🤍Hello everyone, I’m back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it’s not that interesting though....🤍💔❤️🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Pagi di Jakarta selalu dimulai dengan keramaian. Deru kendaraan, bunyi klakson bersahut-sahutan, aroma kopi dari warung pinggir jalan bercampur dengan debu kota. Namun, di sebuah apartemen sederhana berlantai sembilan, suasana justru berbeda. Senyap. Tenang. Terlalu rapi untuk ukuran seorang pria lajang berusia tiga puluh lima tahun.
Bara Leo Alveric nama yang hanya dikenal oleh keluarga dan lingkaran kecil mafia kelas atas sedang menyelesaikan ritual paginya. Bagi orang luar, ia hanyalah Pradito Karna, dosen di Universitas Alveric International School of Excellence. Orang-orang kampus mengenalnya dengan sebutan Pak Dito, dosen killer yang dingin, arogan, dan tak pernah tersenyum.
Di ruang tamu apartemen yang didominasi hitam dan putih, Dito sedang menata ulang beberapa buku di rak kecil. Tangannya menyusuri punggung buku satu per satu, memastikan setiap ujung sejajar sempurna. Helaan napasnya terdengar tenang, tapi matanya tajam. OCD yang melekat padanya membuat kekacauan sekecil apa pun terasa mengganggu.
Jam dinding menunjukkan pukul 06.10. Dito menoleh, lalu beranjak ke dapur kecil. Gerakannya terukur, seolah setiap langkah telah diprogram. Panci kecil sudah mengepulkan uap. Ia menyiapkan sarapan sederhana: telur dadar sayuran, roti panggang, dan kopi hitam tanpa gula.
Bagi dunia luar, ia hanyalah dosen biasa. Tapi kenyataannya, di balik kesederhanaan ini, ia adalah pewaris keluarga Alveric keluarga terkaya sekaligus paling berbahaya di Indonesia. Identitasnya disembunyikan rapat karena terlalu banyak musuh yang mengincarnya.
Pagi itu, ia terlihat tenang. Namun pikirannya selalu waspada, bahkan pada keheningan.
Di sisi lain, di asrama putri Universitas Alveric International School of Excellence, seorang gadis muda tengah bersiap. Ariana Prawira menatap bayangan dirinya di cermin. Rambut panjang cokelat gelap tergerai lembut, wajahnya polos tanpa banyak riasan, namun tetap bersinar dengan kecantikan alami.
“Na, sumpah ya, kalau kamu jalan ke kelas nanti, semua orang bakal berhenti ngeliatin lo,” komentar Annisa, teman sekamarnya yang tomboy, sambil mengikat rambutnya sendiri.
Ariana terkekeh kecil. “Kamu ini ada-ada aja, Nis. Aku biasa aja kok.”
“Biasa gimana? Lo tuh kayak bulan yang nyasar masuk kelas. Eh, lo sadar nggak, hari ini pertama kali kelas sama dosen killer.”
Ariana menghentikan gerakannya sejenak. “Pak Pradito itu?”
Annisa mengangguk cepat. “Iya! Dosen paling dingin di kampus ini. Katanya sih, tatapannya bisa bikin mahasiswa lupa cara napas.”
Ariana tersenyum tipis, merapikan blazer abu-abu muda yang dipadukan dengan rok selutut. “Kalau benar, semoga aku masih bisa pulang hidup-hidup.”
Keduanya tertawa kecil, tapi di dalam hati Ariana ada sedikit rasa penasaran. Ia tak tahu seperti apa sosok dosen itu. Hanya rumor-rumor yang beredar: keras, dingin, tak kenal kompromi.
🤍🤍💔❤️🩹🌹
Ruang kelas 3C sudah penuh. Mahasiswa sibuk bercakap, menyiapkan catatan, beberapa bahkan masih berswafoto. Suasana riuh seketika terhenti ketika pintu kayu terbuka.
Seorang pria masuk. Langkahnya mantap, tenang, tapi penuh wibawa. Kemeja putih rapi, dasi hitam tipis, sepatu kulit berkilat. Wajahnya keras, rahang tegas, sorot mata tajam seolah mampu menembus isi kepala setiap orang di ruangan itu. Rambut hitam disisir rapi ke belakang, tubuh tegap dan terawat.
Pradito Karna.
Tanpa kata pembuka, ia meletakkan tas kulit di meja dosen, lalu berdiri.
“Selamat pagi.” Suaranya berat, dalam, membuat bulu kuduk berdiri.