Jalan santai merupakan salah satu cara ampuh untuk menghilangkan stres akibat rutinitas di sekolah. Pada hari itu, pihak sekolah mewajibkan semua murid untuk mengikuti jalan santai, namun tetap saja ada beberapa murid bandel yang tidak mengikutinya, dan lebih memilih untuk membolos. Kami berjalan menyusuri hutan, sawah, dan sungai Elo yang panjang dan penuh dengan bebatuan besar. Ketika bernapas sambil berjalan melewati hutan, bau angin sepoi-sepoi dan hijaunya daun akan memanjakan indera penciuman setiap orang, sehingga orang tidak tega untuk meludah, bahkan membuang sampah sembarangan karena takut menodai keindahan tempat itu.
Sekitar lima ratus orang termasuk guru dan staf sekolah ikut larut dalam keceriaan ini. Semuanya bersukaria; berjalan-jalan dan bercengkerama satu sama lain sambil menikmati pemandangan sekitar. Sinar matahari yang menembus dedaunan seakan menyempurnakan pagi itu. Cahayanya seakan tak disaring udara atau stratosfer, sungguh murni, menghasilkan fokus yang luar biasa jelas, memiliki kekuatan dan kilau yang heroik.
Mulan, si kutu buku yang pendiam, terlihat sangat senang. Ia berbincang-bincang dengan Renita dan Arinda. Beberapa teman sekelasku seperti Hasan, Riyu, dan Agung juga terlihat senang. Mereka berjalan di belakang cewek-cewek kemayu itu sambil menjahilinya, berusaha mendapatkan perhatian mereka.
Kami terus berjalan hingga berhenti di setiap pos yang sudah ditentukan oleh panitia untuk mendapatkan nomor undian berstempel logo sekolah. Setelah acara jalan santai usai, nomor undian tersebut akan diundi untuk mendapatkan doorprize.
Begitu semua orang melewati garis finish yang ada di gerbang sekolah, semuanya lalu berkumpul di halaman sekolah dan menunggu acara pembagian doorprize yang akan dibacakan oleh panitia.
Aku dan teman-teman sekelas berdiri di koridor kelas 2B sambil meletakkan semua nomor undian yang kami dapat di atas meja, menyusunnya dengan baik seperti pameran seni lukis.
Aku mengawasi Mulan yang berdiri di samping Renita dan Arinda, dengan kedua tangan memegang tiga lembar nomor undian yang melekat di dada. Ia terlihat berharap-harap cemas menunggu panitia mengumumkan nomor-nomor yang berhak mendapatkan hadiah. Jantungku berdesir ketika melihat baju olahraganya terangkat sedikit di bagian belakang sehingga memperlihatkan kulit mulusnya. Berdasarkan pengamatanku selama ini, aku tahu jika pinggangnya sangat langsing. Punggungnya mulus dan sempurna. Keseksian yang tumbuh alami hingga mengundang decak kagum setiap orang yang melihatnya, termasuk aku.
"Taruhan lima ribu rupiah, kau tidak akan mendapat hadiah apa pun," kataku dari belakangnya.
Mulan menoleh dan tersenyum. "Aku berani bertaruh sepuluh ribu rupiah jika kau mendapat hadiah."
"Baiklah, kita tunggu hasilnya," timpalku, sambil mengangkat alis.
Mulan tersenyum padaku lagi, kemudian membalikkan badan, dan mendengarkan panitia jalan santai membacakan nomor undian. Setelah cukup lama menunggu, terdengar suara, "Nomor 2327," yang keras dari speaker sekolah.
"Eri, itu nomor undianmu!" Suara renyah Riyu membangkitkan semangatku untuk memberitahu Mulan, dan dengan cepat aku mengambil nomor undian dari meja.
"Aduh, sekarang kau dalam masalah, Nona!" Aku berteriak pada Mulan di tengah teman-temanku yang berkumpul di koridor kelas, lalu berlari menuju panggung untuk mengambil hadiah.
"Selamat, kau mendapat boneka teddy bear berwarna cokelat," kata seorang panitia dari kelas tiga, lalu menyerahkannya padaku.
Aku membungkuk dan menerimanya dengan santun. "Terima kasih."
Sesaat kemudian aku kembali pada Mulan dan menengadah telapak tangan, lalu mengangkat alis padanya, berharap ia mengetahui bahasa tubuhku, "Ayo, bayar!"
"Kau beruntung," katanya.
"Justru saat ini aku sedang beruntung." Aku memamerkan hadiah boneka teddy bear jelek yang diselimuti bulu cokelat tua, lalu menyodorkannya pada Mulan.
"Untukku?" katanya sambil menunjuk dada.
"Kau suka barang-barang bekasan, bukan? Kata Renita, kau tidak keberatan menerima pena yang sudah tidak berfungsi dengan baik dari adiknya. Aku mendengarkan ceritanya dengan baik." Aku menyenggol pundak Mulan dan berbisik, "Ayo kita pergi ke kantin."
"Ke perpustakaan saja." Dengan gesit, Mulan mengatakannya sambil menyambar boneka teddy bear dari tanganku.
Tubuhku sudah hangat dan berdebar-debar karena aku tahu persis apa yang ada dalam pikirannya. "Apa rencanamu setelah pulang sekolah?"
"Langsung pulang ke rumah. Kenapa?"
"Hm, bolehkah aku mengantarmu pulang? Aku ingin sekali bermain ke rumahmu. Kudengar kau memelihara kucing baru, ya? Aku sangat menyukai kucing."
Mulan menggeleng. "Tidak mungkin. Ibuku di rumah. Ke rumahmu saja," usulnya.
Aku dan Mulan sudah benar-benar berteman selama tiga bulan. Tetapi, Mulan masih belum mengetahui tempat tinggalku. Itu bukan karena Mulan tidak berusaha, sebab aku selalu mencari alasan untuk menolaknya. Dan kini, lagi-lagi ia mengajukan pertanyaan yang sama, sehingga aku harus mencari alasan yang sesuai. Mungkin selama ini Mulan sudah berusaha bersabar, tapi rasa penasarannya membuatku takut jika sewaktu-waktu ia tahu gubuk reyotku. Terlebih lagi penghuni gubuk itu adalah monster menakutkan yang sewaktu-waktu bisa merobohkan bangunannya. Aku benar-benar sangat merahasiakan kehidupan pribadiku pada teman-teman sekolah, terutama Mulan.
Aku tak peduli jika aku menjalani kehidupan di sekolah seperti mata-mata yang telah menandatangani perjanjian abadi untuk menjaga kerahasiaan. Aku seperti satu-satunya orang di dunia ini yang tahu keadaan sebenarnya, namun dilarang mengungkapkannya. Dan kebenaran ini menindih lebih berat daripada jagat raya, sehingga aku seperti Atlas yang membungkuk selamanya untuk menopang beban yang meremukkan tulang dan membekukan darah. Tidak ada udara di dunia ini yang dapat kuhirup dengan sempurna. Aku bagaikan tanaman yang tercekik karena kekurangan udara dan cahaya, akar-akarku dipangkas dan batang-batangku disuntik cairan beracun. Sebelum aku menemukan arti hidupku yang baru, hidupku dipenuhi kepedihan dan kesengsaraan. Tak ada seorang pun yang datang untuk menolongku. Aku adalah orang asing di rumahku sendiri, orang asing dalam keluargaku sendiri. Keluargaku juga asing di lingkungan masyarakat, asing dalam bermasyarakat, sehingga kami dibenci seperti kanker, padahal kami terdiri atas darah dan daging, juga seperti halnya mereka yang membenci kami.
"Biar kutebak," kata Mulan. "Kau tinggal di sebuah bangunan rahasia yang sangat menyeramkan, bukan?"