🤍Hello everyone, I'm back again, how is everyone doing? You must all be well, right? I want to tell this story, even though it's not that interesting though.... 🤍💔❤️‍🩹🌹
Happy Reading.
.
.
.
.
.
Pagi berikutnya, Annisa akhirnya memutuskan untuk menghubungi Kenzo. Setelah semalaman menatap dua garis merah di testpack itu, ia sadar tak ada gunanya menunda. Setiap detik yang berlalu hanya membuat pikirannya semakin kacau.
Tangannya bergetar saat mengetik pesan singkat:
> “Ken, bisa ketemu hari ini? Ada hal penting banget yang harus gue omongin.”
Tak sampai satu menit, balasan datang.
> “Oke. Café depan kampus, nanti sore.”
Sepanjang hari, Annisa tidak bisa fokus. Perutnya terasa mual bercampur tegang. Ia menatap bayangannya di cermin, mencoba tampak tenang. Tapi wajah pucat dan mata sembab itu tak bisa berbohong.
Sore itu, Kenzo sudah duduk di meja pojok café, wajahnya terlihat lelah tapi tetap memancarkan ketegasan. Begitu Annisa datang, Kenzo langsung berdiri dan menarik kursi untuknya. “Kamu kelihatan nggak enak badan, Nis. Kenapa?”
Annisa menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam di pangkuan. “Ken, gue gak tahu harus mulai dari mana…”
Kenzo menatapnya, menunggu.
“Gue… gue telat empat minggu.”
Kenzo terdiam. Napasnya tertahan, matanya membulat pelan. “Maksud lo…?”
Annisa mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya testpack yang sudah ia simpan dalam kantong plastik bening. Ia letakkan di atas meja, di antara mereka. Dua garis merah itu terlihat jelas.
Suasana café yang semula tenang tiba-tiba terasa hening bagi mereka berdua. Kenzo menatap benda kecil itu lama, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Lo… hamil?” suaranya nyaris berbisik.
Annisa mengangguk pelan, air mata menetes di pipinya. “Gue nggak mau bikin lo panik, tapi ini kenyataannya, Ken. Gue beneran hamil… anak lo.”
Kenzo menyandarkan tubuhnya ke kursi, menutup wajah dengan kedua tangan. Ia menarik napas panjang, seolah mencoba menyusun pikirannya yang berantakan. Rasa bersalah, panik, dan ketakutan bercampur jadi satu.
“Gue… gue nggak nyangka akan jadi begini,” katanya akhirnya. “Tapi ini salah gue juga, Nis. Gue yang seharusnya nggak lakuin itu waktu itu…”
Annisa diam. Suaranya bergetar saat menjawab, “Gue nggak nyalahin lo, Ken. Gue cuma… gue takut. Takut sama reaksi keluarga lo, sama keluarga gue juga.”
Kenzo menatapnya, matanya kini lebih tenang tapi penuh kesedihan. “Gue bakal tanggung jawab. Gue janji, gue nggak akan ninggalin lo, Nis. Gue bakal ngomong ke Papa sama Mama secepatnya.”
Dan benar, malam itu juga Kenzo mengumpulkan keberanian untuk bicara dengan kedua orangtuanya — Damian Raka Alveric dan Dewi Maharani Alveric.
Reaksi mereka? Hening. Lama sekali. Sampai akhirnya suara Dewi Maharani memecah keheningan, tenang tapi tajam.
> “Anak ini milik kalian berdua. Dan ini bukan hanya soal cinta, Kenzo. Ini soal kehormatan keluarga Alveric.”
Damian menatap anaknya dalam-dalam. “Kalian akan menikah. Secepatnya. Tidak boleh ada satu pun orang luar tahu tentang ini. Mengerti?”
Kenzo hanya bisa mengangguk pelan, menunduk. “Iya, Pa.”
Di sisi lain, keluarga Gunawan Sanjaya pun menerima kabar itu dengan wajah pucat dan cemas. Ibunda Annisa, Bu Inka, menangis lama di kamar setelah mendengar berita itu. Tapi ayahnya, Pak Gunawan, hanya berkata pendek,
> “Kalau mereka mau tanggung jawab, kita nggak punya pilihan lain selain setuju. Tapi semuanya harus dilakukan tertutup. Tidak boleh ada gosip. Tidak boleh ada yang tahu.”
Kedua keluarga sepakat: pernikahan Annisa dan Kenzo akan dipercepat tanpa sorotan media, tanpa pesta besar, hanya keluarga inti dan beberapa orang kepercayaan. Semua disusun cepat dan rapi, seolah tak ada yang salah.
Hari-hari berikutnya di Alveric International School of Excellence berjalan sunyi. Semua orang tahu, tapi tidak ada yang berani berbicara.
Teman-teman Annisa melihat perubahan pada dirinya wajahnya pucat, tubuhnya mudah lelah, dan sering absen dari kelas. Tapi mereka menutup mulut rapat-rapat. Mereka tahu siapa calon suaminya.
Sementara itu, di sisi lain kampus, teman-teman Kenzo pun pura-pura tidak tahu. Sebagai salah satu pemilik saham di sekolah itu, nama Kenzo Aidan Alveric bukan sekadar mahasiswa ia adalah simbol kekuasaan.
Satu rumor kecil saja bisa berakibat fatal. Semua tahu, tapi tak seorang pun berani menyebutkannya.
Suatu sore, Annisa duduk di balkon asrama sendirian, menatap langit yang mulai gelap. Angin sore berhembus lembut, tapi hatinya terasa berat.
Kenzo menelpon.
> “Nis, Papa dan Mama udah atur semuanya. Tanggal pernikahan kita dimajukan bulan depan.”
“Sebulan lagi?” suaranya bergetar.
“Iya. Dan mereka Nggak mau ada yang tahu soal kehamilan lo sampai nanti setelah kita nikah. Mereka minta semuanya terlihat sempurna.”
Annisa terdiam lama. Air matanya mengalir pelan. “Jadi kita harus pura-pura bahagia, gitu?”
Kenzo menarik napas panjang dari seberang sana. “Kita gak punya pilihan lain, Nis. Ini cara satu-satunya buat nyelamatin nama keluarga lo, juga keluarga gue.”
Annisa menggigit bibirnya, menatap jauh ke langit senja. “Oke… kalau itu cara satu-satunya.”
Namun di balik kata “oke” itu, hatinya hancur pelan-pelan. Ia tahu hidupnya tak akan sama lagi. Cinta yang seharusnya tumbuh dari hati kini terkubur di bawah kewajiban dan rahasia besar yang harus mereka bawa bersama seolah dua garis merah itu bukan tanda kehidupan, melainkan awal dari penjara yang harus mereka jalani dengan nama pernikahan.