🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Hari-hari di kamar lantai tiga itu semakin menyesakkan bagi Ariana. Setiap kali matanya tertuju pada ranjang besar di sudut ruangan, tubuhnya langsung gemetar. Bayangan malam itu terus menghantui. Ia teringat noda merah yang mengering di sprei, teringat tatapan dingin Dito, teringat bagaimana ia kehilangan sesuatu yang tak pernah bisa kembali.
Ranjang terasa seperti belenggu walaupun spreinya udah diganti. Tapi masih jadi saksi bisu yang menghakimi. Udara di kamar itu pun terasa semakin berat, membuat dadanya sesak setiap kali ia mencoba berbaring.
Sore itu, Ariana duduk di pojok ranjang sambil memeluk lutut. Air matanya sudah terlalu sering jatuh, tapi kali ini ia mencoba bicara. Saat pelayan senior masuk membawa makanan, Ariana memberanikan diri.
“Bi… saya… saya nggak bisa lagi tinggal di kamar ini,” suaranya serak, penuh getaran. “Setiap saya liat ranjang ini… saya seperti sesak nafas. Saya mohon… pindahkan saya ke kamar tamu yang dulu saya tempati. Tolong…”
Pelayan senior, seorang wanita paruh baya dengan wajah tegas namun mata penuh keraguan, menatap Ariana lama. Ia bisa melihat betapa rapuhnya gadis itu sekarang. Namun ia tahu, keputusan bukan di tangannya.
“Nona… permintaan ini… berat,” jawabnya hati-hati. “Hanya Tuan Dito yang bisa memberi izin.”
Ariana meraih tangan pelayan senior itu, menatap dengan mata penuh air. “Tolong sampaikan pada dia. Saya janji… saya nggak akan pergi. Saya cuma… saya cuma nggak kuat lagi di sini. Setiap kali saya lihat ranjang ini… saya merasa seakan jiwaku dicabik lagi. Tolong…”
Pelayan senior menelan ludah. Ada getaran halus di hatinya, sebuah rasa iba yang ia coba sembunyikan. Ia mengangguk pelan. “Baiklah. Saya akan bicara pada Tuan Dito. Tapi ingat, semua tergantung pada keputusan beliau.”
Malam itu, setelah memastikan Ariana kembali diam di kamar, pelayan senior menghubungi Dito. Suaranya tenang tapi terdengar cemas.
“Tuan… Nona Ariana meminta sesuatu. Ia ingin dipindahkan ke kamar tamu yang dia menempati waktu itu. Ia berkata merasa sesak setiap kali berada di kamar Anda. Katanya ia tidak kuat… karena trauma.”
Hening sejenak. Suara napas Dito terdengar di seberang telepon.
“Dia yang minta pindah?” Dito akhirnya bertanya, nadanya datar.
“Ya, Tuan. Dengan sangat memohon.”
Dito terdiam lagi. Di kursinya di apartemen, ia memutar gelas anggur, menimbang-nimbang. Baginya, setiap gerak Ariana adalah bagian dari permainan. Memberi sedikit kelonggaran bisa jadi bagian dari rencana, asal tetap ada kendali.
“Apa dia nggak akan kabur?” tanya Dito lagi.
“Tidak, Tuan. Ia berjanji tidak akan pergi. Ia hanya… trauma dengan kamar itu.”
Senyum tipis terukir di bibir Dito. Ada kepuasan dingin melihat Ariana bahkan tidak bisa menghadapi bayangan masa lalu. Itu tanda gadis itu makin rapuh, makin mudah dikendalikan.
“Baik,” katanya akhirnya. “Pindahkan dia ke kamar tamu. Tapi dengan syarat.”
“Syarat, Tuan?”
“Ya. Katakan padanya, aku mengizinkan hanya jika dia patuh. Tidak ada lagi pemberontakan, tidak ada usaha kabur. Jika sekali saja dia mencoba melawan… saya akan menyeretnya ke ruang bawah tanah. Mengerti?”
Pelayan senior menunduk, meski hanya bicara lewat telepon. “Mengerti, Tuan.”
Keesokan harinya, Ariana terkejut ketika pintu kamar itu terbuka lebih lama dari biasanya. Pelayan senior masuk dengan beberapa maid.
“Nona Ariana,” ucapnya dengan nada resmi. “Atas izin Tuan Dito, Anda boleh pindah ke kamar tamu lagi. Tapi ada syarat.”
Ariana berdiri cepat, matanya membelalak. “Benarkah? Saya bisa keluar dari kamar ini?”
Pelayan senior mengangguk. “Ya. Tapi Anda harus berjanji. Tidak ada pemberontakan lagi. Tidak mencoba kabur. Tidak melawan. Jika Anda melanggar, Tuan akan menyeret anda ke ruang tanah tepat dilantai bawah mansion ini. Mengerti?”
Ariana menggigit bibirnya. Hatinya berontak ia ingin bebas, bukan hanya dipindahkan. Tapi setidaknya, kamar tamu itu tidak membuat dadanya sesak seperti kamar Dito.
“Saya janji,” katanya lirih. “Saya nggak akan pergi… saya cuma nggak mau tinggal di sini lagi.”
Para maid membantu Ariana untuk pindah lagi ke kamar tamu dilantai dua mansion itu. Mereka membawanya turun melewati lorong panjang, lalu ke lantai dua. Ariana melangkah pelan, hatinya campur aduk. Bukan kebebasan yang ia dapat, tapi setidaknya ia menjauh dari ranjang terkutuk itu.
Saat pintu kamar tamu dibuka, Ariana hampir menangis. Ruangan itu masih sama seperti terakhir kali ia di sana: sederhana, tenang, dengan ranjang bersprei putih bersih. Tidak ada noda, tidak ada bayangan iblis.