"Aku terpaksa menangis, aku terpaksa merintih. Cahayaku semakin redup, memilukan. Kau masih bisa kulihat. Suaramu masih kudengar. Namun kenyataan ini, mengharukan. Seseorang di sana telah memilikimu. Aku kan berdosa bila merindukanmu."
"Git! Lo lagi ngapain sih?" Sebuah tepukan lembut mendarat di lenganku. Dengan cepat kulepas earphoneku.
"Kenapa?" Tanyaku bingung ketika melihat Dennis di hadapanku.
"Lagi ngapain sih? Dari tadi dipanggil gak ada jawaban."
"Lagi dengerin radio nih. Ada apa?" Setelah mendengar jawabanku Dennis hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Gak apa-apa. Cuma pengin manggil aja."
Aku menatap mata coklat milik Dennis. Sesaat kami berdua hanya terdiam saling melihat ke dalam mata masing-masing. Semuanya berakhir ketika seseorang memanggil Dennis.
"Dennis! Aku sudah siap nih." Dennis menoleh, begitupun denganku.
"Gue pulang duluan ya. Jangan lama-lama di sekolah, nanti Pak Maman naksir loh." Dennis tertawa setelah aku memelototinya.
Pak Maman adalah guru wali kelasku dan Dennis. Dan aku selalu menjadi murid yang pulangnya paling terakhir karena harus menyelesaikan hukumanku. Entah kenapa, setiap pelajaran Pak Maman, aku selalu sial. Entah itu lupa tidak mengerjakan PR, entah itu nilai ulanganku buruk, dan yang lainnya.
Aku masih menatap ke arah pintu, tempat terakhir aku bisa melihat punggung Dennis. Aku menghela napas. Mencoba menyadarkan pikiranku yang sudah tidak karuan. Buru-buru kuselesaikan tugas dari Pak Maman agar aku bisa segera pulang. Hatiku terlalu lelah menghadapi Dennis, rasa sakit pada dadaku sudah tidak mau berhenti. Dan aku tidak mau ada murid lain yang melihat aku menangis.———————————————————————————
"Kalian habis ngapain sih tadi? Kok saling lihat-lihatan gitu?" Karina menatap tajam mata kekasihnya, Dennis.
"Duh, aku bisa pingsan nih kalau kamu lihatnya begitu." Dennis tertawa ketika Karina mencubit pelan lengannya.
"Kamu masih cemburu?" Tanya Dennis ketika sudah puas tertawa. Karina mengangguk cepat.
"Gimana aku gak cemburu. Kalian masih dekat begitu." Dennis tersenyum.
"Kan aku sudah bilang berkali-kali. Aku sama Gita sudah selesai. Alasan kenapa aku masih dekat dengannya karena.."
"Karena, orang tua kalian adalah sahabat dekat, ditambah rumah kalian yang bersebelahan. Ya kan?" Kata Karina sebelum Dennis menyelesaikan kata-katanya.
"Tuh, kamu tahu." Dennis tersenyum.
"Tapi.."
"Sudah dong. Kita sudah diliatin nih dari tadi sama mbak-mbak yang duduk di sana. Dari tadi suara kamu kencang banget." Dennis menunjuk asal ke arah belakang Karina yang kemudian disusul dengan tawa Karina.
Dennis menatap dalam Karina yang sedang tertawa di sampingnya, yang kemudian melanjutkan makanan yang masih tersisa di piringnya. Dengan pelan Dennis menghela napasnya. Membayangkan seandainya saja Gita yang tertawa seperti itu, mungkin hatinya akan terasa lebih hangat daripada saat bersama Karina.
Sesaat Dennis kembali mengingat kejadian sebelum Karina memanggilnya.
Dennis tengah berjalan menuju kelas Karina setelah ia selesai keluar dari ruang guru. Ketika Dennis melewati kelasnya, Dennis melihat Gita yang tengah asyik dengan earphonenya sambil fokus menulis. Dennis menatap Gita dari luar kelas untuk beberapa lama. Dennis tersenyum sendiri ketika melihat Gita yang mendengus kesal kemudian mencoret-coret bukunya itu.
Sebuah tepukan mampir di bahu Dennis. Hampir saja Dennis memaki orang tersebut kalau saja Dennis tidak melihat siapa yang menepuknya. Agus Rahardja, sahabatnya sejak mereka satu SMP.
"Ngapain lo?" Dennis hanya tersenyum mendengar pertanyaan Agus. Kemudian Agus mengangguk-angguk ketika melihat siapa yang ada di dalam kelasnya.