Setelah negosiasi yang alot dan perdebatan sengit tentang rokok, aku beranjak dari tempat dudukku dan berniat meninggalkan Riyu yang masih menikmati rokoknya menuju rental playstasion. Sialnya, baru berjalan beberapa langkah, aku dihadang oleh Heru, ketua geng Weinsgrovers, bersama Yuda dan Muslih yang menjadi cecunguk setianya.
"Kau dikepung," kata Heru sambil menatapku sinis.
Heru sebenarnya adalah rival sepermainanku yang paling bersahabat. Heru yang betubuh sekal, padat, bahkan sebenarnya sedikit gempal seperti Hulk adalah teman yang terus menjadi saksi perjalanan masa kecilku, dan selalu bersaing denganku. Meskipun sejak SD kami tidak bersekolah di SD yang sama, tetapi sepulang sekolah kami sering menghabiskan waktu bersama. Kami sering bermain playstation bersama, bermain sepak bola bersama, bersepeda dari rumah sampai kota Magelang lalu mengakhirinya dengan berenang di kolam renang bersama. Semua hal yang kami lakukan tersebut selalu kami jadikan ajang pertandingan untuk menentukan siapa yang terbaik di antara kami.
Namun, masa-masa indah itu sudah berlalu semenjak kami berdua mulai masuk SMP. Heru cenderung bersikap dingin padaku, dan ia selalu bergaul dengan anak orang kaya di sekolah. Aku tak tahu penyebab pastinya, namun aku menduga jika perbedaan status sosial yang memutuskan persahabatan kami. Mungkin Heru yang sudah beranjak dewasa malu jika harus berteman dengan anak orang miskin sepertiku.
Sebenarnya aku bukanlah tipikal seorang anak yang suka mencari perkara, namun semua itu tergantung permulaannya. Bukankah kalau kita ingin dihormati orang lain, kita harus menghormati orang lain lebih dulu? Aku pun berusaha menerapkannya dengan baik. Tapi, pada dasarnya aku memang agak songong, sih. Aku suka melalaikan masalah kecil yang menurutku tidak penting, padahal menurut orang lain penting, dan saat aku menganggap hal itu penting, orang lain malah menganggapnya tidak penting. Saling berkesinambungan. Aku tidak suka memperhatikan ucapan orang yang sok: sok sibuk, sok jagoan, dan sok kaya seperti orang yang menghadangku ini. Cara terbaik menghadapi tipikal orang dengan ciri-ciri tersebut adalah bersikap "cuek bebek" kalau tidak ingin mendapat tekanan batin.
"Maaf, aku tidak punya urusan denganmu." Aku menundukkan pandangan sambil melangkah maju.
Heru menghentikan jalanku sambil memegang dadaku, lalu ia mendorongku ke arah belakang sambil berkata, "Kau lupa dengan janjimu, Bangsat!"
Nada suaranya sangat tidak menyenangkan. Ada nada mengancam khas seorang bajingan terminal yang sudah berhasil dan pernah menghajar banyak orang, dan dengan senang hati akan menghajar satu orang lagi kalau aku terlalu lama berdiri di depannya atau tidak cukup cepat memberikan jawaban. Ia ingin menghajarku karena ia merasa iri dan cemburu melihat kedekatanku dengan Mulan.
"Suaramu kasar, congak, dan busuk!" Aku tak dapat lagi menahan kejengkelanku.
"Eri, kau tak perlu meladeninya!" Riyu berteriak keras dari belakangku.
Aku menoleh ke belakang dan mendapati dua cecunguk Heru yang lain berdiri di ujung gang di belakang Riyu. "Berhati-hatilah!" Aku menggunakan bahasa bibir untuk berkomunikasi dengan Riyu, dan mengarahkan daguku ke arah dua cecunguk Heru itu.
"Aku tahu. Kita kabur saja?" Riyu mengedipkan matanya, dan menggunakan bahasa bibir untuk menjelaskan.
"Sip! Kau harus menerjang mereka berdua lalu berlari secepat mungkin." bisikku pada Riyu. "Cepatlah!" lanjutku, berharap ia tidak melihat tubuhku yang gemetar.
Riyu diam saja.
Setelah beberapa saat, Riyu mengangguk tanda paham. Ia lalu berteriak keras sambil memutar-mutar tangannya dengan cepat seperti baling-baling helikopter. Ia anak yang pemberani, sekalipun ia tidak tahu dengan nasibnya setelah ini. Semakin sedikit ia tidak terlibat masalahku, akan semakin baik. Aku sudah menanamkan hal itu entah berapa kali.
Heru yang sudah tidak tahan lagi ingin menghabisiku lalu membanting tasnya dan memasang kuda-kuda, sedangkan aku hanya memasang senyum santai dan berusaha bersikap normal, berharap ia berpikir jika aku sama sekali tidak takut dengannya. Dua cecunguk Heru yang selalu mengekor kemana pun Heru pergi hanya melihat kami dengan santainya. Aku tahu, Heru bukanlah pengecut yang suka main keroyokan.
"Bersiaplah!" ujar Heru seraya perlahan mendekatiku.
Aku yang gugup pun melangkah pelan ke belakang dan mulai memasang kuda-kuda. "Kau tahu, aku tidak pernah menjanjikan apa pun padamu. Tetapi, kenapa kau selalu mengangguku? Apa salahku kepadamu?"
"Kau dilahirkan!" hardiknya, dan dengan cepat ia mengarahkan tinju dengan tangan kanannya, namun aku berhasil menangkisnya dengan tangan kiri. Kemudian, aku langsung mengarahkan tinju kananku dengan cepat ke arah hidungnya.
Aku tidak memukul lagi, sebab Heru terjatuh dan hidungnya berdarah.
Yuda dan Muslih tampak terkejut. Mereka mengambil beberapa lembar tisu dari sakunya untuk membersihkan darah bosnya.
"Heru, aku tidak bermaksud melukaimu, tapi kau yang memulainya lebih dulu. Aku hanya berusaha melindungi diriku sendiri." Aku sedikit merasa bersalah melihat Heru yang marah.
Heru mengendus-endus dan menyipitkan mata padaku, dari mulutnya keluar berbagai macam sumpah serapah.
"!!!!" Instingku membuatku melompat mundur. Detak jantungku berdebar kencang. Kakiku gemetar karena sangat takut.