🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Hujan turun deras malam itu, membasahi halaman depan rumah besar Dito. Cahaya petir sesekali menyambar, memperlihatkan bayangan seorang pria berdiri di jendela ruang kerjanya dengan pandangan kosong. Dito memandangi layar laptop yang menampilkan satu nama — Ariana Prawira, atau Ara Aurora Aldrich. Nama itu terus berputar di kepalanya tanpa henti, seperti mantra yang tak mau hilang.
Sejak mengetahui kebenaran itu, Dito berubah. Amarah yang dulu membara kini berganti penyesalan yang menyesakkan dada. Ia hampir tidak tidur selama berhari-hari. Makanan tak tersentuh. Ia duduk di kursi kerjanya, memegang foto seorang anak kecil — Ara kecil.
“Kenapa... kenapa saya harus nyakitin kamu, Ariana…” bisiknya dengan suara serak. “Saya nyelamatin kamu dulu waktu umur enam tahun… tapi sekarang malah jadi orang yang paling kamu takutin.”
Tangannya bergetar, menahan rasa bersalah yang nyaris membunuhnya dari dalam. Dalam kepalanya, bayangan wajah Ariana muncul silih berganti tatapan takut, tubuh yang gemetar, darah di seprai malam itu. Semua menghantam jantungnya seperti hantaman besi panas.
Ia memukul dadanya sendiri dengan keras, seolah ingin menghapus semua rasa sakit itu. “Ariana…” bisiknya, kali ini lebih lirih, lebih putus asa. “Saya janji, saya akan temuin kamu, saya akan minta maaf. Sekalipun kamu membenci saya, saya akan tanggung jawab. Saya nggak akan lari dari dosa saya lagi…”
Namun dunia di luar negeri berjalan berbeda lebih tenang, lebih hangat, dan lebih penuh cinta.
Ariana duduk di ruang tamu rumah Om Arman, di hadapannya laptop terbuka, menampilkan layar kosong panggilan video yang baru saja ia hubungkan. Jantungnya berdetak kencang. Ia sudah menimbang-nimbang keputusan ini selama beberapa hari. Ia rindu Kenzo dan Annisa, tapi juga takut. Takut masa lalu akan menariknya kembali.
Suara panggilan tersambung, dan wajah Annisa muncul lebih dulu di layar.
“Na?! Ya Tuhan, Na! Lo ke mana aja, sumpah gue kira lo udah...” suara Annisa tercekat, matanya langsung berkaca-kaca.
Ariana tersenyum kecil. “Aku baik-baik aja, Nis. Maaf ya... aku hilang tanpa kabar lama banget.”
“Lo di mana sekarang? Semua orang nyariin lo, Na. Termasuk Kenzo. Lo tahu, dia hampir gila waktu lo menghilang.”
Ariana terdiam. Ia menatap layar dengan tatapan lembut tapi sedih. “Aku tahu, Nis... aku minta maaf. Tapi aku gak bisa jelasin semuanya sekarang.”
Annisa ingin bertanya lebih jauh, tapi ia bisa merasakan nada Ariana yang menahan banyak hal. Lalu, dari belah kamera Annisa, sosok yang sudah lama Ariana rindukan — Kenzo.
“Na…” suaranya pelan tapi dalam. Mata itu, mata yang dulu membuat Ariana merasa aman, kini membuat dadanya sesak.
“Hai, Ken.”
“Kamu beneran Na? Kamu nggak kenapa-kenapa?” Kenzo nyaris maju ke layar, seolah jarak ribuan kilometer bisa dihapus begitu saja.
Ariana tersenyum lembut. “Aku baik. Aku cuma... butuh waktu buat beresin masalah aku sendiri.”
Annisa yang menyadari suasana mulai berubah menatap keduanya bergantian. “Oke, gue... kasih kalian waktu berdua aja, ya.” Ia tersenyum samar, lalu menutup panggilan.
Kini hanya mereka berdua di layar. Hening panjang melingkupi keduanya.
“Ken…”
“Ya?”
“Aku pengen ngomong sesuatu.”
Kenzo menatapnya penuh harap. “Apa pun itu, bilang aja, Na.”
Ariana menarik napas panjang. Tatapannya menurun, lalu naik lagi dengan mata yang kini basah. “Aku mau... kita putus, Ken.”
Wajah Kenzo berubah seketika. “Apa maksud kamu? Putus?”
“Iya.” Suara Ariana bergetar, tapi tegas. “Aku nggak bisa lagi. Aku bukan Ariana yang dulu. Aku udah berubah. Aku udah...”
Kenzo menggeleng keras. “Na, jangan ngomong gitu. Kamu...”
“Tolong,” potong Ariana, suaranya meninggi sesaat. “Dengerin aku dulu. Aku nggak pantas buat kamu. Aku nggak bisa ngelanjutin hubungan ini, bukan karena aku nggak sayang… tapi karena aku nggak mau kamu ikut masuk masalah aku.”
“Aku ngak peduli masalah kamu, Na! aku cuma mau kamu!” Kenzo nyaris berteriak, air mata menetes di pipinya.
Ariana menahan tangis. “Tapi aku peduli, Ken. Aku nggak mau kamu nyesel suatu hari nanti karena milih seorang kayak aku. kamu harus bahagia... tapi bukan sama aku.”
Hening menggantung di antara jarak ribuan kilometer itu. Kenzo menatap layar lama, berusaha menahan emosinya.
“Na, aku nggak ngerti kenapa kamu ngomong gitu. Tapi kalo ini keputusan kamu... aku cuma mau kamu tahu satu hal aku tetap sayang sama kamu, apa pun yang udah terjadi.”
Ariana tersenyum tipis, air matanya jatuh perlahan. “Makasih, Ken… mungkin suatu hari nanti kamu bakal ngerti alasan aku.”
Sambungan terputus. Layar gelap.
Ariana menatap bayangannya sendiri di layar yang kini mati, lalu memeluk perutnya dengan lembut.
“Maaf, Kenzo,” bisiknya lirih. “Aku harus ambil keputusan ini, untuk kebaikan kita semuanya. Karena aku lagi hamil anak dari paman kamu sendiri.”
Sementara di Jakarta, di ruangan gelap yang hanya diterangi lampu meja, Dito menatap peta digital dunia di depannya. Di antara tanda-tanda merah, jarinya berhenti di satu titik—benua Eropa.
“Di sana ya, Ariana?” gumamnya. “Tunggu… saya akan datang. Bukan buat nyakitin kamu lagi, tapi buat nebus semuanya.”
🤍🤍💔❤️‍🩹🌹
Hujan belum berhenti malam itu. Langit Jakarta gelap seolah ikut berduka bersama Dito yang masih duduk menatap peta digital di hadapannya. Tetes air dari atap jatuh pelan ke lantai marmer, menciptakan gema lembut yang memantul di seluruh ruangan kosong. Di layar, titik merah di benua Eropa seolah berdenyut menyerupai detak hatinya yang tak tenang.
Dito menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Bayangan masa lalu datang silih berganti: wajah kecil Ara yang dulu ia tolong dari tangan preman, suara tangis yang dulu ia tenangkan. Dulu ia berjanji akan menjaga gadis itu, tapi takdir malah membawanya menjadi monster yang menodai janjinya sendiri.
“Kamu ternyata di sana, Ariana…” katanya pelan, mengganti sebutan yang dulu penuh kenangan. “Kamu bahkan nggak tahu kalau orang yang bikin kamu takut itu orang yang dulu nyelamatin kamu…”