Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Malam itu, Ariana kembali gelisah. Ia menatap layar ponselnya, pesan dari Kenzo menumpuk. Semuanya penuh perhatian: jangan lupa makan, jangan begadang, semangat belajarnya.
Namun pikirannya melayang ke wajah Dito. Tatapan penuh kebencian, suara dingin, tapi ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Kenapa hatiku seperti ingin melawan, tapi juga terikat?
Ia memejamkan mata, dan mimpi itu kembali hadir.
Suara pintu berderit. Bau obat-obatan menusuk. Tangannya diikat, tubuhnya lemah. Lalu cahaya lampu senter. Seorang pria berbisik, suaranya panik tapi lembut.
“Jangan takut. Aku akan lepaskan ikatanmu. Lari secepat mungkin, jangan berhenti, Ara…”
Ariana terbangun dengan napas terengah. Ia menutup mulutnya agar tidak membangunkan Annisa. Air matanya mengalir.
Ara. Dia memanggilku Ara. Siapa?.
Di sisi lain, Dito duduk sendirian di ruang kerjanya. Kotak kayu itu lagi-lagi terbuka. Ia menatap foto kecil Ara Aurora Aldrich.
“Kalau kau masih hidup…” gumamnya pelan, “mata itu… sama persis.”
Ia meneguk minuman keras, mencoba menepis rasa bersalah yang menghantui. Tapi semakin ia menghindar, semakin jelas bayangan itu.
Deja vu tiap kali menatap Ariana bukan ilusi. Ia tahu ada sesuatu. Tapi ego dan amarahnya menolak menerima.
Baginya, Ariana hanyalah gadis materialis yang berusaha masuk ke keluarga Alveric lewat Kenzo.
Dan tugasnya adalah menghentikan itu.
🤍🤍💔❤️🩹🌹
Hari Sabtu, Kenzo menjemput Ariana. Mobil sport hitam berhenti di depan gerbang kampus, mencuri perhatian banyak orang.
“Aku ada kejutan,” kata Kenzo sambil tersenyum.
“Apa?” Ariana penasaran.
“Aku mau kenalin kamu ke seseorang. Jangan khawatir, aku di sampingmu terus.”
Jantung Ariana berdetak cepat. Ia ingin menolak, tapi tatapan Kenzo begitu lembut. Akhirnya ia mengangguk.
Mereka tiba di sebuah rumah mewah. Damian Alveric menyambut dengan senyum ramah.