🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Satu minggu terakhir, Ariana dipaksa memakan makanan yang disiapkan Dito. Setiap piring datang dengan perintah yang tak bisa ia bantah. Awalnya Ariana hanya menurut, menelan getir demi ketenangan yang semu. Namun, perlahan rasa nyeri merayap di perutnya. Kandungannya mulai sakit menusuk, menekan, membuat napasnya putus-putus. Ia tahu betul: Semua dari makanan itu dilarang untuk ibu hamil.
Hari-hari terasa panjang, setiap jam menjadi ujian. Pada hari ketiga, Ariana mulai sering meringis, tapi tetap ia sembunyikan. Maya yang selalu memperhatikan detail, sudah menangkap gelagat itu. "Na, perutnya sakit ini pasti makanan-makanan itu, yang dilarang untuk ibu hamil. Kenapa Tuan Dito meminta menu makanan yang dilarang untuk ibu hamil?." tanyanya pelan. Ariana hanya tersenyum kecut, menutupi rasa perih dengan anggukan samar. Namun Maya tahu, itu bukan kram biasa tapi melainkan sakitnya guguran.
Begitu keluhan Ariana kian sering terdengar, mansion itu berubah panik. Para pelayan dan juga maid di mansion itu mulai saling pandang, bisik-bisik yang bergetar di ujung lidah. Aroma kecemasan mengambang di udara seperti kabut yang sulit diusir.
Malam itu, ketika nyeri Ariana memuncak, ia meringkuk di ranjangnya. Nafasnya tersengal, tangan memeluk perut seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah dari dalam. Maya, dengan tangan yang gemetar, mencoba menenangkan Ariana. Keringat dingin membasahi pelipis Ariana; wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar menahan rintih yang tak lagi bisa disembunyikan.
Namun dari kejauhan, Dito berdiri tanpa gelisah. Matanya yang datar memantulkan sorot dingin. Ada kepuasan yang tak disamarkan ketika ia melihat Ariana menggeliat kesakitan. Seolah misinya sedang menapaki garis akhir: ia ingin janin dalam kandungan Ariana mati saat itu juga.
"Tuan Dito, kita harus telepon Dokter Galvin sekarang," pinta pelayan senior dengan suara patah, hampir berbisik ketakutan. Maya menyusul, memohon dengan mata berkaca-kaca. "Tolong, Tuan Dito. Nona Ariana sangat membutuhkan diperiksa oleh dokter Galvin sekarang juga, Tuan."
Dito menoleh perlahan, tatapannya menusuk. Ia berpura-pura menimbang. "Nanti," jawabnya ringan. Begitu singkat, begitu dingin.
Waktu dibiarkan berlalu menetes lambat, menyiksa. Dua jam. Mungkin enam. Setiap menit memanjang seperti hukuman. Rintihan Ariana menjadi musik latar yang membebani setiap hati di mansion itu kecuali satu hati: milik Dito.
Di kamarnya Ariana, Ariana berbaring miring, memeluk perutnya yang berdenyut. Rintihannya pecah di sela-sela napas pendek, membuat tubuhnya bergetar. Maya duduk di tepi ranjang, berusaha mengusap punggung Ariana, meski itu tak banyak membantu. Ia tahu posisinya: Dito adalah majikan, kata-katanya adalah perintah. Siapa pun yang berani melawan, riwayatnya bisa habis.
Maya menggigit bibirnya sendiri, menahan tangis. "Bertahan, Na... tolong bertahan," bisiknya hampir tak terdengar, seakan doa kecil yang berusaha ia selipkan di antara jeritan hati.
Di lorong, pelayan senior kembali menatap layar ponselnya. Jemarinya sudah berkali-kali menekan nomor Dokter Galvin, tapi tak pernah benar-benar ia tekan panggilan. Setiap langkah yang terdengar di lantai marmer mansion itu membuatnya ciut, takut bila Dito tahu dan murkanya jatuh ke kepala mereka.
Di dalam kamarnya di lantai tiga, Dito duduk dengan santai sambil meneguk segelas anggur merah. Bibirnya melengkung tipis, nyaris tak terlihat. Ia tahu waktu adalah senjata. Ariana bisa diselamatkan jika ia mau. Tapi semakin lama ia menunda, semakin besar peluang untuk menghapus sesuatu yang tak pernah ia inginkan sejak awal: bayi itu.
Dan malam itu, keheningan panjang menjadi bagian dari rencananya.
Setelah hampir enam jam berlalu, kondisi Ariana tak kunjung membaik. Wajahnya pucat pasi, bibirnya nyaris kehilangan warna, dan napasnya makin melemah. Dito akhirnya memutuskan untuk menelepon Galvin agar segera datang ke mansion. Ia memilih menghubungi Galvin secara langsung tak ingin ada seorang pun tahu tentang rencananya menggugurkan janin Ariana.
Pelayan senior yang memperhatikan tingkah Tuan mudanya hanya bisa terdiam bingung. Tidak biasanya Dito melakukan semua ini sendiri.
“Tuan, biar saya saja yang menghubungi dokter Galvin,” ucapnya dengan nada heran.
Dito langsung menggeleng. “Tidak perlu. Biar saya yang melakukannya.” Tangannya cekatan menekan nomor di ponsel, seakan tak ingin ada ruang untuk debat.
Maya, berbeda dengan pelayan senior, sama sekali tak memikirkan hal itu. Pandangannya hanya tertuju pada Ariana yang terbaring lemah. “Yang penting dokter segera datang… kumohon, Na, bertahanlah.”
Pelayan senior kembali memberanikan diri, suaranya hati-hati, “Maaf, Tuan… tapi mengapa Tuan begitu bersikeras melakukannya sendiri?”