🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Ariana berdiri terpaku di depan pintu besar yang baru saja terbuka. Dari luar saja mansion itu sudah begitu megah, membuat jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya yang dingin masih terasa bergetar, bukan hanya karena dinginnya udara pegunungan, tapi juga karena pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di kepalanya.
Dito… punya mansion sebesar ini?.
Rasanya mustahil. Setahu Ariana, dosen “Killer” itu selalu tampak sederhana. Penampilannya rapi tapi tidak pernah berlebihan. Tidak ada tanda-tanda kalau ia orang kaya raya. Bahkan gosip yang pernah beredar di kampus, Dito hidup hemat karena gajinya sebagai dosen tidak seberapa. Tapi sekarang Ariana melihat sendiri dengan mata kepala, Dito ternyata memiliki sebuah mansion misterius, lengkap dengan penjaga berseragam hitam dan gerbang otomatis.
Apa yang sebenarnya aku lihat ini?
Dua pria berpakaian hitam yang tadi menolong, kini membawa tubuh Dito yang lemah masuk ke dalam. Ariana menelan ludah, menimbang apakah ia harus benar-benar mengikuti atau lebih baik kabur. Namun sebelum sempat mengambil keputusan, suara berat salah satu penjaga terdengar:
“Silakan masuk, nona. Tuan Dito menginginkan Anda ikut.”
Nada suaranya datar, tanpa emosi, tapi cukup untuk membuat Ariana melangkah naik ke tangga marmer itu. Setiap anak tangga terasa menekan dadanya. Begitu melangkah masuk, matanya langsung disambut interior yang mewah namun suram.
Lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit, cahayanya redup, hanya memantulkan sedikit kilau pada dinding-dinding bercat gelap dengan ukiran klasik. Karpet merah membentang dari pintu hingga ke dalam aula luas. Aroma kayu tua bercampur wangi dupa samar-samar memenuhi udara, setiap detail mansion ini seperti menyimpan rahasia. Ada lukisan-lukisan tua dengan bingkai emas, menampilkan sosok-sosok berpakaian aristokrat. Bahkan ukiran di pilar kayu pun terasa seperti simbol yang tidak ia pahami.
Ariana menahan napas. Tempat ini tidak seperti rumah biasa. Rasanya seperti memasuki dunia lain, dunia yang lebih menyeramkan daripada indah.
Di ujung lorong di lantai 3 ada sebuah pintu kamar yang besar, Dito sudah dibaringkan di tempat tidur yang cukup besar untuk satu orang yang menempatinya. Dua penjaga sibuk menekan lukanya, sementara seorang wanita paruh baya berpakaian serba hitam datang membawa kotak medis besar. Gerakannya cepat, cekatan, seolah sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
Ariana berdiri canggung, tak tahu harus apa. Matanya terus memperhatikan Dito, pria yang kini tampak berbeda dari sosok “Dosen nggak punya apa-apa.” yang selama ini ia kenal. Wajah pucatnya tetap menyimpan wibawa, bahkan dalam kondisi sekarat sekalipun.
Kenapa dia punya rumah sebesar ini? Dan siapa semua orang ini?.
Bayangan keluarga Kenzo langsung melintas di benaknya. Ariana teringat jelas saat ia pernah diundang ke rumah Kenzo. Rumah itu pun sama-sama megah, penuh penjaga, penuh misteri. Saat itu ia masih merasa asing, tapi sedikit demi sedikit Ariana belajar bahwa keluarga Alveric keluarga Kenzo memang berbeda. Mereka bukan hanya kaya, tapi juga menyimpan kekuatan besar yang tak semua orang tahu.
Apa mungkin… Dito juga bagian dari keluarga itu?.
Pikirannya semakin kacau. Jika benar, kenapa Dito menyembunyikan identitasnya? Kenapa memilih menjadi dosen biasa yang terkenal killer, seolah hidup miskin? Apa semua itu hanya kedok?
“Kenapa dia bisa punya mansion?” Ariana berbisik tanpa sadar. Suaranya tenggelam dalam ruang luas itu, tapi cukup membuat wanita paruh baya tadi meliriknya sebentar sebelum kembali fokus pada luka Dito.
“Jangan berdiri saja, nona. Duduklah. Tuan Dito butuh ketenangan, dan kehadiran Anda sudah cukup membantunya,” ucap salah satu penjaga.
Ariana menurut, melangkah pelan ke kursi di sisi ruangan kamar tidur itu. Tubuhnya masih tegang, matanya tidak bisa berhenti mengamati sekitar. Setiap detail kamar itu seperti menyimpan rahasia. Ada walk-in closet, barisan lemari gantung tertata rapi di sepanjang sisi ruangan, jas, kemeja dan celana pria umumnya dan serba warna hitam semua yang tergantung dengan jarak presisi seolah setiap helai kain punya panggungnya sendiri, di sisi kanan memamerkan koleksi arloji yang berharga, sementara laci-laci tersembunyi menyimpan dasi-dasi yang disusun sejajar.Di pojok ruangan, deretan rak sepatu, menata puluhan pasang sepatu. di luar ruangan itu di pojok lain kamar tidur itu ada rak buku besar, penuh buku tebal dengan judul-judul asing.
Ariana meremas jemarinya sendiri. Pikirannya terus mengulang satu hal: Apa benar Dito juga Alveric?.
Dia ingat, dulu saat di rumah Kenzo, sempat melihat Dito hadir sebentar. Waktu itu ia tidak terlalu peduli, menganggapnya hanya tamu biasa atau kenalan keluarga. Tapi sekarang, mengingat kembali, kehadiran Dito tidak bisa sesederhana itu.
Jika benar Dito keluarga Alveric, maka semua sikap kerasnya di kampus hanyalah bagian kecil dari dirinya.
Ariana menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun rasa penasaran itu terlalu besar. Ia tidak bisa hanya diam.
“Pak… sebenarnya siapa Anda?” tanyanya pelan, meski tahu Dito mungkin tidak mendengar karena setengah sadar.
Namun anehnya, seolah mendengar suara itu, Dito membuka matanya sedikit. Pandangan lemah itu menatap langsung ke arahnya. Senyuman tipis muncul di bibirnya yang pucat.
“Kau… akan tahu… pada waktunya.”
Itu saja. Setelah itu matanya kembali terpejam, napasnya berat. Ariana tercengang. Kata-kata singkat itu justru membuat pikirannya semakin kusut.