You Are Mine

OkaSalsa
Chapter #38

Ini Takdir Kita

🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹


Happy Reading.


.


.


.


.


.


Langit kota kecil, seolah memeluk bumi dengan tenang. Udara dingin menyapa kulit lembut Ariana yang berdiri di balkon rumah Om Arman, memandangi pepohonan zaitun di kejauhan. Perutnya kini kian membulat, tanda kehidupan kecil di dalam rahimnya tumbuh kuat setiap hari.

Ia menutup matanya sejenak, merasakan hembusan angin lembut menyentuh wajah. Setiap napas terasa seperti doa. Doa agar masa lalu benar-benar berlalu. Doa agar anak yang ia kandung tumbuh dalam kedamaian, bukan ketakutan. Hidupnya di Italia mulai teratur. Pagi ia jalan santai di taman, siang bantu Tante Indar memasak.

Ariana menulis dalam jurnal kecilnya.

“Ini bukan akhir dari segalanya, Ariana. Aku harus kuat untuk anakku,” gumamnya pelan, suara lirih tapi penuh tekad.Malam itu, di kamarnya yang sederhana, Ariana menulis dalam jurnal kecilnya.“Aku akhirnya berdamai dengan masa laluku. Semua luka, semua kesalahan dari pria itu, aku lepaskan. Anak ini bagian dari hidupku, bagian dari kebahagiaan yang harus kujalani. Aku tak akan biarkan masa lalu menghantui.”

Om Arman sering memandangi Ariana dengan rasa haru. Gadis itu tampak lebih matang, lebih tenang. “Kamu udah nggak kayak dulu, Nak.” ujarnya suatu sore.

Ariana menatapnya lembut. “Na, cuma belajar berdamai, Om. Kadang, satu-satunya cara buat sembuh… adalah berhenti nyalahin masa lalu.”

Tante Indar memeluknya hangat. “Kamu sudah seperti anak kandung buat kita. Sekarang fokus aja ke calon bayi kamu, ya.”

Senyum Ariana merekah. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia benar-benar merasa aman.

Namun jauh di seberang benua, badai lain sedang bergemuruh. Di Indonesia, malam turun perlahan di atas kota Jakarta yang ramai, lampu neon memantul di jalanan basah hujan. Kenzo duduk di sudut bar gelap dengan botol minuman di tangannya. Lagu-lagu keras berdentum, tapi pikirannya justru sunyi.

Di sisi lain kota itu, Dito tengah berjalan sendirian di jalanan yang sepi. Hatinya diliputi rasa bersalah dan harapan.“Gue harus membayar semua ini,” bisiknya dalam hati. “Bukan hanya untuk Ariana, tapi juga untuk diri gue sendiri.”Dia tahu, meski mereka berada di kota yang sama, di bawah langit yang sama, mereka tak bisa bertemu saat ini. Waktu dan takdir memisahkan mereka.

Namun jauh di seberang benua, badai lain sedang bergemuruh.

Di Indonesia, malam turun perlahan di atas kota Jakarta yang ramai, lampu neon memantul di jalanan basah hujan. Kenzo duduk di sudut bar gelap dengan botol minuman di tangannya. Lagu-lagu keras berdentum, tapi pikirannya justru sunyi.

“Aku beneran nggak ngerti kenapa, Na…” gumamnya parau. “Kenapa kamu tinggalin aku begitu aja?”

Seteguk demi seteguk, ia menenggelamkan dirinya dalam alkohol dan penyesalan. Wajah Ariana terus menari di pikirannya senyumnya, suaranya, tatapannya yang dulu penuh kasih. Tapi kini semua hanya kenangan yang menyiksa.

Hingga langkah ringan seseorang datang mendekat.

“Kenzo?”

Suara itu membuatnya menoleh. Di bawah cahaya temaram, berdiri Annisa wajahnya cemas melihat sahabatnya itu tenggelam dalam kesedihan.

“Ken, lo udah kebanyakan minum.” katanya, menarik botol dari tangan Kenzo. “Udah cukup, yuk pulang. Lo gak baik-baik aja.”

Kenzo menepis tangannya dengan kasar. “Pergi! Aku tidak butuh bantuan siapa pun! Aku hanya ingin Ariana…”Annisa tetap gigih. Ia tahu Kenzo tidak bisa dibiarkan sendiri dalam kondisi seperti itu.

Annisa diam. Ia tahu betul luka itu. Ia tahu betapa hancurnya hati Kenzo setelah kehilangan Ariana. “Ayo, gue anter pulang, ya.”

Mereka keluar dari klub dengan langkah gontai. Hujan turun lagi, membasahi trotoar dan wajah mereka. Di dalam mobil, udara dingin bercampur aroma alkohol. Kenzo bersandar di kursi depan, matanya setengah terbuka.

Kenzo tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.

“Na…” bisiknya pelan, matanya kabur menatap Annisa. “Na… kamu udah balik ya? Kamu udah pulang?”

Tenaganya, meskipun mabuk, terasa kuat dan mengikat.“Jangan pergi, Na… Please, jangan tinggalkan aku lagi,” Kenzo berbisik parau, matanya yang merah dan berkaca-kaca menatap wajah Annisa.

Lihat selengkapnya