You Are Mine

OkaSalsa
Chapter #34

Ariana Kabur

🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹

Happy Reading.


.


.


.


.


.


Ruangan VIP rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara detak mesin monitor dan embusan pendingin ruangan yang lembut. Aroma antiseptik menyelimuti seluruh kamar. Ariana terbaring di ranjang putih, wajahnya masih pucat namun sedikit lebih segar dibanding saat di IGD. Perlahan, kelopak matanya bergetar, membuka sedikit demi sedikit hingga cahaya lampu kamar menusuk pandangannya.


Galvin yang duduk di kursi dekat ranjang langsung tersadar. Ia berdiri, mendekat, dan menatap Ariana dengan cemas bercampur lega. “Ariana… kamu sadar?”


Ariana mengerjap, mencoba fokus. Tubuhnya terasa berat, tenggorokannya kering. “Di… mana aku…?” suaranya parau.


“Kamu di rumah sakit. Tenang saja, kamu sudah selamat. Jangan banyak bergerak dulu.” Galvin mengambil segelas air dengan sedotan, membantu Ariana minum sedikit demi sedikit.


Ariana menarik napas panjang, lalu tangannya refleks menyentuh perutnya. “Bayiku… bagaimana dengan bayiku?” tanyanya terbata, mata berkaca-kaca.


Galvin menatapnya dalam, lalu mengangguk. “Syukurlah… bayimu selamat. Kondisimu memang sempat kritis, tapi kalian berdua berhasil bertahan.”


Air mata Ariana jatuh seketika. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. Rasa syukur bercampur ketakutan.


Setelah memberi waktu sebentar, Galvin duduk di sisi ranjang. Suaranya lembut namun serius. “Ariana… aku harus jujur. Aku ini sahabatnya Dito sekaligus dokter pribadinya. Jadi aku tahu betul bagaimana dia biasanya bersikap. Tapi melihat kondisi kamu tadi… aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan. Aku nggak akan paksa kalau kamu belum siap. Tapi aku perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu bisa hampir kehilangan nyawa dan bayimu?”


Ariana terdiam lama. Matanya menerawang ke langit-langit, bibirnya bergetar. Namun akhirnya ia menghela napas panjang, memilih jujur. “Itu semua… karena Dito, Dok.”


Galvin terperanjat, alisnya mengernyit. “Apa maksudmu?”


Ariana menatapnya dengan mata berkaca. “Dia sengaja bikin aku kelelahan. Aku dipaksa ikut kegiatannya, padahal tubuhku udah nggak kuat. Bahkan… dia kasih aku makanan yang nggak boleh buat ibu hamil. Aku tahu tubuhku nggak sanggup, tapi aku nggak punya pilihan. Aku harus menurut.”


Galvin mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras, wajahnya memerah karena menahan amarah. “Astaga, Dito… lo keterlaluan…” gumamnya lirih tapi penuh emosi.


Ariana menangis, suaranya pecah. “Aku nggak mau lagi, Dok. Aku nggak sanggup lagi tinggal sama dia. Aku cuma mau jauh-jauh darinya. Tolong aku… tolong selamatkan aku dan bayiku dari dia…”


Galvin menatap Ariana lama, melihat ketulusan sekaligus ketakutan di matanya. Di lubuk hatinya, ia tahu Ariana tidak berbohong. Dengan suara penuh tekad, ia berkata, “Baik. Aku akan bantu kamu kabur dari dia. Malam ini juga, sebelum terlambat.”


Ariana terisak, menggenggam tangan Galvin erat. “Terima kasih, Dok… terima kasih…”


Malam semakin larut. Setelah memastikan kondisi Ariana cukup stabil untuk dipindahkan, Galvin bekerja sama dengan dua perawat yang ia percaya. Mereka menyiapkan kursi roda, menyamarkan identitas Ariana dengan selimut dan masker. Dengan hati-hati, mereka mendorong Ariana melewati lorong belakang rumah sakit, jauh dari pintu utama yang dijaga.


Langkah mereka cepat tapi penuh kehati-hatian. Setiap detik terasa seperti pertaruhan nyawa. Ariana menggenggam perutnya erat, berdoa dalam hati agar rencana pelariannya berhasil.


Setelah melewati pintu darurat, sebuah mobil sudah menunggu, milik Galvin. Ia sendiri yang membuka pintu, membantu Ariana masuk, lalu menyalakan mesin. “Pegangan yang kuat. Kita harus pergi sejauh mungkin dari sini.”

Lihat selengkapnya