Jaya menyandarkan punggung ke kursi, membiarkan kepalanya tenggelam di senderan. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba meredakan riuh di dalam kepalanya. Pikiran bercabang ke mana-mana. Semrawut. Penuh keraguan.
Seharusnya ini jadi kabar membanggakan dipercaya jadi pemimpin Turjawali untuk tahun ini. Tapi entah kenapa, rasa senangnya tenggelam di bawah tumpukan tekanan dan pertanyaan, kenapa harus gue?
Belum sejam sejak kabar itu menyebar, dan semuanya sudah terasa mendesak.
"Jay."
Suara di sisi kirinya terdengar, tapi tak langsung ia gubris. Bukan karena tak mendengar, hanya saja pikirannya masih tersangkut di jalan buntu.
“Jay. Melamun aja lo,” panggil suara itu lagi, kini terdengar lebih jelas.
Jaya menoleh pelan. Bukan dengan respons semangat, hanya sekadar menyadari keberadaan seseorang. Ia membenahi duduknya, lalu membuka laptop. Tangannya mulai mengetik seadanya—lebih ke mengalihkan fokus ketimbang benar-benar bekerja.
“Gue mah, udah biasa dicuekin,” celetuk Jodi dengan nada mengeluh bercanda.
Jodi, teman satu leting sekaligus tetangga mejanya, dikenal sebagai manusia paling bacot yang pernah singgah di hidup Jaya. Mulutnya jarang kehabisan bahan obrolan.
“Lo beneran jadi pemimpin Turjawali, tahun ini?” tanya Jodi, kali ini serius, walau tetap dengan nada usilnya yang khas.
Jaya tidak langsung menoleh. Tatapannya tetap pada layar laptop. “Seperti yang lo denger,” jawabnya datar.
Jodi bersandar santai di kursinya. “Nggak heran sih.”
Jaya akhirnya menoleh, satu alisnya terangkat, seolah ingin bilang, ‘maksud lo apa?’
“Yaelah, nggak usah sok merendah gitu dong, Bang Jay. Lo emang layak kok,” sambung Jodi cepat, menepuk-nepuk meja dengan gaya sok salut. “Kinerja lo aja udah kayak kombes muda.”
Jaya hanya tersenyum kecil. Tapi hatinya tetap berat. Bukan soal layak atau tidak, tapi soal siap atau belum.
Melihat itu, Jodi kembali fokus pada pekerjaannya tanpa banyak komentar. Baginya, Jaya memang pantas mendapat kepercayaan sebesar itu. Ia tidak terkejut sedikit pun—justru merasa wajar. Yang heran dan meragukan, biasanya memang mereka yang iri tapi tak berani mengakuinya.
Sementara itu, Jaya asyik berkutat dengan laptop, berusaha menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang sempat tertunda. Menjadi polisi bukan hanya soal berdiri di bawah terik matahari, mengatur lalu lintas, atau mengamankan jalan raya. Di balik seragam itu, ada pula tanggung jawab yang menuntut kerja otak dan keterampilan teknis. Seperti sekarang, menyusun laporan, menganalisis data, hingga menyusun strategi. Hal yang selama ini ia dan rekan-rekannya, seperti Jaya, hadapi nyaris setiap hari.
Saat Jaya tengah serius menatap layar laptopnya, jemarinya sibuk menari menyelesaikan laporan-laporan yang sempat tertunda. Suasana ruangan cukup tenang, hanya terdengar bunyi ketikan dan dengung AC yang samar.
Hingga tiba-tiba—
“Woi, Jay!!”
Pintu ruangan sontak terbuka lebar karena dorongan keras dari luar. (Untung nggak jebol, pikirnya sekilas.)
Refleks, Jaya dan beberapa temannya yang ada di dalam ruangan langsung terlonjak kaget. Ia nyaris menjatuhkan laptop saking terkejutnya. Matanya menatap tajam ke arah pintu, lalu menghela napas panjang saat melihat siapa pelakunya, lalu dengan santainya melangkah ke arahnya.
“Ini nih, Ketua Turjawali kita tahun ini?” celetuk salah satu dari tiga pria yang baru masuk, berdiri santai di depan meja Jaya. Suaranya cukup lantang, cukup untuk bikin beberapa kepala di ruangan menoleh. Mereka datang kayak rombongan audit, lengkap dengan ekspresi penasaran dan sedikit… kepo.
Jaya berdiri dengan cepat, refleks. “Siap, iya, Bang!” jawabnya mantap, berusaha menunjukkan sikap hormat meskipun dadanya masih agak sesak karena gugup.
Ketiganya tertawa kecil, penuh gestur senioritas yang nggak perlu dijelaskan. Mereka jelas lebih tua, lebih berpengalaman, dan lebih vokal.
“Gila, lo beneran kepilih, Jay? Pak Anton beneran percaya sama lo?”
“Yakin tuh, nggak salah orang?” tambah yang lain dengan nada menggoda.
“Iri aja lo, Babi.”
Bang Tigar, senior paling disegani—dan katanya paling eksis seangkatan. Ia menghampiri Jaya, menepuk pundaknya dengan pelan, tapi penuh makna. “Gue bangga sama lo, Jay. Gak sia-sia gue marahin lo dulu waktu latihan. Ternyata lo dengerin juga.”
“Lo ingat nggak, waktu pertama kali lo telat apel dan gue suruh lari keliling lapangan sepuluh putaran?” tanyanya, setengah senyum.
Jaya mengangguk pelan, geli sekaligus malu.
“Nah, lihat lo sekarang.” Bang Tigar mengangguk mantap. “Gue bangga. Lo punya potensi, dan sekarang waktunya lo buktiin. Bukan buat siapa-siapa, tapi buat diri lo sendiri.”
Nada bicaranya santai, tapi sorot matanya menyimpan kebanggaan yang nyata. Jaya hanya tersenyum kecil, tak tahu harus menjawab apa selain, “Terima kasih, Bang.”
“Ehh tapi…” Digo, senior dengan perut paling makmur, angkat suara sambil melipat tangan. “Lo tau dong tradisi di kantor kita?”
Jaya mengerutkan kening. “Tradisi?”
“Ketua baru = traktiran.”
Digo mengucapkannya dengan mimik serius kayak baca sumpah jabatan, sementara dua senior lainnya mengangguk-angguk setuju, pura-pura bijak.
Sudah jadi tradisi tak tertulis di kantor kalau junior naik jabatan, traktiran buat senior adalah harga mati. Nggak ada negosiasi.
Kebetulan jam istirahat sudah dekat. Jaya, meski baru menyerap semua ini, cuma bisa mengangguk pasrah. “Siap, Bang.”
Seketika, wajah ketiga senior itu sumringah. Mereka pun beriringan keluar dari ruangan, langkah mereka ringan, seakan kantin adalah tempat paling penting di dunia saat itu.
Jodi yang sedari tadi memperhatikan cuma bisa menghela napas lega. Ternyata senior-senior itu tidak sedrama yang dia pikir. Tidak ada teriakan, tidak ada gebrakan meja, aman terkendali.
Begitu Dimas dan para senior keluar ruangan, suasana kembali normal… ya, normal versi kantor, yang isinya bisik-bisik nggak penting dari rekan kerja yang mulutnya lebih aktif dari kerjaannya.
Jodi tidak ambil pusing. Dia cuma balik lagi ke laptop, ngetik sambil nyender santai. Pekerjaan tinggal dikit lagi, dan dia harus buru-buru selesain.
Perutnya udah protes dari tadi. Minta dikasih nafkah. Dan ini bukan lapar biasa—ini lapar level dunia akhirat. Yang kalau dibiarkan, bisa-bisa dia mulai ngeliat icon nasi padang muncul di desktop.
Dia menoleh ke arah jam dinding. “Bentar lagi istirahat, tahan dikit lagi,” gumamnya sambil nyambungin kerjaan.
•