🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Selama beberapa minggu terakhir, mansion itu terasa tenang. Damai. Hening. Seakan luka-luka lama yang membekas dalam diri Ariana mulai perlahan sembuh. Ia mulai belajar bernapas tanpa dihantui rasa takut. Mulai belajar tersenyum walau masih rapuh. Malam-malamnya tidak lagi dipenuhi mimpi buruk yang membuatnya terbangun dengan keringat dingin.
Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Ariana merasa hidupnya mungkin bisa normal kembali. Ia mulai menerima keadaan dirinya, menata hati, menuliskan kembali potongan kisah yang pernah hancur. Ia bahkan bisa menikmati sore hari dengan membaca buku di sofa kamarnya, sambil ditemani cahaya matahari yang menembus tirai.
Namun, kedamaian itu tak bertahan lama.
Sore itu, suara deru mesin mobil mewah berhenti tepat di halaman depan mansion. Semua pelayan dan maid yang berada di sana segera menunduk hormat. Dari balik kaca gelap, seseorang yang pernah membawa mimpi buruk untuk Ariana kembali muncul.
“Selamat datang kembali, Tuan Dito,” sapa kepala pelayan senior, terdengar kaku.
Langkah Dito keluar dari mobil, penuh aura angkuh yang menusuk. Tatapan matanya tajam, dingin, seakan sudah tahu persis apa yang akan ia lakukan di tempat itu.
“Di mana Ariana?” tanyanya pelan namun tegas, penuh tekanan.
“Nona Ariana ada di kamarnya, Tuan,” jawab salah satu pelayan dengan nada bergetar.
Tanpa menunggu lebih lama, Dito langsung melangkah masuk, menyusuri lorong mansion yang sunyi. Suara langkah sepatunya bergaung, membuat udara di sekitarnya seakan lebih berat.
Pintu kamar Ariana didorong hingga terbuka.
Ariana yang sedang duduk di sofa, membaca buku, tersentak kaget. Jantungnya seketika berdetak lebih cepat saat melihat sosok yang paling ia benci berdiri di ambang pintu. Aura gelap yang dibawa Dito memenuhi ruangan, menyingkirkan segala rasa tenang yang sempat ia genggam.
“Ka... Kau...” suara Ariana bergetar.
Dito melangkah masuk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis. “Kau terlihat sangat nyaman, Ariana. Sepertinya kau sudah melupakan siapa dirimu sebenarnya.”
Ariana mencoba menahan gemetar di tubuhnya. Ia bangkit berdiri, namun langkahnya tertahan oleh sofa di belakang. “Apa yang Anda inginkan dari saya sekarang? Dan apa Anda lakukan hal kotor itu kepada saya malam itu?”
Suaranya berusaha tegar, meski terdengar jelas getaran yang ia sembunyikan.
Dito mendekat, menatapnya dari atas ke bawah dengan penuh kesombongan. “Saya ingin kau tahu, kau tidak bisa bermain-main denganku atau keluargaku. Kau pikir bisa kabur? Bisa hidup damai setelah masuk keluarga Alveric?” senyum licik
Dito lalu mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya, menyalakan layar, dan dengan tenang memutar sebuah video.
Ariana menatap layar itu, matanya melebar. Tubuhnya langsung membeku.
Di sana terlihat jelas dirinya bersama Dito pada malam itu. Malam yang paling ingin ia hapus dari hidupnya. Malam yang ia bahkan tidak tahu telah direkam.
“Tidak... tidak... bagaimana bisa...?” bisik Ariana, air matanya jatuh begitu saja tanpa bisa ditahan.
“Tentu saja bisa.” Senyum Dito makin lebar, penuh kemenangan. “Saya tidak pernah meremehkan siapa pun. Termasuk dirimu, perempuan licik dan matre. Video ini... bisa saya tunjukkan pada siapa saja. Termasuk Kenzo.”
Nama itu membuat jantung Ariana seakan berhenti berdetak.
Dunia Ariana runtuh dalam sekejap. Semua kekuatan yang tadi ia coba bangun, kembali hancur.
“Ken...” suaranya patah.
“Ya. Bagaimana kalau saya kirimkan video ini ke dia?” Dito mendekat, menunduk hingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Ariana. “Kau tau apa yang akan terjadi, bukan? Kau akan kehilangan segalanya. Orang yang paling kau cintai akan meninggalkanmu. Karena dia akan melihat dirimu bukan sebagai Ariana yang suci dan tulus... melainkan hanya sebagai perempuan kotor yang jatuh dalam pelukan pria lain.”
Ariana terisak. Tubuhnya gemetar hebat.
Ia benci Dito. Ia ingin berteriak. Ia ingin melawan. Tapi rasa takut akan kehilangan Kenzo mengekang semua kekuatannya. Luka lama terbuka lagi, membuatnya jatuh ke lubang putus asa yang lebih dalam.
Dito menyentuh dagu Ariana, memaksanya menatap wajahnya. “Ingat ini, Ariana. Mulai sekarang, kau harus dengarkan saya. Jangan sekali-kali mencoba melawan, atau video ini akan berakhir di tangan Kenzo.”