Cahaya matahari menyelinap melalui tirai tebal kamar mewah yang bukan milik Ariana. Udara di dalam ruangan terasa pengap, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya sejak ia membuka mata.
Ariana menggeliat pelan. Tubuhnya lemas, kepalanya berat, dan ada rasa nyeri samar yang membuatnya tidak nyaman. Ia sempat berpikir mungkin karena terlalu lelah semalam, tapi begitu menoleh ke sekeliling, jantungnya langsung berdetak lebih cepat.
Ini bukan kamar tamu tempat ia biasa beristirahat di mansion itu. Ini… kamar Dito.
Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan gerakan gemetar, Ariana menarik selimut lebih rapat, mencoba memastikan apa yang terjadi. Namun saat ujung kain tersingkap sedikit, matanya membelalak. Tubuhnya… telanjang. Tidak sehelai benang pun melekat di sana.
“Tidak… ini… ini nggak mungkin…” suaranya bergetar, nyaris tak keluar.
Ia menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. Rasa sakit samar di tubuhnya kini terasa lebih jelas. Otaknya menyatukan potongan-potongan kenyataan dengan lambat, tapi semakin lama semakin menusuk. Ariana ingin meyakinkan dirinya ini hanya mimpi buruk, tapi saat tubuhnya geser untuk turun dari ranjang itu, Ariana tak sengaja melihat ke sprei bekas ia berbaring tadi disana ada noda warna merah kecokelatan yang mengering, itu membuat hidupnya menjadi runtuh.
“AAAAAKHHHHHHH!!!” teriak Ariana sekuat tenaga, jeritan panjang yang melengking memecah kesunyian. Suaranya penuh kepedihan, histeris, dan ketakutan.
Namun anehnya, tidak ada seorang pun masuk ke kamar. Para pelayan dan maid di luar hanya saling berpandangan, pura-pura tidak mendengar. Mereka sudah menerima perintah sebelumnya: biarkan Ariana sendiri, biarkan dia meluapkan histerisnya.
Salah satu pelayan senior mengangkat telepon genggamnya, menghubungi Dito yang sudah kembali ke kota. “Tuan… Nona Ariana sudah sadar.”
Suara Dito terdengar datar dari seberang. “Biarkan saja. Dia akan tenang sendiri. Jangan yang ada yang masuk kamar itu.”
Pelayan itu mengangguk pelan, meski hatinya sedikit goyah. Tapi siapa yang berani melawan perintah Dito? Tidak ada.
Sementara itu, di dalam kamar, Ariana semakin kalut. Ia memeluk dirinya sendiri, tubuhnya bergetar hebat. Air mata terus mengalir tanpa henti.
“Apa yang… apa yang terjadi sama aku…?” bisiknya dengan suara pecah.
Ia memaksa kakinya yang gemetar untuk bangkit. Jalannya terseret, menuju kamar mandi besar yang menempel di ruangan itu. Begitu pintu tertutup, ia ingin mandi, ingin menghapus semuanya, tapi semakin keras ia menggosok kulitnya, semakin ia merasa kotor, ia menyalakan shower.
Air panas mengguyur tubuhnya, bercampur dengan air mata. Namun rasa jijik itu tak juga hilang. Suara gemericik menutupi tangisnya, tapi ia sendiri tak sanggup berhenti menangis di bawah shower yang menyala itu.
Ariana menyentuh wajahnya, lalu menunduk, menangis lebih keras lagi.
Air yang mengalir dari shower itu, Ariana berkata betapa hancurnya dia saat ini.
“Aku… aku udah kotor… aku udah nggak suci lagi…” katanya lirih, tapi penuh rasa jijik pada dirinya sendiri.
Tepat air shower itu membasahi tubuhnya