🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Udara pagi di kota kecil pinggiran negara Italia itu terasa dingin, lembap, dan menenangkan. Langitnya masih pucat, diselimuti awan tipis yang bergerak perlahan di atas deretan rumah klasik berwarna krem. Sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah bergaya klasik Eropa dengan halaman kecil yang ditumbuhi bunga lavender. Dari dalam mobil, Ariana melangkah turun perlahan, menenteng koper kecil berwarna abu-abu. Matanya menatap rumah itu lama rumah yang dulu sering ia datangi sewaktu kecil, tempat yang dulu terasa begitu aman sebelum semuanya berubah.
Pintu rumah terbuka, dan sosok pria berusia lima puluhan muncul dengan wajah terkejut namun penuh hangat.
“Ariana…?” suara itu parau, nyaris tak percaya.
Ariana tersenyum lemah. “Assalamualaikum, Om Arman…”
“Wallaikumsalam, Nak.”
Dalam sekejap, pria itu bergegas menghampiri dan memeluknya erat. Pelukan yang lama, tulus, dan penuh kerinduan. Dari dalam rumah, Tante Indar muncul, matanya langsung membulat melihat keponakannya yang kini tampak lebih kurus, pucat, dan dewasa dalam cara yang menyedihkan.
“Aduh, Nak… kamu ini… Apa kabarnya, nak di indonesia?” ucap Tante Indar sambil menggenggam tangan keponakannya erat.
Ariana hanya menggeleng pelan. “Aku baik-baik aja kok, Tan…” jawabnya lirih, menghindari tatapan mereka.
Keduanya tidak bertanya lebih jauh. Mereka hanya tahu, dari sorot mata Ariana, bahwa ada badai besar yang baru saja ia lalui. Mereka memilih memeluk, bukan menanyai.
Hari itu, rumah kecil di pinggiran kota itu kembali terasa hidup. Aroma teh melati dan roti hangat memenuhi dapur. Ariana duduk di kursi dekat jendela, menatap taman belakang tempat burung-burung kecil bertengger di pagar kayu. Keheningan itu menenangkan, tapi di dalam dirinya, badai belum sepenuhnya reda.
Setiap kali ia menutup mata, wajah Dito masih muncul dingin, keras, penuh kekuasaan.
Kadang suara bentakan Dito masih terngiang di kepalanya, menggetarkan jantungnya seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi. Ia berusaha menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, menyadari bahwa kini ia jauh dari Dito, dari kegelapan yang menjerat hidupnya. Tapi luka itu terlalu dalam untuk sembuh dalam semalam.
Om Arman duduk di hadapannya, menyodorkan secangkir teh hangat. “Kamu kelihatan capek sekali, Nak. Apa kamu mau cerita sedikit? Supaya hati kamu lebih ringan?”
Ariana terdiam lama, matanya menatap cangkir di tangannya yang mengepulkan uap hangat. “Belum, Om. Mungkin nanti. Sekarang aku cuma ingin istirahat dulu,” ucapnya pelan.
Tante Indar yang duduk di sebelahnya mengusap punggung Ariana lembut. “Tenang saja, Nak. Di sini kamu aman. Tak ada yang bisa menyakitimu lagi.”
Kata-kata itu seharusnya menenangkan, tapi justru membuat air mata Ariana jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menutup wajahnya, bahunya bergetar menahan tangis. Om Arman dan Tante Indar saling berpandangan mereka tahu, ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kelelahan. Tapi mereka tak ingin mendesak. Mereka hanya menemani dalam diam.
Malamnya, Ariana berdiri di balkon kamar lamanya. Udara dingin menusuk kulit, tapi ia membiarkannya, karena dingin itu terasa jujur. Ia menatap langit, memandangi bintang-bintang yang tak tampak di langit Jakarta.
Tangannya terulur menyentuh perutnya yang masih rata, tapi kini menjadi pusat kehidupannya.
“Selamat datang di rumah baru kita, Nak,” bisiknya lirih. “Mama janji… kita nggak akan balik lagi ke tempat gelap itu.”
Angin malam menggerakkan helaian rambutnya, seolah membisikkan ketenangan yang lama hilang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ariana bisa memejamkan mata tanpa rasa takut. Ia tahu jalannya ke depan masih panjang, tapi setidaknya ia sudah berada di tempat yang bisa menyembuhkan tempat yang bisa membuatnya belajar mencintai hidup lagi.
Di sisi lain, jauh di Indonesia, Dito masih terpuruk dalam ruang gelap yang sama. Ia belum tahu bahwa Ariana kini menjejakkan kaki di tanah yang tak bisa dijangkaunya. Tapi dalam dirinya, ada bara kecil yang tak padam bara yang suatu hari mungkin akan menuntun langkahnya untuk mencari, untuk memburu, atau mungkin… untuk menebus.
Sementara Ariana, di ranjangnya malam itu, memeluk bantal dengan lembut. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini bukan karena takut. Melainkan karena ia tahu, untuk pertama kalinya, ia punya alasan untuk hidup bukan demi cinta yang memenjarakan, tapi demi kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.
🤍🤍💔❤️‍🩹🌹
Hari-hari pertama di rumah Om Arman dan Tante Indar berjalan lambat namun penuh ketenangan. Ariana sering terbangun sebelum matahari muncul, hanya untuk berdiri di jendela kamarnya, menatap jalanan sepi yang basah oleh embun pagi. Di luar, aroma roti panggang dari toko di ujung jalan kadang mengingatkannya bahwa dunia tetap berjalan bahkan ketika hidupnya sempat hancur di tempat lain.
Tante Indar selalu menyiapkan sarapan sederhana: sup ayam hangat, roti gandum, dan segelas susu. “Kamu harus makan yang bergizi, Nak. Tubuhmu kelihatan lemah,” ucapnya setiap pagi dengan senyum lembut.
Ariana hanya mengangguk. Ia berusaha menelan makanan, walau kadang masih terasa sesak di tenggorokan. Tapi kini, ia tidak lagi menolak. Ia tahu, ada kehidupan kecil yang bergantung padanya.
Beberapa hari setelah kedatangannya, Om Arman mengajaknya ke rumah sakit kota untuk pemeriksaan. “Sekadar memeriksa kesehatanmu,” katanya, tanpa tahu bahwa alasan sebenarnya jauh lebih dalam. Ariana sempat menolak, namun akhirnya setuju. Di ruang pemeriksaan beraroma antiseptik, ia duduk di ranjang putih dengan tangan yang dingin dan gemetar.