Hidup tanpa teman bagaikan sebatang pohon kaktus tak bercabang yang kokoh berdiri di tengah padang pasir, namun berduri tumpul hingga akhirnya mengering karena kekurangan air dan terlalu sering terkena sengatan sinar matahari, sehingga perlahan-lahan akan terurai atau bahkan menghilang terbawa angin berisik.
Dan teman tanpa kebahagiaan bagaikan bunga-bunga bermekaran yang begitu cantik dan menawan, namun keharumannya tak menguar, sehingga tak ada satu pun serangga yang dapat mendeteksi keberadaannya.
Hidup, teman, dan kebahagiaan adalah tiga unsur yang mampu membunuh kesepian. Ketiganya sulit terpisahkan maupun tergantikan oleh unsur lainnya, kecuali jika hidup, teman, dan kebahagiaan itu sendiri mengikat janji suci menjadi "cinta"?
Hatiku hancur karena pertengkaran orang tua, namun kembali terhibur oleh seorang teman yang mampu mengubah rasa sakit menjadi kenikmatan dan kepedihan menjadi kebahagiaan, sehingga mampu mengubah kepribadianku yang cenderung tertutup menjadi seorang yang penuh dengan rasa percaya diri, laksana seekor ulat dewasa yang mengalami metamorfosis hingga akhirnya terlahir kembali menjadi seekor kupu-kupu cantik dan menawan yang dihiasi beranekaragam corak dan warna.
Aku senang bisa berteman dengan Mulan. Ia bagaikan pelangi yang menyinari hari-hariku, menerangi kegelapan di hatiku, seperti waktu malam yang mendapatkan cahaya sinar matahari: Mulan sangat pendiam, namun ia bisa saja berubah menjadi cerewet ketika sudah menemukan lawan bicara yang tepat baginya. Sedangkan aku adalah siswa pembuat onar yang begitu percaya diri, namun cenderung menutup diri terhadap anak perempuan. Bisa juga diartikan: sekolah adalah warna-warni kehidupanku, sedangkan rumah adalah kegelapan yang begitu menakutkanku. Seluruh rumahku hanya berisi kesedihan, kesunyian, dan puing-puing kenangan masa kecilku. Aku sudah dikucilkan, aku menjadi hantuku sendiri, seluruh keceriaan masa kecilku sudah hilang direnggut, tak ada ilusi kebahagiaan untuk mendorongku. Hidupku bagaikan penjara kemelaratan dan mimpi terpotong. Hidup hanya kemajuan yang lambat menuju tempatku ke liang lahat, alur cerita yang dibuat Tuhan untuk menghilangkan keterpesonaanku pada segala yang diciptakan-Nya di alam semesta; hidup hanya nyala api sekejap dalam wadah minyak di antara satu kegelapan dan kegelapan lain yang mengakhirinya. Untungnya, kehadiran Mulan sebagai temanku seakan menjadi pelipur lara di hatiku, karena ia telah menjadi sinar matahari yang membinasakan kegelapan itu lebih dini.
Ya, seperti yang kalian duga, sifat tertutupku terhadap anak perempuan dilatarbelakangi oleh disharmoni dalam keluargaku. Setiap hari, ayah dan ibuku selalu bertengkar tanpa sebab yang pasti. Masalah kecil mulai dari urusan dapur hingga hutang-piutang sampai cemburu buta selalu menjadi tema pertikaian mereka. Terkadang aku berpikir bahwa jangan-jangan aku adalah anak angkat; bahwa sebenarnya aku bukanlah anak kandung orangtuaku. Ayahku pasrah saja hidup bergulat dengan usaha es cendol yang diwariskan dari silsilah keluarganya. Beliau tidak suka menjadi miskin dan bodoh, tapi tidak melakukan apa-apa untuk membantu dirinya sendiri. Beliau mau saja diperlakukan seenaknya oleh ibuku dan senang menerima perlakuan seperti itu. Hal yang paling aku benci dari ayah dan ibuku adalah tak sekali pun mereka memikirkan perasaanku dan adikku yang menjadi korban disharmoni dalam keluarga ini hingga kami berdua menyandang status 'Anak Broken Home'.
Adikku juga bersekolah di SMP Secang. Ia duduk di kelas satu dan menjadi murid terpandai se-angkatannya. Tangannya sangat terampil. Ia gemar menggambar dan melukis. Membaca novel-novel penulis terkenal dan buku-buku pengetahuan pun juga disukainya. Namun, ia suka menyendiri dan selalu menyelesaikan masalahnya sendiri, sehingga aku tak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Ia lebih suka merenung daripada berbicara, dan kebisuannya menjadi semacam alunan yang membawa seseorang ke dalam dunia khayalan, sehingga aku hanya bisa menebak-nebak jika semua kepedihan itu mampu membuatnya merasakan debar jantungnya yang teriris perih, seakan bisa melihat bayang-bayang perasaan yang tegak terpaku di hadapannya. Meski begitu, aku cukup senang karena adikku melampiaskan emosinya dengan berbagai prestasi yang sangat membanggakan. Dengan prestasi itu, ia terlihat sama sekali tak memedulikan situasi genting di rumah kami. Tidak peduli, sangat tidak peduli....
Sekarang, setelah selesai memukul jatuh kehormatan keluargaku, izinkan aku kembali lagi membahas pertemananku dengan Mulan.
Bagaimana rasanya berteman dengan dia?
Sulit diungkapkan dengan kata-kata, aneh, gila, bisa berteman dengan primadona kelas membuatku merasa serba salah, dan aku sering salah tingkah. Namun, entah kenapa aku menyukainya, seperti orang yang berada di bawah pengaruh 'heroin', namun tak bisa menikmati sensasinya lagi, dan hanya bisa mencium aromanya yang begitu memikat nan memabukkan. Bukankah itu adalah sebuah belenggu?
Awalnya aku merasa takut untuk mencoba, namun setelah mencobanya, hatiku dilanda rindu, dan berikutnya aku lebih sering memikirkannya. Aku mulai kecanduan, dan juga menyukai sensasinya, sehingga aku kesulitan mengendalikan diri. Aku memikirkan Mulan setiap saat dan tak bisa menghentikannya. Tapi kemudian aku terbiasa dengan semua itu, dan mulai mengikuti aturan mainnya. Jika ia jauh dariku, rasa sakit merayap tubuhku, seolah ada jarum yang menusuk hingga menembus tulang rusukku. Aku tak bisa menemukan obat penawarnya sehingga aku bertingkah laku seperti orang gila yang tak tahu malu dan suka tersenyum sendiri. Di sisi lain, dampak negatif yang diam-diam kusukai karena mampu mengubah mentalku yang cenderung inferior terhadap anak perempuan, menjadi lebih superior adalah memicu terjadinya gangguan skizofrenia—gangguan menilai kenyataan dan pemahaman diri. Aku lupa siapa diriku yang sebenarnya hingga merasa lebih percaya diri; menjadi lebih banyak bicara dan merasa pembicaraan itu hebat. Ditambah lagi gangguan persepsi tentang waktu dan ruang: satu menit berbicara dengan Mulan serasa sepuluh menit, dan satu kilometer berjalan bersamanya serasa sepuluh kilometer. Aku benar-benar telah berubah menjadi orang gila yang sangat mengerikan.
"Mulan, apa kau tidak merasa bosan jika setiap hari terus-menerus membaca buku yang sangat tebal seperti itu." Aku membuka obrolan dengan santai ketika kami berjalan pulang menuju halte sekolah.
"Bagaimana mengatakannya ya... tapi, setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk mengisi waktu luang." Mulan menjawabnya sambil memalingkan kepalanya dari buku, sorot matanya dingin.
"Jadi, kau memilih cara seperti seorang profesor, ya?" Aku mengatakannya dengan halus, namun terkesan meledek. "Kau hampir tidak bisa disebut sebagai teman baik! Memangnya kau tidak tahu, dengan seorang yang menemanimu pulang, seharusnya kau membuat sebuah percakapan?" tambahku, sambil setengah tersenyum dan kumaksudkan sebagai ironis bagi Mulan, yang pada saat itu terkesan lebih baik membayar apa pun daripada meninggalkan novelnya, hal itu terasa seperti ancaman. Apa yang telah kulakukan, dengan mengganggunya? Sekarang sudah jelas bahwa dengan bersamaku, Mulan tidak akan bisa membaca satu baris pun.
Aku harus membuatnya sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan, bahwa aku sama sekali bukan tipe perayu belia, bahwa aku termasuk orang yang seharusnya tidak diperhatikan sama sekali.
"Percakapan," ujar Mulan lembut. "Percakapan seperti apa?" dan ia terus berusaha memperhatikan bukunya sambil mempercepat langkahnya.
Aku ingin sekali bergerak cepat dan menjulurkan tanganku untuk meraih pundaknya, kemudian merangkulnya. Nah, sekarang, bila aku melakukannya, ia pasti akan merasa terhina oleh tindakan tidak pantas semacam ini, mungkin ia akan menamparku dan membenciku. Namun, entah karena sudah menjadi sifat bawaanku, atau keinginan berbeda dan lebih manis daripada kenyataan yang menghantuiku, kata-kata itu, bukannya brutal dan provokatif, melainkan sebuah perkataan malu-malu, dan mungkin hampir mengiba. "Hei, perhatikan jalanmu, kau bisa tersandung, tahu!" Aku menggaruk-garuk kepala, merasa bersalah dengan ucapanku.
"...." Mulan menoleh dan munjulurkan lidahnya seperti bunglon.
Sikak!
Sebenarnya, aku ingin bertanya pada Mulan, "Kenapa kau selalu menaati peraturan? Kenapa kau tidak menggunakan masa mudamu untuk hal-hal yang lebih menyenangkan? Kenapa kau hidup seperti air yang selalu mengikuti arus yang deras? Kenapa, kenapa... dan kenapa?"
"Karena aku ingin menjadi orang sukses!" Mulan pasti akan menjawab seperti itu.
Aku bisa saja menyalahkan dan memarahinya, lalu memengaruhi cara berpikirannya menjadi way of life, falsafah hidup yang menempatkan kesenangan duniawi sebagai tujuan hidup.
Sebaliknya, jika Mulan bertanya padaku, "Kenapa kau selalu melanggar peraturan? Menjahili dan menindas teman-teman yang ingin belajar dengan tenang? Atau bahkan tidak bersikap santun kepada bapak-ibu guru? Kenapa, Eri... kenapa?"
Aku akan menjawabnya dengan tegas, "Aku ini anak nakal! Anak nakal yang ingin mendapat perhatian dan kasih sayang! Kau takkan pernah bisa mengerti!"
Namun, jika Mulan menyalahkan dan memarahiku, lalu berusaha memengaruhi cara berpikirku dengan etos belajar yang tinggi, berarti aku berhasil menarik perhatiannya. Dan jika ia ingin membimbingku menjadi 'murid teladan', maka aku akan menyambutnya dengan sangat bersahabat.
Aku tak bisa memungkiri jika Mulan memiliki inner beauty. Kalau sudah bicara, mataku pasti tertuju pada merah mungil bibirnya yang seksi hingga sulit untuk berkedip. Mesum? Tidak! Entah kenapa, setiap kali aku melihat Mulan, aku merasa memiliki seorang kakak perempuan yang sangat menyayangi adiknya. Kakak perempuan yang harus dihormati dan disayangi. Kakak perempuan yang... membuat tingkahku menjadi serba salah.
Meskipun tempat tinggal Mulan cukup jauh dari sekolah, namun ia selalu tiba di sekolah lebih awal. Lima belas menit sebelum pelajaran dimulai, ia sudah duduk manis di mejanya sambil membaca buku, atau mengulang pelajaran.
Sedangkan aku yang setiap pagi selalu berjalan kaki sejauh dua kilometer dari rumah menuju sekolah sering terlambat dan mendapat hukuman dari Pak Burhan. Membersihkan halaman atau menyirami kebun sekolah adalah rutinitas pagiku. Biasanya aku ditemani oleh anak bandel dari kelas sebelah untuk membersihkan halaman, namun kami sering membagi tugas, dan aku lebih memilih untuk menyirami tanaman-tanaman hias yang ada di setiap koridor ruang kelas dengan nitrogen alami menurut jadwal yang ketat. Setelah itu, aku diizinkan memasuki ruang kelas pada jam pelajaran ke dua. Tetapi, ketika di kelas pun aku tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Mungkin lebih tepatnya karena 'aku adalah seorang pemalas', jadi aku lebih suka tidur di kelas, sehingga memancing Pak Burhan untuk melontarkan sindiran mautnya padaku.