🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Malam itu, mansion kembali sunyi setelah kegaduhan batin yang Ariana alami seharian. Namun, kesunyian itu tidak berarti damai. Ia tahu, di lantai atas sana, Dito sedang tidur dengan rasa puas karena berhasil menjeratnya lagi.
Dan benar saja, keesokan paginya, Dito tidak pergi meninggalkan mansion. Ia memutuskan untuk menginap lagi, menambah panjang bayang-bayang gelap yang menyelimuti setiap sudut ruangan.
Ariana merasa semakin terjebak. Ia ingin lari, tapi kakinya berat. Ia ingin melawan, tapi ancaman rekaman itu mengekang lidah dan tindakannya. Ia tahu, satu langkah salah saja, Dito bisa menghancurkan segalanya.
Pagi itu, pelayan senior itu mengetuk pintu kamar tamu.
“Nona Ariana,” suaranya lembut namun terdengar gugup, “Tuan Dito meminta Anda untuk datang ke ruang tengah.”
Ariana terdiam lama. Jemarinya yang memegang selimut bergetar, wajahnya pucat. Ia tahu, setiap kali Dito memanggil, berarti ada aturan baru yang harus ia dengar, ada tekanan baru yang harus ia tanggung. Namun, ia tidak punya pilihan.
Dengan langkah pelan, Ariana turun ke ruang tengah. Dito sudah duduk di sofa besar, menyandarkan tubuhnya dengan santai, seolah mansion itu sepenuhnya miliknya. Matanya langsung tertuju pada Ariana, tajam dan penuh pengendalian.
“Kau sudah berpikir, Ariana?” tanyanya datar, meski senyum sinis tak pernah lepas dari wajahnya. “Kau tidak punya pilihan lain. Jadi mulai sekarang, saya tidak akan mengurungmu lagi di kamar itu.”
Ariana mendongak, ada sedikit kelegaan yang muncul. Namun kelegaan itu cepat sekali pudar saat Dito melanjutkan ucapannya.
“Tapi, tentu saja, ada syaratnya.”
Ia menyilangkan kaki, lalu menatap Ariana dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat perempuan itu semakin merasa terperangkap.
“Kau boleh keluar dari kamar, bahkan boleh berjalan-jalan di sekitar mansion ini. Namun, semua itu harus sesuai dengan peraturan yang saya buat. Kau harus patuh pada setiap perkataan saya. Satu saja kau coba melawan... saya tidak segan-segan menggunakan video itu.”
Jantung Ariana serasa diremas. Kata “video” itu kembali membuat darahnya membeku. Ia menunduk, tidak sanggup menatap pria itu lebih lama.
“Apakah kau mengerti?” Dito menekan kalimatnya, suaranya lebih tajam.
Ariana mengangguk pelan, meski dalam hatinya ada gejolak besar. Ia ingin sekali berteriak bahwa ia benci, bahwa ia muak pada Dito, tapi semua itu hanya ia simpan dalam dada.
“Baik. Mulai sekarang, kau boleh keliling lagi atau berjalan-jalan di taman dalam lingkungan mansion ini. Tidak lebih,” ucap Dito, lalu mengibaskan tangannya seakan memberi izin pada seorang budak.
Ariana menahan nafasnya. Ia tahu, ini bukan kebebasan. Ini hanya bentuk lain dari kurungan. Dito hanya mengubah dinding-dinding penjaranya: dari kamar tamu yang dirinya menempati itu, kini ke halaman luas, tapi tetap dalam pagar tinggi mansion itu.
Dengan langkah pelan, Ariana berjalan keluar. Udara pagi menyambutnya, aroma bunga dari taman memberi sedikit ketenangan. Taman itu masih sama seperti dulu, sebelum malam kelam itu menghancurkan hidupnya. Pohon-pohon tinggi yang rindang, jalan setapak dengan batu putih, air mancur kecil di tengah yang berkilauan terkena cahaya matahari.
Namun, berbeda dengan dulu, kini Ariana berjalan dengan hati-hati. Setiap langkahnya seakan diawasi. Meskipun Dito tidak ada di sampingnya, bayangan pria itu selalu mengikuti.
Ia meraih bangku kayu di bawah pohon flamboyan, lalu duduk perlahan. Udara segar menerpa wajahnya, tapi jantungnya masih berdebar tidak karuan.
“Aku seharusnya sekarang bisa pergi dari mansion ini...” gumamnya lirih. “Tapi kenapa aku masih saja terkurung, dia nggak izinkan aku pergi jauh dari mansion ini.”
Ia menatap sekitar. Taman itu indah, tapi bagi Ariana, kini taman itu hanyalah halaman penjara. Setiap sudutnya mengingatkan bahwa kebebasan yang ia miliki hanyalah kebebasan semu, tetap dikendalikan oleh ancaman Dito.
Sesekali Ariana mendongak, menatap lantai tiga mansion. Tirai kamar Dito terbuka sedikit, dan meskipun ia tidak melihat jelas, Ariana merasa seolah pria itu sedang mengawasinya dari sana. Rasa takutnya makin menguat.
Tubuhnya bergetar halus. “Aku benci dia... aku sangat membencinya,” ucapnya sambil menggenggam erat kedua tangannya di pangkuan. “Setiap kali harus bertemu, setiap kali papasan, aku merasa jantungku berhenti. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi. Tidak ingin mendengar suaranya lagi. Tidak ingin bernapas di tempat yang sama dengannya...”
Tapi ia tidak bisa lari. Tidak bisa menolak. Semua geraknya sudah dipasung oleh ancaman itu.
Hari itu, Ariana hanya duduk lama di taman, mencoba menghirup udara dalam-dalam seakan itu bisa meringankan beban hatinya. Namun, bayangan wajah Dito, suara dinginnya, dan ancaman video itu terus mengikuti, tak pernah lepas dari pikirannya.
Dan dalam diam, Ariana tahu kedamaian yang dulu pernah ia rasakan di taman ini... tidak akan pernah kembali lagi.