🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Jari-jari Ariana akhirnya menyentuh jemari Dito. Hangat. Tegas. Seketika ia merasa tubuhnya kaku, seperti tersedot dalam sesuatu yang sulit dipahami.
Dito tidak membuang waktu. Ia langsung menggenggam lembut tangannya, lalu menariknya perlahan ke arah meja makan yang sudah dihiasi megah. Gerakannya anggun, seolah-olah mereka bukan hanya dosen dan mahasiswi, melainkan pasangan kekasih yang saling mencintai.
Ariana berjalan dengan langkah ragu, seakan setiap pijakan membawa dirinya semakin jauh dari realitas. Matanya berkeliling kelopak mawar bertebaran di lantai, lilin berkelip-kelip seperti bintang jatuh, dan musik klasik yang terus mengalun. Semua terlalu sempurna, terlalu mustahil untuk ditolak.
“Silakan,” ucap Dito, suaranya dalam namun tenang.
Ia menarik kursi di meja bundar itu, gerakan yang begitu sopan dan penuh perhatian. Seperti pangeran yang sedang mempersilakan putrinya duduk.
Ariana membeku di tempat. Hatinya berteriak tolak, ini salah! tetapi tubuhnya diam saja, menatap kursi itu dengan tatapan kosong.
“Pak Dito…” suaranya lirih. “Saya… saya tidak terbiasa dengan ini semua. Saya hanya...”
“Kau hanya perlu duduk,” potong Dito lembut, tapi penuh tekanan halus.
Ia menundukkan kepala sedikit, tatapannya menusuk namun juga menenangkan. “Percayalah, malam ini bukan tentang siapa dirimu di luar sana. Malam ini hanya tentang kita di sini.”
Kata-kata itu membuat Ariana semakin bingung. “Tentang kita?” ulangnya dalam hati. Apa maksudnya? Aku punya Kenzo. Aku tidak seharusnya ada di sini, tidak seharusnya menikmati semua ini.
Namun entah mengapa, kakinya bergerak sendiri. Ia melangkah maju dan perlahan duduk di kursi yang ditarikkan Dito untuknya.
Begitu ia duduk, Dito mendorong kursi itu pelan ke meja, gerakannya begitu penuh perhitungan seakan ia benar-benar terlatih dalam melayani. Ariana menunduk, pipinya terasa panas, bukan hanya karena malu tapi juga karena rasa bersalah.
Dito lalu duduk di kursi seberangnya, menatapnya dengan senyum samar. Lilin di tengah meja membuat wajahnya tampak lebih misterius, bayangan tajam di garis rahang dan matanya yang berkilat dalam cahaya temaram.
Maid yang sempat menyiapkan makanan sudah pergi semua, sehingga hanya tersisa dua piring di meja: hidangan steak yang masih mengepulkan aroma hangat, roti lembut, dan dua gelas anggur merah yang berkilau seperti darah.
“Cicipilah,” ujar Dito tenang. Ia mengambil sendok garpu, memberi isyarat agar Ariana melakukan hal yang sama.