. Mereka satu kos, satu nasib, dan satu frekuensi kombo yang bikin hari-hari Nania nggak pernah sepi dari drama dan suara teriakan Rara tiap hari.
“Lo aja yang lelet, Ra! Hampir sejam gue gedor pintu kamar lo, berasa jadi debt collector. Lo tidur apa mati suri sih?” ketus Nania. Masalahnya ini bukan yang pertama kali tapi sudah berulang kali. Sudah jadi sarapan pagi buat Nania setiap kali mereka ada mata kuliah pagi. “Di-chat kagak dibales. Di-call juga nolak mulu.” sambungnya.