π€Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though....π€πβ€οΈβπ©ΉπΉ
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Langit sore Jakarta mulai berwarna jingga ketika Dito menyalakan mobil yang tidak selalu mahal. Suara mesinnya kasar, kontras dengan penampilannya yang rapi. Beberapa mahasiswa yang melihatnya keluar dari parkiran kampus sempat berbisik-bisik, heran kenapa dosen segarang itu hanya naik mobil sederhana di bandingkan dengan yang lain, Dito tidak peduli. Ia hanya ingin pulang.
Perjalanan ke apartemennya tak memakan waktu lama. Begitu masuk ke unitnya, ia langsung menyalakan lampu dan meletakkan tas di meja kerja. Seperti biasa, hal pertama yang ia lakukan adalah... merapikan.
Sepatu disusun sejajar sempurna. Jam tangan diletakkan di kotak kaca kecil. Dasi dilipat dengan presisi, tanpa lipatan yang salah. Ia membuka kemeja, menggantinya dengan kaos hitam sederhana, lalu berjalan ke dapur untuk menuang segelas air putih.
Namun, pikirannya tidak tenang. Tatapan itu kembali muncul dalam ingatannya, mata Ariana Prawira.
Mata yang sama dengan seorang gadis kecil yang pernah ia temui puluhan tahun lalu. Mata yang penuh ketakutan, tapi juga harapan.
Dito menutup matanya, memukul meja pelan. Tidak mungkin. Itu hanya kebetulan. Gadis itu pasti sudah... hilang. Lagi pula, nama belakangnya Prawira. Bukan Aldrich.
Ia berjalan ke balkon kecil, menyalakan sebatang rokok. Asapnya mengepul, terbawa angin sore. Dari atas, ia melihat hiruk pikuk jalanan, orang-orang berlalu lalang dengan kehidupan masing-masing.
Namun, hatinya tetap resah. Kenapa harus matanya? Kenapa harus dia yang masuk ke kelas gue? Ia menghela napas panjang. Di balik wajah dinginnya, Dito tahu dirinya sedang goyah.
π€π€πβ€οΈβπ©ΉπΉ
Di asrama putri, suasana jauh berbeda. Tawa dan suara musik terdengar dari beberapa kamar. Di kamar 207, Annisa sudah rebahan di ranjangnya, memainkan ponsel sambil ngemil keripik.
Ariana baru saja tiba, meletakkan tas di meja belajarnya. Ia terlihat lelah, tapi juga seperti membawa sesuatu dalam pikirannya.
"Na, lo nggak apa-apa? Mukanya kayak abis diseret setan keluar kelas," goda Annisa sambil tertawa.
Ariana tersenyum kecil. "Enggak kok. Cuma... ya, kelas pertama sama Pak Dito agak bikin tegang aja."
"Agak?!" Annisa langsung duduk. "Na, lo tuh jawab pertanyaan killer dengan santai banget tadi. Gue kira lo bakal langsung dihabisin di tempat."
Ariana terkekeh. "Nggak semenakutkan itu juga, Nis."
Annisa menggeleng dramatis. "Lo aja yang nggak sadar. Itu dosen... tatapannya serem banget. Kayak lagi ngebaca isi kepala kita."
Ariana terdiam sejenak. Ia tidak bisa menyangkal. Tatapan itu memang berbeda. Ada sesuatu yang menusuk jauh ke dalam dirinya.
"Tapi..." Ariana menarik napas, "aneh aja sih. Tatapannya itu... kayak pernah aku lihat sebelumnya."
Annisa memutar bola matanya. "Ya iyalah. Lo udah liat tadi siang kan?!"
Ariana tertawa kecil. "Maksudku bukan itu. Rasanya kayak... entah, familiar. Tapi aku nggak ingat pernah ketemu beliau sebelumnya."
Annisa mendesah. "Lo tuh suka halu. Ya udahlah, jangan kepikiran. Lo tau kan ada hal lain yang lebih penting?"