🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Hari itu suasana mansion tampak sibuk. Beberapa Pelayan Senior dan juga maid berlarian di lorong membawa perlengkapan, sebagian sibuk membersihkan halaman depan. Dito berdiri di balkon kamarnya di lantai tiga, menatap pemandangan itu dengan tatapan tajam, rokok terselip di jarinya. Dari sana ia bisa melihat Ariana yang duduk di kursi taman, ditemani Maya.
Sudah saatnya.
Ia menghembuskan asap rokok dengan pelan, lalu berbalik masuk ke ruang kerjanya. Dari laci meja, ia mengambil buku catatan yang penuh coretan kecil rencana demi rencana bagaimana membuat Ariana lelah tanpa ada yang menyadari tujuan sebenarnya.
Mulai dari yang ringan dulu. Biar dia ikut kerjaan rumah, bukan cuma duduk manis. Lama-lama tubuhnya akan drop sendiri.
Beberapa menit kemudian, Dito memanggil kepala Pelayan Senior. “Kau, pastikan Ariana nggak terlalu banyak istirahat. Nyuruh dia bantu di gudang sekarang ini. Banyak barang lama yang harus dipindahkan. Biar dia belajar, jangan terlalu dimanjakan.”
Kepala staf itu mengangguk, meski terlihat agak heran. “Tapi, Tuan, Nona Ariana kelihatannya kurang sehat akhir-akhir ini. Apa tidak...”
“Lakukan saja!” potong Dito dengan suara dingin. “Saya nggak butuh alasan.”
“Baik, Tuan.”
Pagi itu, Ariana terpaksa mengikuti kepala pelayan senior menuju gudang belakang. Di sana, kardus-kardus berdebu dan perabot berat menunggu untuk dipindahkan. Maya yang selalu setia menemaninya ikut serta, wajahnya langsung cemas melihat beban kerja itu.
“Nona Ariana, tolong bantu angkat ini, ini adalah perintah dari Tuan Dito.” kepala pelayan senior menyerahkan kardus besar berisi buku-buku lama.
Ariana menatap kardus itu dengan ragu. Tubuhnya memang terasa lemas, tapi tatapan Dito yang mengawasi dari jauh membuatnya tak punya pilihan. Dengan susah payah, ia mengangkat kardus itu, langkahnya goyah.
Maya buru-buru mendekat. “Na, biar aku aja! Kamu lagi itu lagi hamil muda. Kamu nggak boleh membawa barang yang berat-berat sekarang.”
Ariana memaksa tersenyum. “Kalau aku nolak, pria itu akan marah ataukah bakal curiga, May. Aku nggak mau dia tau…”
Kata-kata itu membuat Maya menggigit bibir. Ia tahu benar resiko yang Ariana hadapi, tapi ia juga sadar rahasia kehamilan ini harus tetap dijaga.
Dito, dari kejauhan, memperhatikan setiap gerakan Ariana. Senyum tipis muncul di bibirnya. Bagus. Terus begitu. Biar tubuhmu lelah. Janin itu nggak akan bertahan lama kalau ibunya terus dipaksa kerja.
Namun, ia tidak menyadari bahwa Maya sedang menyusun rencana tandingan. Saat Ariana beristirahat sejenak, Maya mendekat dan berbisik.
“Na, dengerin aku. Aku akan cari cara supaya kamu nggak selalu dikasih kerja berat. Aku bakal bilang ke kepala pelayan senior, alasan apa pun biar kamu bisa istirahat. Aku nggak peduli harus bohong kayak gimana.”
Ariana menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi kalau mereka tanya sama Dito, gimana? Dia bisa curiga.”
Maya menggenggam tangan Ariana erat. “Biar aku yang tanggung risikonya. Kamu jangan terlalu mikirin itu. Yang penting sekarang kamu dan bayi ini aman.”
Ariana mengangguk pelan, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. Ia merasa tubuhnya sendiri seperti medan perang: janin kecil di dalam rahimnya berjuang hidup, sementara dunia di luar berusaha menghancurkannya.
Malam menjelang. Di kamarnya di lantai tiga, Dito kembali menulis catatan di laptop.
Hari pertama: Ariana ikut kerja gudang. Kelihatan lelah.
Efek: wajah pucat, selalu banyak membawa barang berat.
Target: tambah pekerjaan lain besok.