🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Cahaya redup lampu kamar perlahan masuk ke penglihatan Ariana. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka sedikit. Napasnya masih berat, tubuhnya terasa lemah, seperti habis ditarik dari jurang dalam.
Di samping ranjang, seorang perempuan berbalut seragam maid duduk sambil mengganti kompres di dahi Ariana. Begitu menyadari Ariana bergerak, maid itu langsung tersentak kecil.
“Na…? Na, kamu sudah sadar?” suara lembut itu penuh lega.
Ariana mengerjap, menatap linglung ke sekeliling kamar yang asing. “May?” suaranya serak. “Apa… apa yang terjadi sama aku? Kenapa aku ada di dalam kamar? Bukannya tadi aku lagi siapkan kebutuhan si pria itu…?”
Maya tersenyum tipis, mencoba menenangkan. “Kamu tadi pingsan. Terus aku sama yang lainnya membawa kesini lalu membaringkan kamu di kasur biar kamu nyaman aku panik banget Na kamu tadi pingsan seperti itu. Jangan banyak bergerak dulu, tubuh kamu masih lemah.”
Ariana menggigit bibirnya, menunduk. Ingatannya samar potongan Ingatan sebelum ia pingsan tadi dan setelah gelap tidak tahu apa yang terjadi telah itu ia pingsan tadi.
Maya merapikan selimut Ariana. “Istirahatlah, Na. Aku akan berada di sini menemani kamu.”
Ariana ucapkan terimakasih ke maya salah satu maid yang jadi sahabatnya selama dimansion itu. “May... Makasih ya udah jadi sahabat aku di mansion ini, dan maaf kalo aku selalu merepotkan kamu disini.”
Maya membelas ucapkan terimakasihnya Ariana “Sama-sama... Na, kamu jangan bilang begitu kamu nggak merepotkan aku kok, malahan aku seneng dan rasa terhormat bisa jadi sahabat kamu.”
Setelah itu mereka berdua ngobrol santai atau curhat-curhatan hal biasa yang mereka sering lakukan.
Di sisi lain kota, Galvin sudah berada di ruang laboratorium rumah sakit miliknya. Ia menaruh tabung kecil berisi sampel darah Ariana di meja logam, lalu berbicara pada asistennya untuk menyiapkan pemeriksaan lengkap.
Sambil menunggu, Galvin berdiri di depan kaca laboratorium, menatap pantulan wajahnya sendiri.
(Apa yang sebenarnya gue lakuin?) batinnya bergema.
(Gue dokter. Gue tahu apa yang Dito lakuin itu salah, udah keterlaluan banget. Tapi dia sahabat gue. Kalau gue buka semua, bisa aja bikin dia hancur… tapi kalau gue diam, cewek itu yang mungkin aja hancur.)
Ia menutup mata, mengusap wajah dengan kedua tangannya.
(Dan kalau dugaan gue benar… kalau cewek itu beneran hamil… apa yang akan dilakukan sama Dit kalo cewek itu bener hamil, apa Dito akan nerima anaknya itu atau gak nerima anaknya itu nantinya?.)
Asisten kembali menghampiri, membawa berkas pendaftaran sampel. “Dok, hasil lengkapnya baru bisa keluar sekitar tiga sampai empat hari. Pemeriksaan hormon dan analisa detail butuh waktu.”
Galvin hanya mengangguk. “Baik. Pastikan semua prosedurnya hati-hati. Sampel ini jangan sampai salah tangani.”
Setelah asistennya pergi, Galvin kembali duduk. Hatinya semakin gelisah. Firasat buruk yang sejak tadi menghantuinya makin kuat.
(Apapun hasilnya… gue harus langsung kabarin Dito tentang hasilnya nanti. Kalo hasilnya cewek itu ada penyakit yang dia mengalami berarti dia nyaman dari terjeratannya Dito, tetapi kalo hasilnya yang mengatakan cewek itu ternyata beneran hamil, gue seorang dokter juga sahabat Dito... Gue harus sadarkan Dito bahwa dia harus tanggung jawab atas apa yang dia lakukan kepada cewek itu.)
Ia menghela napas panjang, menatap jam di dinding. Waktu berjalan pelan, seolah ikut menambah berat beban pikirannya.
Tiga hari terasa berjalan lambat bagi Galvin. Sejak sampel darah itu ia serahkan, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Dan pagi ini, di ruang kerjanya di rumah sakit, sebuah amplop putih akhirnya sampai di tangannya.
Ia membuka segelnya dengan hati-hati, lalu menarik keluar selembar kertas hasil laboratorium. Pandangannya langsung tertuju pada baris paling bawah
Positif hamil.
Galvin terdiam, jantungnya berdetak keras. Tangan yang memegang kertas itu sempat bergetar.
(Kan… dugaan gue ternyata bener…) pikirnya.
Ia menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Sebagai dokter, ia sudah terbiasa menghadapi kabar medis yang berat. Tapi kali ini lain karena yang terlibat adalah sahabatnya sendiri, Dito, dan seorang perempuan yang menjadi korban.
Galvin menyalakan laptopnya, lalu memindai dokumen itu menjadi file digital. Setelah memastikan data tersimpan rapi, ia mengetik alamat email Dito:
> To: PDKN01@gmail.com
Subject: [Confidential] Hasil Pemeriksaan Ariana