🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Beberapa hari berlalu sejak malam Ariana bermimpi buruk tentang Kenzo. Rasa takut itu masih menghantui, tetapi hidupnya di mansion berjalan seperti biasanya menjadi bayangan, menjadi pelayan pribadi Dito, dan berusaha keras menyembunyikan trauma yang kian menekan.
Pagi itu, Ariana menemani Dito sarapan di ruang makan besar mansion. Meja panjang dengan taplak putih elegan, peralatan perak berkilauan, dan berbagai macam hidangan mewah tersaji. Aroma sup panas bercampur dengan wangi daging panggang dan rempah-rempah memenuhi ruangan.
Namun, baru saja ia duduk, perut Ariana tiba-tiba mual hebat.
Aroma yang biasanya membuat orang lain tergoda justru membuat kepalanya pening. Hidungnya menolak, perutnya bergejolak. Ia buru-buru menutup mulut dengan serbet, wajahnya pucat pasi.
“Ariana,” suara Dito terdengar datar tapi penuh perhatian terselubung. “Ada apa denganmu? Wajahmu seperti orang yang hendak muntah.”
Ariana menunduk, menahan rasa mual. “Saya... saya hanya merasa kurang enak badan, Anda...”
Pelayan yang berdiri di belakang meja ikut saling berbisik, bingung dengan keadaan nona muda itu. Mereka heran karena baru kali ini melihat Ariana tak tahan mencium makanan yang begitu harum.
Dito memandanginya lama. Ketika Ariana mencoba membantu menuangkan sup ke mangkuknya, aroma wangi parfum yang ia pakai sejak pagi malah membuat Ariana semakin muak. Tubuhnya gemetar, keringat dingin keluar dari pelipisnya.
“Parfum Anda... baunya...” Ariana menutup hidungnya spontan, suaranya lirih, “bau sekali...”
Alis Dito terangkat. “Apa?”
Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Mereka tahu parfum itu adalah koleksi mahal yang selalu dipuji orang-orang. Namun di hadapan Ariana, parfum itu justru seolah-olah busuk dan menusuk.
“Cukup,” kata Dito dingin, tapi ada gurat keheranan di matanya. “Kalau tidak sanggup di sini, pergi istirahat di kamarmu. Jangan merusak selera makanku.”
Ariana menunduk, lalu buru-buru keluar dari ruang makan dengan langkah goyah. Para pelayan menatap kepergiannya, berbisik satu sama lain.
“Kenapa nona bisa begitu?”
“Mungkin masuk angin...”
“Atau perutnya kosong sejak pagi?”
Tidak ada yang berani mengucapkan lebih dari itu. Mereka semua hanya bisa menebak-nebak.
Hari berikutnya, keadaan Ariana semakin aneh. Kadang ia merasa pusing tanpa sebab, kadang mual hanya karena mencium wangi masakan yang baru keluar dari dapur. Bahkan minuman teh hangat kesukaannya kini terasa pahit dan membuatnya ingin muntah.
Para maid hanya mengira Ariana lagi sedang sakit ringan, mungkin terlalu lelah atau tertekan. Ariana sendiri mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya “Mungkin ini hanya masuk angin biasa aja bukan hal yang lainnya.” Ia tidak pernah berani berpikir lebih jauh, meskipun hatinya diam-diam merasakan ada sesuatu yang berbeda.
Sampai pada siang itu.
Ariana baru saja selesai menyiapkan perlengkapan Dito untuk bekerja di ruang kerjanya. Setelah memastikan semua rapi, ia berbalik hendak keluar. Namun langkahnya mendadak limbung. Pandangannya berkunang-kunang, tubuhnya seakan kehilangan tenaga.
“Ariana!” teriak maya salah satu maid teman ngobrolnya Ariana, yang kebetulan lewat.
Belum sempat ia merespons, tubuh Ariana ambruk ke lantai.
Semua orang panik. Beberapa pelayan segera mengangkat tubuh Ariana dan membawanya ke kamar tamu tempat ia biasa beristirahat. Kepala pelayan senior bergegas naik ke lantai tiga, ke ruang kerja Dito.
Tok tok tok
“Masuk,” sahut suara Dito dari balik pintu.
Begitu pintu terbuka, kepala pelayan itu menunduk hormat. “Tuan Dito, Nona Ariana... beliau pingsan di lorong lantai dua. Saat ini sudah kami udah baringkannya di kamarnya.”
Dito yang tengah membaca berkas-berkas berhenti sejenak. Tatapannya dingin, bibirnya terkatup rapat.
“Pingsan?” ulangnya, penuh keraguan. “Atau hanya pura-pura agar terhindar dari pekerjaannya?”
“Tuan, saya rasa beliau benar-benar tidak sadarkan diri. Tubuhnya sangat lemah...”
Dito menghela napas panjang, lalu berdiri. Ia melangkah ke kamarnya Ariana dengan langkah tenang tapi tegas. Ketika pintu kamar itu dibuka, matanya langsung jatuh pada sosok Ariana yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, napasnya terengah-engah.