You Are My Flaky

Luca Scofish
Chapter #20

Chapter 20

Ujian kenaikan kelas tinggal satu minggu.


Mulan berusaha keras untuk mempertahankan prestasinya, aku pun tidak ingin kalah darinya.


Kalau kupikir-pikir lagi, nilai bahasa Indonesiaku sangat bagus. Geografi, Ekonomi, Sejarah, Biologi, dan bahasa Inggris berada di tingkat menengah. Fisika dan Matematika... Ah, jangan ditanya! Namun, nasib baik siapa yang bisa menebak? Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, semuanya butuh perjuangan. Sejak semester pertama, aku sering belajar dari buku-buku catatan Mulan. Kemudian, sewaktu semester akhir kami sering belajar bersama di halaman rumahnya. Aku yakin jika semua ini memiliki arti tersendiri.


Ujian kenaikan kelas tinggal menghitung hari, namun aku tidak melihat Mulan.


Selesai jam pelajaran pertama, satu kelas memang sempat heboh. Tadinya, kami mengira jika Mulan bakalan datang terlambat, dan baru muncul beberapa menit ketika pelajaran pertama berlangsung. Namun, kenyataannya tidak. Aku benar-benar didera rasa khawatir yang sangat dalam.


Renita, Arinda, atau bahkan Hasan yang satu kampung dengan Mulan pun tidak tahu ada apa dengan Mulan. Kami sudah berusaha mengirim pesan singkat dan meneleponnya, namun ponsel Mulan tidak aktif.


"Tidak mungkin ketiduran, kan?" Aku mulai panik.


Mulan yang sangat berhati-hati tidak mungkin mendapat masalah.


"Apa mungkin ia kecelakaan di jalan, ya?" Aku merasa kalau keringat mulai membasahi ketiakku. Aku gugup, gelisah, dan bingung.


Dengan perasaan tak menentu, aku mengikuti pelajaran demi pelajaran selama 45 menit setiap jam pelajarannya dengan kelambanan yang sangat menyiksa. Begitu bel tanda pulang berdering, aku langsung menarik tas Hasan dan memintanya untuk menemaniku menuju ke rumah Mulan. Aku lalu mengajak Hasan menaiki angkutan umum karena tidak sabar menunggu bus sekolah yang harus terisi penuh baru bisa berangkat. Aku tidak bermaksud merusak rencana-rencana Hasan siang itu. Aku hanya bereaksi terhadap dorongan untuk menemui Mulan sesegera mungkin. Bila untuk itu aku harus mendobrak pintu rumahnya, itulah yang akan kulakukan.


Sesampainya di gerbang rumah Mulan, kami dilarang masuk oleh pembantunya. Akhirnya, setelah beradu mulut selama lima menit lebih, pembantu Mulan tiba-tiba berteriak. Tak lama kemudian, terlihat seorang wanita dari pintu rumah Mulan yang berjalan ke arah kami dengan sedikit mengangkat rok panjangnya, kemudian beliau berdiri tepat di sebelah pembantu Mulan. Kemungkinan beliau seorang janda dari desa bila dilihat dari busana dan kerudungnya: bajunya terbuat dari sutra hitam yang cocok untuk suasana berkabung berkepanjangan, namun dengan hiasan tambahan tak berguna, dan kerudungnya jatuh hingga menutupi dadanya. Tubuhnya tinggi dan montok. Bila lekak-lekuk tingginya tidak diperhalus oleh kelembutan khas keibuan, pembaca akan berkata bahwa usianya tak lebih dari tiga puluh tahun; tetapi bila pembaca melihat wajahnya, pada rona wajah bak pualam sekaligus kalem, lirikan tak terjangkau di bawah kelopak mata muram dan alis mata tebal. Bibirnya sangat terkatup, tergesa-gesa diwarnai merah terang, sepertinya beliau berusia empat puluh tahun.


Aku tahu beliau adalah seorang sosialita kelas atas, namun Hasan pernah bercerita jika ibu kandung Mulan sudah berada di sisi Tuhan, sedangkan ibu tiri Mulan tinggal di Semarang dan hanya mengunjungi anak tirinya setiap dua minggu sekali. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan beliau. Tanpa basa-basi dengannya, aku langsung mengutarakan keinginanku untuk bertemu dengan Mulan dan tak hentinya bertanya tentang masalah apa yang menimpa putri tirinya itu.


"Sekarang ini Mulan sedang tidak bisa diganggu." Ibu tiri Mulan berkata dengan tegas.


"Tapi saya hanya ingin bertemu dengan Mulan sebentar saja dan memastikan bahwa dia dalam keadaan baik." Aku sedikit ngotot.


"Sudah saya bilang bahwa nona Mulan baik-baik saja," samber pembantu Mulan.


"Tapi...." Aku menatap pembantu Mulan dengan serius.


"Jangan membantah, kalian bisa datang lagi lain waktu." Ibu tiri Mulan tiba-tiba menegurku, membuat aku dan Hasan terperanjat.


"Nak, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Besok nona Mulan akan berangkat sekolah seperti biasa," tegas pembantu Mulan sambil bersikap tak acuh, menatap aku, Hasan, dan ibu tiri Mulan secara bergantian.


Aku menyeka keningku yang berkeringat, menatap ibu tiri Mulan dan pintu yang terbuka di rumahnya, berusaha menebak apa yang telah terjadi. Wanita tetaplah wanita, aku tahu itu. Yang tidak kumengerti, dari nada bicara ibu tiri Mulan yang khawatir, sepertinya masalah Mulan tidak bisa digolongkan sesuatu yang lazim. Dan sikap pembantu Mulan yang mengawasi setiap kata yang keluar dari mulut ibu tiri Mulan, menguatkan kecurigaanku.


Merasa ada sesuatu yang belum terungkap, aku berkata sambil menaruh tangan di dada. "Wah, Mulan anak yang baik dan disukai semua orang, dia tidak mungkin berselisih dengan teman-teman atau saudara-saudara tirinya, kan?"


Raut wajah ibu tiri Mulan menegang, nyaris terkesan takut mendengar ucapanku. Taktikku berhasil. Apa pun masalah Mulan, itu bukan sesuatu yang sepele seperti berselisih dengan teman-teman sekolah atau saudara-saudara tirinya. Aku tidak punya uang sebanyak lima puluh ribu rupiah. Tapi, kalau ada, aku berani mempertaruhkan semuanya untuk mendukung dugaanku bahwa masalah Mulan sama sekali bukan sesuatu yang lazim.


"Baiklah," kata ibu tiri Mulan dengan senyum lebar. "Aku yakin, apa pun masalahnya, itu sudah berlalu. Semua akan baik-baik saja dan besok Mulan akan bersekolah seperti biasa. Jadi, pulanglah sekarang juga, oke?"


"Ayo, Eri, kita ke rumahku saja." Hasan tiba-tiba menarik lengan kananku.


"Tidak mau, aku ingin bertemu dengan Mulan dulu." Aku melepaskan tarikan Hasan dengan kasar. "Tolong, ya, kalau Ibu tidak mengizinkan saya bertemu dengan Mulan, saya akan menelepon wali kelas dan kepala sekolah kemudian menceritakan jika Mulan sedang ada dalam masalah besar, sehingga satu sekolah mungkin akan heboh."


"Kau benar-benar keras kepala." Suara ibu tiri Mulan terkesan meminta maaf. "Dia di lantai atas dan kau hanya punya waktu lima menit untuk menemuinya."


Aku tersenyum puas akan kemenanganku. "Terima kasih. Ayo, Hasan." Lalu, aku dan Hasan tak menyia-nyiakan tenggat waktu yang tersisa.


Di lantai atas rumah Mulan, Mulan terlihat duduk merenung ditemani majalah-majalah remaja sambil mengantup-ngantupkan ujung pulpennya ke cover majalah ketika aku dan Hasan menyapanya pelan. Ia sangat terkejut ketika mengetahui keberadaanku dan Hasan yang tiba-tiba berdiri di samping meja belajarnya. Tanpa menjawab pertanyaan Mulan kenapa aku dan Hasan tiba-tiba ada di sini, aku langsung mengalihkan topik pembicaraan dan menanyakan pada Mulan apa yang sebenarnya terjadi?


"Tidak ada apa-apa, aku hanya kurang enak badan."


"Mulan, sesuai perjanjian dengan ibu tirimu tadi, aku tidak punya banyak waktu di sini. Kau tidak pandai berbohong. Ayolah, katakan padaku, sebenarnya apa yang terjadi?" ujarku, menekan Mulan seraya menatapnya dingin.


"Sebenarnya...." Mulan berkata ragu-ragu, namun, akhirnya ia menceritakan masalah yang sebenarnya setelah aku terus menekannya.


Ternyata, ketika dalam perjalanan pulang menuju rumahnya kemarin, Mulan mengalami musibah kecil tak senonoh di dalam bus. Ia menjadi korban pelecehan seksual oleh kakak kelas.


Lihat selengkapnya