You Are Mine

OkaSalsa
Chapter #10

Kemarahan Ariana Prawira

🀍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... πŸ€πŸ’”β€οΈβ€πŸ©ΉπŸŒΉ

Happy Reading.


.


.


.


.


.


Langit Jakarta siang itu mendung, udara terasa berat. Ariana melangkah masuk ke ruang kelas dengan pikiran yang masih kusut. Ia berusaha menenangkan diri: Hari ini cuma kelas biasa. Jangan mikirin yang aneh-aneh. Jangan mikirin Dito.

Tapi nasib berkata lain. Begitu masuk, ia langsung melihat Dito sudah berdiri di depan kelas, menulis sesuatu di papan. Jas hitamnya rapi, ekspresi wajahnya kaku seperti biasa. Tatapannya sempat menyapu seluruh ruangan, lalu berhenti sejenak pada Ariana.

Sekejap saja, tapi cukup membuat jantung Ariana berdebar. Ia buru-buru menunduk, mencari tempat duduk.

"Baik," suara Dito terdengar tegas, tanpa basa-basi. "Hari ini kita bahas analisis wacana. Saya mau tahu seberapa jauh pemahaman kalian."

Satu per satu mahasiswa ditunjuk, diminta menjawab pertanyaan. Suasana kelas tegang, seperti biasanya bila Dito mengajar.

Hingga akhirnya, giliran Ariana.

"Ariana Prawira," panggil Dito, suaranya berat. "Jelaskan, dengan contoh konkret, bagaimana framing media bisa membentuk opini publik. Dan jangan pakai contoh receh. Saya bosan dengan jawaban textbook."

Ariana menarik napas dalam, berusaha tetap tenang. Ia berdiri, menjawab dengan percaya diri, memberi contoh kasus aktual dari pemberitaan politik. Suaranya jelas, argumennya runtut.

Beberapa mahasiswa menoleh kagum. Bahkan Annisa yang duduk di samping berbisik kagum, "Lo keren, Na."

Tapi Dito hanya tersenyum tipis. "Menarik." Ia melipat tangan di dada. "Tapi... terlalu polos. Analisis kamu dangkal. Kamu bicara seakan media hanya memengaruhi orang bodoh. Padahal kenyataannya, framing jauh lebih kompleks dari itu. Jawabanmu... lebih cocok untuk lomba pidato SMA."

Kelas hening. Ariana merasakan darahnya naik ke wajah. Ia menggigit bibir, menahan diri.

"Saya... bisa kembangkan lagi, Pak," ucapnya hati-hati.

Dito melangkah mendekat, tatapannya menusuk. "Kembangkan? Atau sekadar asal bunyi biar terlihat pintar? Kamu kira saya tidak tahu cara mahasiswa menutupi ketidaktahuan mereka dengan kata-kata manis?"

Beberapa mahasiswa saling pandang, suasana makin canggung. Ariana ingin membalas, ingin berteriak bahwa ia sudah berusaha keras, bahwa ia tidak pantas dipermalukan begini. Tapi lidahnya kelu.

Dia dosenku. Aku nggak bisa melawan. Kalau aku melawan, aku bisa hancur sendiri.

Dito menatapnya lama, lalu berbalik. "Duduk. Belajar lagi. Dunia nyata tidak memberi nilai berdasarkan kepolosan, Ariana Prawira."

Ariana duduk kembali, tangannya mengepal di bawah meja. Annisa menyentuh bahunya pelan, memberi dukungan. Tapi itu tidak cukup untuk meredam rasa marah yang membuncah.

πŸ€πŸ€πŸ’”β€οΈβ€πŸ©ΉπŸŒΉ

Lihat selengkapnya