Sesampainya di rumah, aku melempar tasku ke meja tamu, lalu berjalan ke dapur dan mengambil termos, mengisi gelas air putih. Aku meneguk beberapa kali hingga merasa sedikit membaik. Namun, ketika ujung gelas menyentuh bagian bibirku yang berdarah, segalanya terasa sangat perih. Aku berlari ke kamar tidurku dan mengamati wajahku di cermin. Tepat di bawah alis ada lebam kecil yang hampir tak terlihat. Mata kiriku bengkak dan kelihatan parah. Aku mengambil kain dan membasuh noda darah di bibir. Bibirku tidak bengkak, namun terasa cukup pedih. Keadaannya tampak lebih parah daripada sehabis terjatuh dari sepeda. Namun, aku terlalu kuat untuk menangis.
Aku memasak air hangat dan mengambil handuk kecil, kemudian mencelupkannya ke air hangat tadi sebelum akhirnya kutempelkan erat-erat di bawah mata. Aku berjalan ke sofa dan mengamati adikku yang sedang menyendiri bersama buku-buku pelajaran. Waktu itu hampir pukul setengah lima sore, saat kedua orang tuaku pulang sesudah tujuh jam lebih berdagang es cendol di pasar Secang. Mata dan pipiku masih nyut-nyutan karena pukulan Heru, sementara telingaku masih berdenging dengan ancamannya, namun aku mulai berpikir: "Bagaimana menjawab pertanyaan ayah, ibu, dan adikku jika mereka melihat wajahku yang bengkak ini?"
Kalau besok aku masuk sekolah, mungkin Mulan, teman-teman sekelas, bahkan pak Burhan juga akan menanyakan hal serupa. Aku bingung. Aku sangat sedih dan takut. Tetapi, aku yang berumur 14 tahun saat itu tidak tahu harus berbuat apa.
Beberapa saat kemudian, seluruh kerumitan yang sedang kualami tertulis jelas di wajahku.
Ketika adikku mengantarkan makanan untukku, ia bertanya apakah aku sedang ada masalah. Aku hanya tersenyum dan mengatakan tidak ada apa-apa.
Harus kuakui, sampai sekarang pun aku menjadi seorang lelaki yang paling mengerti isi hati dan jiwa setiap perempuan seperti adikku. Telah kurasakan bagaimana awan hitam pekat memayungi gubuk reyot kami. Ditambah lagi kilatan petir yang dahsyat dan mengerikan selalu meneror atap rumah kami. Namun, tak sekalipun ia bisa menghancurkannya, termasuk jiwaku yang dengan sabarnya menanti dan menahan derita untuk mendapat hasil yang sangat pahit.
Aku dan adikku seakan mengenakan sehelai jubah penderitaan dalam hidup kami, namun semua itu justru membuat kami saling mengasihi hingga mampu menambah luhur martabat kami. Sebagaimana setangkai bunga yang sedang bersemi akan terasa lebih indah tatkala dilihat melalui kabut di waktu fajar.
Penderitaan mempertautkan jiwanya dan jiwaku. Seakan, masing-masing jiwa itu saling memandang wajah kami dan membaca apa yang dirasakan dalam hati, dan ia juga mampu mendengarkan gema sebuah suara yang tersembunyi.
Tuhan telah menciptakan dua tubuh dalam satu jiwa, namun berkubang dengan masa lalu tidak akan mengubah apa pun kecuali menambah penderitaan yang berkepanjangan.
Kami tertindas oleh kekejaman dan kerasnya hati orang tua kami, terpenjara dalam jeruji kehidupan yang sempit dan sangat menyiksa.
Meskipun aku sudah mengatakan jika aku tidak apa-apa, namun adikku berusaha menghiburku ketika aku menyantap makanan. Ia tahu jika suasana hatiku sedang tidak baik. Ikatan di antara saudara yang hampir sepantaran memang sangat tajam dan penuh emosional.
"Adikku, kau tak perlu berusaha menghiburku, karena hiburan terbesar dalam diriku saat ini adalah kesendirian." Diam-diam aku menangis dalam hati.