You Are My Flaky

Luca Scofish
Chapter #19

Chapter 19

Indahnya menghadapi ujian kenaikan kelas.


Aku dan Mulan melewati hari-hari sepulang sekolah dengan belajar bersama di rumahnya. Mulan memiliki semacam perpustakaan pribadi yang tersusun rapi di rak custom dan buku-buku itu adalah satu-satunya hal yang memberiku kesan bahwa ruangan ini benar dunia baruku; rumah Mulan memberiku banyak waktu luang sehingga kami bisa dengan lega melewati beberapa jam di ruangan ini untuk membaca. Namun, beberapa buku pelajaran dan novel Mulan itu mengumpulkan entah berapa banyak debu (mungkin karena sudah jarang dibaca). Biasanya aku memilih sebuah buku dari rak, tetapi sebelum membukanya, aku harus melapnya dengan sebuah kain, bahkan di sepanjang bagian atas halaman, dan kemudian aku harus mengipaskannya dengan cukup keras, supaya gumpalan debu terangkat dari situ. Setelahnya, aku membersihkan tanganku dengan kain dan menghempaskan tubuhku sambil duduk lesehan di karpet untuk membaca bersama Mulan lagi. Tetapi, di saat aku mulai membuka-buka buku, aku menjadi putus asa, dapat kurasakan cetakan debu di ujung-ujung jariku, semakin tebal dan halus, dan hal itu menghilangkan keasyikanku membaca. Aku kembali mengambil kain dan membersihkan tanganku sekali lagi, namun kini aku merasa seragamku juga ikut kotor. Aku bisa saja melanjutkan bacaanku, tetapi aku tidak ingin mengotori tanganku yang sudah cukup bersih. Maka, mulai besok aku memutuskan untuk mengajak Mulan membaca di halaman rumahnya saja, agar debu-debu itu terbang terbawa angin.


Dalam keceriaan, di siang hari, di rumah Mulan, di halaman rumahnya yang rimbun, tepat di bawah pohon kelengkeng, kami sering berbincang-bincang dengan intens hingga saling tertawa satu sama lain, bercampur dengan ledakan tawa kecil, tanya jawab, semuanya dalam suara keceriaan yang sama. Aku tidak dapat membedakan tindakan berpikir dengan tindakan bicara keras-keras dan sepanjang siang hingga sore, kapan pun aku tersita oleh pikiranku, ingatan, atau rasa malu, aku mulai bicara ngelantur, mengatakan hal-hal pribadi tanpa rasa malu seakan aku berbicara pada diriku sendiri. Untungnya, pembicaraan ngelantur itu, dalam intensnya, sulit dimengerti. Namun, aku dapat mendeteksi jika ucapanku itu menimbulkan kerisihan bagi yang mendengarkan karena berisi curahan hati yang tak sepatutnya kukatakan di hadapan orang lain.


Namun, inilah aku jika sudah menemukan dunia baruku: menggila namun tak seperti orang gila.


Meskipun tingkah laku Mulan seperti ibu-ibu ketika mengajariku memecahkan soal Matematika dan Fisika, namun suaranya manis dan penuh warna, loncat ke dalam lorong yang sempit, dengan lompatan bodoh ceroboh seekor macan tutul yang tak menyadari bahwa ia sedang melemparkan dirinya sendiri ke dalam jebakan, dan karena ia tidak menyadarinya, ia berusaha, dengan lompatan kedua, ketika ia datang, untuk menemukan jalan keluar lagi: ia belum juga sadar. Dan aku, terobek antara penderitaan dan cinta, kegembiraan dan kekejaman, melihatnya menyatu dengan keburukan dan penderitaan ini, diiringi suara knalpot sepeda motor yang sangat nyaring: "Ngoookkk!" dengan decit kampas rem yang menipis, dan aku merasa bahwa kini bahkan bayangan akan Mulan pun telah ternodai oleh semua itu. Namun tidak, gambaran itu kembali meloloskan diri, melalui sinar matanya, murni, tanpa kesadaran, dan setiap saat membuatku berpikir mungkinkah ini sinyal-sinyal cinta?


Terkadang, Mulan menjelaskan dengan riang, tanpa beban, ia tersenyum, berbicara dengan jelas sekadar untuk menyemangatiku, dan pada akhirnya aku hanyut dalam keceriaannya. Namun kemudian, kembali ke soal-soal yang harus menggunakan otak ini untuk memecahkannya, rumus-rumus yang mirip kode-kode jaman romawi kuno membuatku sedih, terlebih karena kini aku percaya bahwa hidup bisa berubah dan soal-soal Matematika dan Fisika memiliki jawaban yang pasti benar. Di waktu-waktu yang lain, Mulan terdengar sangat cemas dan kecemasan ini kemudian ditambah oleh bayangan akan tempat tinggalku, oleh status sosialku, dan aku tak bisa melepaskan diriku dari bayang-bayang itu. Aku hidup dalam pengharapan akan sesuatu yang lebih dramatis, yang menyadarkanku dari keterpurukan, dan ketika pada akhirnya aku mendengar suara Mulan lagi, yang secara mengejutkan berbeda, riang atau lesu, seakan-akan tak dapat mengingat kejadian sebelumnya. Bukannya merasa terbebaskan, aku malah merasa bingung, tersesat.


"Apa katamu? Kau kesulitan mengingat rumus-rumus untuk mencari X dan Y? Hei, cobalah untuk mengingatnya seperti halnya kau mengingat lirik lagu." Mulan memberiku tips ketika aku lupa dengan rumus phytagoras, luas permukaan balok, dan lain sebagainya.


"Baiklah, selanjutnya akan kuingat baik-baik pesanmu ini," janjiku, sambil membuka-buka halaman buku paket Matematika dan membaca-baca panduan pada bab pemecahan soal.


Lihat selengkapnya