You Are My Flaky

Luca Scofish
Chapter #3

Chapter 3

Sekarang, aku mulai memikirkan Mulan. Aku adalah anak orang miskin dengan prestasi yang sangat menyedihkan, namun aku memiliki segudang mimpi dan ambisi yang ingin kuraih di masa depan nanti. Jadi, seharusnya aku tak perlu merasa malu berteman dengannya karena saat ini status kami adalah sama, yaitu seorang pelajar. Bukan anak orang miskin atau anak orang kaya. Terlebih lagi, aku adalah seorang pejabat di kelas. Jadi, tak ada alasan lagi untuk merendahkan diri sendiri. Itulah kunci utamanya; aku harus memiliki integritas. Namun aku tetap harus tahu diri, tidak merendahkan diri untuk mencapai tujuanku. Inilah kunci harga diri. Dalam bahasa sehari-hari, prinsipnya adalah 'jangan malu-maluin'.


Suatu hari saat jam istirahat kedua, menjelang ibadah shalat Dzuhur, Mulan dan teman-teman baiknya berada di teras mushola sekolah. Kesempatan ini tidak ingin aku sia-siakan. Aku berdoa dalam hati bagaimana caranya bisa berbincang-bincang dengannya tapi dengan cara yang berkesan, supaya ia bisa terus memikirkanku. Aku harus nekat jika ingin berteman dengannya dan menjadi bagian dari hidupnya. Tiba-tiba terlintas di pikiranku ketika melihat Mulan melepas sepatunya dan memasuki mushola. Aku ingat baik-baik sepatu milik Mulan, kemudian ketika ia sudah berada di dalam mushola, aku mengotori alas sepatuku dengan lumpur dan membagikannya dengan sepatu Mulan. Lalu aku meletakkan sepatuku di samping sepatunya. Ini sedikit kejam, tapi aku harus tetap fokus pada tujuanku.


Begitu shalat berjamaah selesai, Mulan sudah menungguku sambil memasang muka cemberut. 


“Ini sepatumu, ya?” Mulan bertanya sambil memaksakan senyum. 


"Hmm…." Aku sedikit tegang, tapi juga merasa senang, sebab ini pertama kalinya kami saling bicara, kemudian aku langsung duduk di lantai sambil memakai sepatuku. Ketika aku mendongak untuk menatap wajah Mulan, hatiku berdesir dan jantungku berdegup kencang saat mata kami saling beradu pandang. Namun, aku bisa menetralkan suasana hatiku yang tak karuan itu. "Memangnya ada apa?" 


“Lain kali kalau mau masuk mushola lihat-lihat dulu, ya! Apa sebelumnya kau tidak melihat ketika mau masuk? Ini pasti dari sepatumu, kan? Soalnya sepatu yang lain pada bersih.” Mulan berkicau seperti guru killer wanita yang sedang menstruasi, namun perkataanya sangat lembut sehingga membuatku semakin percaya diri. 


"Oh, soal itu. Aku minta maaf, benar-benar tidak sengaja." Sampai di sini aku harus menunjukkan pada Mulan bahwa aku adalah sosok lelaki yang bertanggungjawab. "Memangnya berapa ukuran sepatumu? Nanti aku ganti," seruku meyakinkan, meskipun aku tidak punya uang. 


“Tidak perlu. Tapi tolong bersihkan saja karena sebentar lagi jam istirahat selesai." Mulan terlihat bete. 


Tanpa membuang-buang waktu, aku menuruti permintaanya dan langsung berlari ke kamar mandi mushola. Tidak sampai lima menit aku pun kembali sambil memasang muka sendu. "Sekali lagi, maafkan aku. Sepatumu jadi sedikit basah, pasti tidak nyaman dipakai. Tapi, kau hanya perlu menunggu sebentar supaya kering." 


"Terima kasih." Mulan mengambil sepatunya dan duduk di lantai.


Mendengar Mulan mengatakan hal itu—padahal tidak seharusnya dia berkata seperti itu—rasa tegangku mulai menghilang dan digantikan rasa percaya diri.


Kemudian, agar bisa mengobrol lebih lama dengan Mulan, aku iseng-iseng bertanya, “Habis ini ada pelajaran apa?"


“Pendidikan Kewarganegaraan," jawabnya simpel, sesimpel teks proklamasi. 


“Hm, jawabannya gitu banget. Sekali lagi aku minta maaf dan izinkan aku mengganti sepatumu." 


“Sudah kubilang tidak perlu," katanya. "Sudah dulu, ya, kelihatannya sepatuku sudah kering." Ia berdiri lalu bergegas menuju kelas. 


Iya, Mulan yang baik dan populer. Hatiku serasa berbunga-bunga, sok cool, padahal jatung serasa mau meledak ketika mengobrol dengannya.


Sampai sekarang pun aku sering mengenang obrolan pertamaku dengan Mulan.


Aku akui jika aku tak terlalu memperhatikan Mulan saat pertama kali melihatnya pada masa orientasi siswa dulu. Tampaknya angin puting-beliung pun tak bisa membuat tubuhnya terhempas. Itu lah kesan pertamaku terhadap dirinya. Dan sekarang aku bisa mengerti kenapa banyak siswa-siswi menghormati Mulan. Dia memiliki ketenangan... cara berjalan dan bertutur kata yang tak biasa, meskipun dia sedang berada dalam situasi genting. Ya... kurasa tidak ada salahnya kalau aku mulai menyukainya sejak saat itu. 


Namun, sampai pada titik ini, konflik batinku pada Mulan tetap bergejolak antara sadar diri dan suka. Hingga pada akhirnya, rasa suka itu mampu mengalahkan rasa pesimis akan kekuranganku. Pastilah karena benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku.


Keesokan harinya, saat jam pelajaran pertama, aku berusaha meminta maaf pada Mulan dengan cara menulis rasa penyesalanku atas kejadian kemarin di secarik kertas yang kuremas-remas menyerupai bola tenis, lalu melemparkannya pada Mulan yang duduk di deret berbeda dari tempat dudukku. Tempat duduk kami menyerupai garis miring segitiga sama siku—Mulan berada di sisi atas, sedangkan aku berada di sisi bawah. Bola kartasku meluncur deras hingga mengoyak rambutnya. Seolah tak terima dengan lemparanku yang mengenai rambut lebat sebahunya, Mulan membalas tulisanku dan melemparkan bola kertas itu padaku dengan kecepatan tinggi, namun aku bisa menangkisnya dengan satu tangan. Kemudian, perang bola kertas antara aku dan Mulan pun tak terhindarkan lagi. 


Tulisan tangan Mulan sangat ramping seperti kebanyakan murid cewek pada umumnya, tapi jika dibandingkan dengan tulisan tanganku, jelas tulisanku sedikit lebih baik, karena tulisan tanganku memiliki ciri khas tersendiri dan yang lebih menakjubkan lagi adalah karena tulisanku pernah dipuji oleh guru bahasa Indonesia tercantik di sekolah. Hal itu menjadi cikal bakal rasa cintaku terhadap bahasa Indonesia. 


Lihat selengkapnya