You Are Mine

OkaSalsa
Chapter #26

Manipulatif Dito

🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹

Happy Reading.

.

.

.

.

.

Di ruang kerjanya yang remang, Dito duduk bersandar di kursi kulit hitam. Asap rokok tipis melingkari kepalanya, sementara layar laptop memutar ulang sebuah video. Wajahnya dingin, tapi sudut bibirnya terangkat membentuk senyum puas.

Di layar itu, Ariana tampak terbaring lemah di ranjang. Matanya tertutup rapat, jelas tertidur lelap karena obat tidur yang Dito berikan malam itu. Tubuhnya nyaris tak berdaya, sementara Dito yang sengaja mengatur semua sudut kamera tersembunyi merekam segalanya.

“Gue nggak perlu buru-buru nunjukin ini ke Kenzo,” gumamnya rendah. “Biarlah dia tersiksa dulu sama pikirannya sendiri. Waktu yang tepat pasti datang.”

Ia mematikan laptop, meneguk anggur, lalu tertawa kecil. Baginya, permainan ini baru saja dimulai.

Sementara itu, Kenzo duduk di kamarnya dengan wajah muram. Tangannya menggenggam kepala, memijit pelipis yang berdenyut. Sudah beberapa hari ia dihantui oleh mimpi tentang Ariana. Kata-kata Ariana dalam mimpi itu terasa begitu nyata, menusuk hingga ke dasar hatinya.

“Aku sudah berkhianat, Ken… aku nggak bisa lanjutin hubungan kita lagi.”

Kalimat itu terus bergema di kepalanya, bercampur dengan perkataan Dito beberapa waktu lalu.

“Lo pakai hati. Gue pakai logika. Cewek kayak Ariana… bisa aja bosan, bisa aja kabur. Bisa juga ketemu orang baru. Lo nggak pernah kepikiran? Jangan-jangan dia ninggalin lo.” lanjut Dito dengan senyum sinis. “Lo terlalu curiga, Kenzo. Dunia nggak muter cuma soal cewek itu. Kalau pun dia ninggalin lo, itu bukan urusan gue.” Dito mengangkat alis. “Manusia berubah, Kenzo. Dan cewek itu… lo nggak pernah benar-benar tau apa yang dia simpan.”

Kenzo menggertakkan gigi. Logikanya berusaha menyangkal, tapi hatinya tak bisa diam. Bagaimana bisa mimpi Ariana dan kata-kata pamannya terasa seirama? Apa benar Ariana memang meninggalkannya? Apa benar semua usahanya sia-sia?

Tidak. Hatinya menolak. Tapi bayangan itu menjeratnya seperti rantai.

Kenzo meninju meja kayu di depannya, membuat gelas air terjatuh dan pecah. “Sial!”

Keesokan paginya, Annisa tidak sengaja papasan dengan Kenzo di koridor kampus. “Ken, lo gapapa kan? Lo lagi sakit, kurang tidur ya lo muka lo pucet banget sh itu.”

Kenzo kaget dengan pertanyaan dari Annisa tepat didepannya itu, Kenzo dengan wajah kusut. Matanya merah, jelas semalaman tidak tidur.

Annisa kaget melotot melihat keadaan Kenzo seperti itu. “Lo gila ya? Lo mau jatuh sakit? Na nggak bakal ketemu kalau lo ancurin badan lo sendiri.”

Kenzo menghela napas panjang. “Gue nggak bisa tidur, Nis. Gue kebayang terus mimpi itu.”

Annisa mengerutkan kening. “Mimpi? Maksud lo?”

Kenzo ragu sejenak, lalu menceritakan mimpinya: Ariana datang, menangis, minta maaf, dan bilang sudah berkhianat. Annisa mendengarkan dengan ekspresi serius, lalu menepuk bahu Kenzo.

“Ken, itu cuma mimpi. Jangan kebawa perasaan. Gue yakin Na nggak gitu. Lo tau sendiri dia orangnya kayak apa setia, tulus. Dia nggak bakal ninggalin lo tanpa alasan.”

Kenzo menunduk, suaranya serak. “Tapi semua kejadian belakangan ini… kayak ngedorong gue buat percaya kalau Ara beneran pergi. Apalagi pam...”

Ia buru-buru menutup mulutnya. Hampir saja ia menyebut nama Dito.

Annisa menatap curiga. “Pam? Maksud lo apa, Ken?”

Kenzo menggeleng cepat. “Nggak, nggak ada. Gue cuma kelelahan aja. Jangan pikirin.”

Annisa menghela napas, meski masih curiga. “Lo jangan bikin gue tambah khawatir. Kita udah jalan sebulan lebih, jejak Na nihil, polisi nggak bisa bantu karena nggak ada bukti penculikan. Kalau lo juga nyerah, habis sudah.”

Kenzo mengangkat kepalanya, menatap Annisa dengan mata merah tapi penuh tekad. “Gue nggak nyerah. Gue bakal terus nyari. Cuma… gue takut, Nis. Takut kalau pas gue nemuin Na… dia beneran ngomong hal yang sama kayak di mimpi itu.”

Annisa terdiam, lalu menepuk bahunya lagi. “Kalau itu kejadian, kita hadapi sama-sama. Tapi sekarang, jangan berhenti jalan. Gue juga nggak bakal berhenti.”

Kenzo mengangguk pelan. “Makasih, Nis.”

Di sisi lain kota, Dito menerima laporan dari pelayan senior melalui telepon.

“Tuan, Nona Ariana sudah lebih tenang setelah dipindahkan ke kamar tamu lantai dua. Tapi… dia masih sering menangis sendirian. Beberapa kali kami mendengar dia menyebut tempat ini neraka.”

Dito terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. “Biarkan dia merasa begitu. Rasa takut itu yang bikin dia tetap tunduk. Jangan pernah biarkan dia merasa bebas.”

Lihat selengkapnya