🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Perut Ariana sebenarnya sudah terasa kaku karena terlalu banyak menahan gugup, namun Dito dengan santai mengambil garpu dan memotong daging steak di hadapannya. Ia mengunyah perlahan, tenang, seolah tidak ada beban apa pun.
“Kau tidak makan?” tanyanya dengan nada setengah memerintah.
Ariana menunduk. “Saya… belum lapar.”
“Jangan keras kepala,” Dito menghela napas singkat, lalu menatapnya tajam. “Makanan ini dibuat khusus untukmu. Kalau kau biarkan dingin, rasanya akan rusak. Saya tidak suka pemborosan.”
Nada suaranya membuat Ariana terdiam. Mau tidak mau, ia mengambil garpu dan mencoba mencicipi makanan di depannya. Daging itu lembut, sausnya harum, tapi setiap suapan terasa berat di kerongkongan karena pikirannya kacau.
Dito tersenyum samar melihatnya menuruti kata-kata. “Bagus. Kau tahu bagaimana caranya menghargai usaha orang lain.”
Mereka makan dalam diam, hanya sesekali terdengar suara garpu beradu dengan piring. Musik klasik masih mengalun, seolah mengiringi setiap gerakan mereka. Ariana berusaha fokus pada makanannya agar tidak terbawa suasana, namun sesekali matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Dito. Tatapan itu begitu intens, membuat wajahnya panas.
Setelah hidangan terakhir disantap, Dito tiba-tiba berdiri. Ariana mendongak kaget, melihatnya berjalan mengitari meja dengan gerakan tenang namun penuh wibawa.
Dito berhenti di sisinya, lalu sekali lagi mengulurkan tangan. “Maukah kau berdansa denganku?”
Ariana membeku. “D-dansa? Dengan saya?”
“Apakah itu terlalu sulit?” Dito mengangkat alisnya. “Lagipula musik sudah menunggu.”
Ariana menelan ludah. Ini gila… aku bahkan tidak bisa berdansa dengan benar. Tapi saat ia melihat tangan Dito yang terulur, jantungnya kembali berdetak kencang. Ada daya tarik aneh yang membuatnya sulit berkata tidak.
Akhirnya, dengan ragu, ia meletakkan tangannya di atas telapak Dito. Lelaki itu menariknya berdiri dengan lembut, lalu menggiringnya ke tengah halaman, di mana cahaya lilin dan kelopak mawar menjadi saksi.