Setelah selesai berenang dan menikmati buah kelapa muda, kami bersantai di gubuk kecil halaman rumah Tegar sambil membahas permasalahanku dengan Heru. Aku ingin segera mengakhiri masalah ini dan menjalani hari-hari seperti biasa; tidak ingin menjadi seperti saksi utama dalam sebuah tindak kejahatan berat yang setiap hari harus mencari perlindungan ke sana ke mari demi menghadapi tekanan serta ancaman dari kiri-kanan. Namun, apa yang kurasakan malah berbeda dengan apa yang Tegar pikirkan, sehingga membuatku sangat resah.
"Aku tidak menyembunyikan masalah dari diriku sendiri. Aku tidak seperti yang lain. Aku tidak seperti mereka yang berada dalam posisi terpaksa memikirkan masalah ini, namun sebenarnya tidak peduli sama sekali. Atau lebih buruk lagi: mencoba menghalang-halangiku." Aku duduk dengan gelisah dan menyipitkan mataku.
Tegar berdiri tepat di depanku, menurunkan suaranya. "Karena mungkin kau telalu kekanak-kanakkan, kau percaya bahwa semua orang setuju dengan kita. Namun kenyataannya tidak. Jumlah kita hanya sedikit. Dan kita akan mendapat ancaman dari berbagai pihak. Namun, aku tidak akan putus asa. Aku bicara. Aku bertindak. Aku mampu membantumu dan memecahkan masalah ini. Hal seperti itulah yang ingin kurasakan di dalam benakmu, kau mengerti?"
Aku mengerti dengan jelas. Kepura-puraan dalam berpendapat yang sebenarnya bertentangan dengan pendapatku sendiri telah menjatuhkan mentalku, tapi sekarang aku justru dapat memberikan penekanan yang tepat pada masalah ini.
Beberapa saat berlalu, ponselku berdering, aku pun mengeluarkannya dari saku celanaku dengan kasar. "Apa?" bentakku. Tidak ada jawaban. Saking emosinya, aku tidak sadar kalau itu bunyi pesan singkat yang masuk, bukan panggilan telepon.
Ada sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal. BERHATI-HATI LAH DI JALAN.
"Menakutkan," kata Tegar, memiringkan badan agar bisa ikut membaca. "Kau memberikan nomormu kepada siapa?"
"Mungkin salah kirim. Mungkin pesan ini untuk orang lain." Tapi tentu saja, pikiranku tertuju pada Heru dan para cecunguknya.
Aku memasukkan ponselku ke tas yang terbuka di kakiku, lalu aku menangkupkan tangan ke kepala. Mataku berdenyut-denyut. Aku ketakutan, sendirian, kebingungan, dan nyaris menangis sejadi-jadinya.
"Mungkin dari Heru." Tegar mencoba menebak.
"Nomornya tidak dikenal. Mungkin ini perbuatan iseng seseorang." Andai saja aku bisa memaksakan diriku sendiri untuk mempercayainya. "Kau bisa mengantarku pulang sekarang? Aku lelah sekali."
"Kurasa kita harus menelepon anggota detektif sekolahan. Mereka sangat suka dengan kasus penguntit seperti ini."
Aku tersenyum. "Kau bercanda, mereka bahkan tidak pernah mendapatkan klien."
Heru berjalan ke arah motor ayahnya yang terparkir beberapa meter dari tempat kami bersantai. "Sekadar ingin membantu."
"Seharusnya kau membantuku saat Heru menendang alat vitalku beberapa minggu yang lalu. Ketika kau mengelus-elus kepala Heru hingga membuatnya malu di hadapan para cecunguknya."
"Setidaknya, aku sudah melakukannya, kan?"
Aku menoleh dan memelototi Tegar. "Apakah kau menuduhku tidak membela diri di hadapan si Berengsek itu?"
"Heru menghina keluargamu, kan? Kalau ia berani menghina keluargaku, ia harus menebusnya di neraka."
Aku berjalan ke arah sepeda motor Tegar dan memboncengnya. "Ayo, jalan!"
Setengah jam kemudian, kami sampai di pertigaan kota Secang. Beberapa polisi terlihat bersiaga di pos, memantau situasi dan kondisi lalu lintas. Karena Tegar belum memiliki SIM dan kami juga tidak memakai helm, maka Tegar tidak berani mengantarku sampai lingkungan tempat tinggalku.
"Maaf, ya, aku tidak menyangka sore-sore begini akan ada polisi yang bertugas di lapangan."
"Santai saja, aku bisa pulang sendiri, kok."
"Baiklah, tapi kau harus berhati-hati, lho. Kalau Heru dan para cecunguknya melihat dan mengikutimu, kau harus berteriak kencang lalu meminta tolong pada orang-orang di sekitarmu."
"Siap! Akan kuingat baik-baik pesanmu itu."
Setelah berjabat tangan dengan cara yang gaul, Tegar pun menarik pedal gas. Ban sepeda motor ayahnya melemparkan debu ke arahku.
Aku beristirahat sebentar di warteg untuk membeli teh dan mendoan hangat supaya tubuhku menjadi hangat. Di sudut pikiranku yang gelap, aku tidak berhasil melupakan pesan singkat yang memperingatkanku untuk berhati-hati di jalan. Ketika aku merasa aman dan tenteram bersama Tegar di rumahnya tadi, mudah sekali rasanya melupakan suatu miscall atau keisengan seseorang. Tetapi sekarang, saat aku sendirian, rasa percaya diri itu hilang. Aku berniat memutar musik pop untuk menekan rasa takutku. Tetapi, aku tidak mau membuat pendengaranku cacat. Satu-satunya yang paling kutakutkan sekarang adalah seseorang yang mengendap-endap dari belakang....
"Kuatkan dirimu!" perintahku dalam hati. "Tidak ada orang yang menguntitmu."
Setelah beberapa saat, ketika aku sudah membayar teh hangat dan mendoan yang kuhabiskan, aku pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Seperti biasanya, aku melewati jalan yang biasa dilewati aku dan Heru menuju lingkungan tempat tinggal kami. Aku berusaha menyibukkan diri dengan menendang segala kaleng atau botol air mineral yang kujumpai di jalan agar tidak tergoda untuk memikirkan hal yang tidak-tidak. Tidak ada yang membuatku begitu rapuh kecuali ketika gelisah, dan aku ingin menundanya selama mungkin. Aku mengelap keningku yang berkeringat, kemudian menarik napas dalam-dalam. Tidak akan ada kejadian buruk, kataku meyakinkan diriku sendiri. Paling-paling besok aku bangun dan sadar betapa paranoidnya aku.
Mungkin pesan itu dikirim oleh seseorang yang ingin menggorok leherku saat aku tidur. Pada sore seseram ini, tidak ada yang kelewat konyol untuk dipercaya.
Beberapa saat kemudian, aku sampai di sebuah gang sepi. Pohon-pohon di ujung jalan berayun-ayun ditiup angin. Suhu udara kelewat dingin, seragam sekolahku menempel di kulit. Tetapi aku begitu dirasuki skenario terburuk hingga bahkan berpikir untuk memecahkan jendela rumah warga. Aku menyipitkan mata jauh ke depan; tiga gerombolan anak muda yang memakai seragam putih-biru gelap berjalan ke arahku. Sial, itu Heru, Yuda, dan Muslih.
"Woi, Eri...." Teriakan Heru membuatku berbalik arah dan berlari secepat mungkin. "Awas kau!" sambung Heru, dan ia bersama kedua cecunguknya itu langsung mengejarku.
"Ah, mereka memang fans beratku," pikirku, menghibur diri.
Sewaktu kabur, aku sempat mengambil sepotong kayu pohon rambutan yang kudapatkan di jalan. Barangkali sepotong kayu ini bisa menjadi senjata pamungkasku jika keadaan terdesak.
Akhirnya, setelah cukup lama kabur dari kejaran Heru dan kedua cecunguknya, aku mendapati diriku sampai di hamparan sawah berbentuk terasering dengan jurang dan sungai besar penuh bebatuan beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku juga tidak sadar kenapa aku bisa berlari sampai ke tempat seperti ini. Aku terpaku. Baru kali ini aku kabur dan menemui jalan buntu, seperti dalam film-film saja. Tak lama kemudian "ketiga fans beratku" itu menemukanku yang berdiri dengan gelisah. Aku berbalik dan berhadapan dengan mereka. Tanganku gemetar dengan sepotong kayu yang masih terjuntai. Aku hanya diam dengan mata menatap tajam dan tubuh siap siaga. Aku tak akan melepas potongan kayu ini dari tanganku. Seni bela diri pencak silat yang kerap kulihat di televisi mengajarkanku tentang bagaimana cara bertahan dan kapan saat untuk menyerang.
"Sekarang, mau lari ke mana lagi kau, Eri!" Heru berusaha mendekatiku, tapi aku tetap diam dan berusaha bertahan dengan berdiri kaku. Kami berdua berputar, seolah-olah saling berjaga.
"Kenapa kau, ayo maju!" Heru mulai memprovokasi.
"...." Aku masih diam.
"Hahaha.... Aku dipermainkan bocah ingusan yang masih menyusu di tetek ibunya! Hahaha.... sungguh memalukan bagiku menghadapi kau...."
Ucapan Heru jadi berhenti ketika aku melemparkan potongan kayuku hingga nyaris menghantam pelipisnya. Heru menangkis seranganku barusan dengan kedua tangannya yang dibalut jaket sambil membentuk huruf X, namun ujung potongan kayu itu menghantam jarinya hingga memantul dan mengenai keningnya.
"Sial, kau akan mati hari ini, Bangsat!" Heru berbalik dan mengambil potongan kayuku, kemudian ia berlari dan melayangkan serangan menggunakan potongan kayu itu dengan brutal.
Aku hanya terus berkelit dan menangkisnya dengan tangan, sehingga terasa sakit. Namun, aku tetap berusaha melakukan serangan balik dengan menendang perut dan dada Heru. Keringat bercucuran yang kudapatkan ketika berusaha kabur dari kejaran Heru tadi kini tak lagi kurasakan. Entah mendapat dorongan setan darimana, aku mulai berani mengambil risiko besar untuk menghentikan serangan Heru yang kian membabi buta; berkelit, menangkis, dan melakukan serangan balik. Namun, lama-kelamaan tanganku terasa sakit hingga akhirnya Heru berhasil memukul wajahku dengan potongan kayu hingga potongan kayu itu nyaris terbelah jadi dua.
"...!#@#&¥!..." Aku terjatuh, tersungkur kaku di tanah.
Sampai aku kesakitan dan tak bergerak, Heru diam dengan tubuh yang masih tetap berdiri menantang. "Pegangi tangannya, Yuda, Muslih." Walaupun saat itu Heru terlihat gelisah karena beberapa pesepeda motor terlihat dari kejauhan, namun ia tidak meninggikan suaranya. Sikapnya yang tenang dan dingin membuatku ngeri.
"Tidak!" Aku mulai meronta-ronta, melawan upaya Yuda dan Muslih yang memegangiku. Aku mengepalkan kedua tanganku, memukul Yuda dan Muslih, kemudian berusaha berdiri.
"Ya ampun! Masa kalian tidak bisa memegangi anak lemah ini, Yuda, Muslih?" tukas Heru, sedikit berang.
Muslih menyambar pergelangan tanganku dan memeganginya erat-erat, sementara kedua tangan Yuda melingkari pinggangku. Heru menarik tasku dan membuangnya ke parit-parit.
"Lepaskan aku!"