Keesokan paginya aku beranjak dari tempat tidur dengan malas. Setelah mandi dan menyantap nasi goreng, aku berangkat ke sekolah dengan hati was-was; takut jika Heru dan para cecunguknya menyerangku secara tak terduga. Maka dari itu, aku melewati jalan yang berbeda dari biasanya. Sesampainya di sekolah, teman-teman sekelasku berkumpul bersama geng Gorovers di koridor kelas 2A. Aku yakin jika mereka sedang membahas kemungkinan untuk membalas kelakuan Heru dan geng Weinsgrovers setelah Riyu mengadukan masalah penyerangan itu pada Tegar, ketua geng Gorovers.
Aku menghambur menaiki tangga kecil menuju koridor. "Hai, teman-teman."
"Eri, kau baik-baik saja, kan?" Riyu yang berada di tengah-tengah kerumunan orang memperhatikanku dengan seksama. "O tidak, ternyata aku salah."
Aku memegang mata kiriku yang bengkak. "Tidak ada apa-apa."
"Eri, aku minta maaf. Kemarin aku tidak tahu jika kau diserang." Agung yang kemarin aku tinggal di rental playstation gara-gara masalah DVD bergambar wanita seksi yang disewa oleh Riyu mengatakannya dengan penuh simpati.
"Tak separah yang kau kira." Aku tersenyum sedikit pada Agung. "Tak ada yang serius, Agung."
"Eri, kau bisa menjelaskan kronologinya padaku," kata Tegar dengan nada emosi. "Ayo, ceritakan semuanya. Kau aman dalam perlindunganku."
Sebenarnya aku tidak ingin memperpanjang masalah ini, namun aku juga tidak bisa memungkiri kalau aku memang membutuhkan perlindungan, sebab Heru dan para cecunguknya pasti merencanakan sesuatu yang lebih mengerikan setelah kejadian kemarin.
Aku menghambur menuju pintu kelas 2A, memberi isyarat pada Tegar dan teman-teman supaya mengikuti. Begitu pintu ditutup rapat-rapat, semua orang menatapku serius. Perlahan, aku mulai menceritakan kejadian yang sebenarnya: dimulai dari masalah DVD bergambar wanita seksi, pengejaran Heru yang lebih mirip dengan lomba maraton, dan perkelahian kami yang sangat brutal; saling menjambak rambut hingga menggigit tangan. Hm, sampai di sini aku sangat yakin sekali kalau otak kalian pasti dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan licik seputar DVD bergambar wanita seksi itu, kan? Apakah aku jadi menontonnya atau tidak? Well, jawabannya adalah . . . . This is my privation!
Begitu aku selesai bercerita, Tegar menatapku berapi-api. "Apa yang menyulut permusuhan kalian?"
"Biasa, masalah perempuan. Heru tidak suka melihat kedekatanku dengan Mulan." Aku mengatakannya sambil mengalihkan pandanganku ke Agung.
"...." Agung pun menunduk, tidak senang dengan tatapanku yang memberi sinyal: "Jangan mendekati Mulan kalau kau tidak ingin bernasib sama sepertiku."
"Kupikir tak sepantasnya ia melakukan hal semacam ini padamu. Kau tenang saja, ya? Aku akan membantumu." Tegar menepuk-nepuk bahuku, memberi semangat yang menenangkan hatiku. "Ia akan mendapat balasan yang setimpal."
"...." Mataku bersinar, tidak bisa mengatakan apa pun.
Selain mencemaskan hal-hal buruk yang akan menimpaku, aku juga mencemaskan Mulan di pagi yang muram ini, karena kami tidak saling berkirim pesan singkat sejak penyerangan mendadak yang dilakukan geng Weinsgrovers kemarin. Itu, ditambah dengan rasa frustrasiku yang semakin memuncak karena tidak bisa bercanda dan melihat senyum manisnya, dan keributan yang ditimbulkan Heru di tempat umum gara-gara kedekatanku dengan Mulan telah membuatku kesal dan cepat marah.
Aku membutuhkan suasana yang berbeda untuk mengalihkan perhatian dari semua masalah ini. Mungkin, jika cuaca akhir minggu ini hangat, aku bisa mengajak Mulan berjalan-jalan di taman atau membaca komik di Kenzo. Pokoknya melakukan kegiatan yang bisa membuatku merasa rileks dan kembali bisa berpikir jernih.
Aku masih sibuk memikirkan hal itu ketika bel tanda masuk sekolah berdering. Kemudian, aku menengadahkan wajahku dari tatapan Tegar dan melihat jam berpendulum yang tergantung di dinding belakang mimbar kelas. Benda itu dikelilingi poster-poster yang seluruhnya hampir mengeskpresikan semboyan Ki Hajar Dewantoro: "Tut Wuri Handayani". Sesaat kemudian, murid-murid yang ada di luar berhamburan masuk ke kelas masing-masing, sementara aku dan teman-teman sekelasku meninggalkan kelas 2A dan menuju ke kelas 2B.
Di kelas, Mulan yang melihat wajahku penuh lebam mendatangi bangkuku dan duduk di sampingku ketika pergantian jam pelajaran.
"Eri, kau baik-baik saja, kan?" tanya Mulan dengan penuh perhatian.
"Cukup baik, hanya saja...." Aku tak melanjutkan ucapanku.
"Kenapa kau?"
"Aku... aku...."
"Apa yang telah terjadi sebenarnya?" Mulan semakin ingin tahu.
"Maaf Mulan, tapi aku tidak bersalah...." Aku tak melanjutkan ucapanku.