🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Di depan halte itu, sebuah mobil hitam terparkir mencolok. Meski hanya sepintas, dia bisa langsung mengenalinya. Mobil itu milik Dito, dosen yang selama ini terkenal keras dan tak kenal kompromi, sekaligus seseorang yang begitu dihindarinya karena wataknya yang dingin. Rasa malas bercampur resah muncul, membuatnya hampir berbalik arah.
"Kenapa harus di sini sih mobilnya..." gumamnya pelan, berniat menjauh agar tidak perlu berurusan.
Namun pandangannya terpaku pada sosok lain di bangku halte. Seorang pria duduk membungkuk, bahunya naik-turun tidak beraturan. Cahaya lampu jalan menyinari wajah pucatnya. Jantungnya seolah meloncat ketika menyadari pria itu adalah Dito sendiri. Yang mengejutkan, tangan Dito menekan pinggangnya dengan kuat, darah mengalir dari sela-sela jarinya, membasahi kain kemejanya.
Dia menahan napas. Darah. Pemandangan itu seperti memukul memorinya, mengembalikannya pada trauma lama yang selalu berusaha dia kubur. Tubuhnya bergetar, keringat dingin bercucuran meski udara malam membekukan. Bagian terdalam dari dirinya berteriak ingin kabur sejauh mungkin.
Namun sisi lain hatinya berperang-itu bukan orang asing. Dito adalah dosen sekaligus seseorang yang cukup dekat dengan keluarga Kenzo. Tidak mungkin dia bisa membiarkannya begitu saja.
"Aku... aku harus bantu," bisiknya, lebih untuk meyakinkan diri sendiri daripada untuk siapa pun.
Dengan langkah hati-hati, dia mendekat.
"Pak Dito?" suaranya gemetar.
Pria itu mendongak, wajahnya pucat dan penuh keringat. "Kau..." suaranya serak, hampir tak terdengar.
Melihat kondisi itu, dia langsung panik. "Astaga... Anda terluka parah! Kita harus ke rumah sakit sekarang juga!" Katanya cepat, berusaha menopang tubuh Dito yang berat.
Namun tangan pria itu mencengkeram lengannya dengan tenaga yang masih tersisa. "Tidak... jangan ke rumah sakit."