Akhirnya, tahun ajaran baru 2006/2007 dimulai.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pada hari itu, semua murid terlihat sibuk melihat daftar kelas baru yang ditempel menggunakan kertas folio di papan informasi kelas A, B, C, dan D. Di secarik kertas itu tertulis nomor induk para murid yang telah diacak untuk menempati kelas baru.
Mulan, Renita, Arinda, dan beberapa murid perempuan lainnya masuk ke kelas 3A. Agung masuk ke kelas 3B, dan menjadi teman sekelas Sisilia dan Nandi. Sedangkan Riyu dan beberapa murid mata keranjang lainnya masuk ke kelas 3C, dan menjadi teman sekelas Aulia. Sementara aku, Hasan, dan Zobi masuk ke kelas 3D. Kami bertiga sangat kecewa tatkala mengetahui jika pak Burhan bakal menjadi wali kelas kami lagi. Namun, semua itu sedikit terobati karena di kelas kami ada cewek hitam manis bernama Vida.
Huh, sejujurnya aku lebih kecewa lagi karena berpisah dengan Mulan. Terlebih lagi, sekarang ia menjadi teman sekelas si tampan Aliando dan Heru yang begitu menyukainya. Jelas, aku akan kesulitan menjalin komunikasi dengan Mulan jika di kelas itu ada musuh bebuyutanku.
Sebenarnya, tak adil jika menyebut Heru sebagai musuh bebuyutanku karena kami baru bermusuhan sejak kelas satu, dan klimaksnya waktu ia berkelahi denganku. Namun sekarang, sebagai saingan dalam hal cinta, aku tidak tahu harus bagaimana.
Sejujurnya, aku tidak ingin bermusuhan dengan Heru.
Kalau kau bermusuhan dengan saingan cintamu, kau tidak hanya membencinya, tetapi juga tidak bisa mengerjakan hal lain yang lebih berguna, atau kau akan terus dirundung rasa khawatir dan ketakutan yang sangat sehingga mengurangi rasa percaya diri.
Jadi, aku tidak akan se-agresif dulu lagi untuk mendekati Mulan, supaya terhindar dari masalah yang bisa memicu terjadinya konflik berdarah.
Sebenarnya, hal ini sangat sulit dilakukan.
Karena aku, Agung, dan Riyu tidak menjadi teman sekelas lagi, hubungan pertemanan kami pun tak segokil dulu lagi. Hubunganku dengan Mulan juga tak sehangat dulu lagi, namun kami masih sering berkirim pesan singkat melalui ponsel.
Aku masih percaya pada Tuhan. Aku tahu Tuhan bersikap adil. Dan, dari segala penderitaan yang kualami, aku memiliki adik, Mulan, dan teman-teman baikku. Mereka lebih dari cukup. Lebih dari apa yang selama ini aku butuhkan. Bagiku, mereka adalah butiran-butiran berlian di dalam danau yang kotor. Mereka lebih dari sekadar berharga.
Ketika kita menjalani tahun terakhir di sekolah, waktu seakan berjalan lebih cepat dari biasanya.
Semester pertama di kelas 3 hampir berakhir, hubunganku dengan Mulan dan beberapa teman dekatku sewaktu di kelas 2B tak sedekat dulu lagi. Meski begitu, baik aku, Riyu, dan Agung masih menyempatkan diri untuk bermain playstation di tempat favorit kami. Di sisi lain, pertemananku dengan Hasan yang dulu kujadikan batu loncatan untuk mendekati Mulan juga tak sedekat dulu lagi. Ia menjalin persahabatan dengan Zobi, anak yang benar-benar aku hindari.
Selama beberapa bulan berikutnya, suasana di kelas menjadi sangat tegang karena sudah diberlakukan aturan baru bagi murid kelas 3, yaitu mewajibkan semua murid untuk mengikuti les pagi dan les siang. Lambat laun, otak kami mulai dikembangkan menjadi memori berkapasitas tinggi. Ditambah kegiatan ekstrakurikuler pada hari Sabtu membuat kami tidak punya hari yang pendek. Aku dan beberapa teman sekelasku mengikuti ekstrakurikuler bahasa Indonesia bersama Riyu dan Agung. Praktis, kami bisa bernostalgia lagi seperti dulu.
Siang itu, ketika kelas ekstrakurikuler berakhir, aku bersama Riyu dan Agung bersantai di bawah pohon sambil bermain gitar. Itu adalah tempat favorit kami untuk memanjakan mata, tergantung siapa yang dilihat. Tanpa memedulikan suara fals kami, aku merasa angin sepoi-sepoi menggoyang-goyangkan rambutku ketika kami bertiga bernyanyi-nyanyi riang gembira. Pada saat itulah ada sesuatu yang menarik perhatian kami. Sesosok wanita cantik berparas Laudya Cintya Bella dan berbodi seperti Julia Perez berjalan menuju kantor guru sambil memeluk beberapa buku.
"Kau meneteskan air liur." Aku menggunakan jariku untuk mengatupkan rahang Riyu yang menganga.
"Apakah kau bisa meminjamkanku lima ratus ribu rupiah?"
"Meminjamkan lima ribu rupiah pun aku tidak bisa. Celengan katakku secara resmi dinyatakan anoreksia."
"Memangnya untuk apa, Riyu?" tanya Agung.
"Untuk apalagi kalau tidak menyewa hotel," jawab Riyu, lalu mendesah penuh harap ke arah wanita itu. "Bu Vita, aku padamu!"
"Dasar sembrono! Beliau itu guru yang harus kita hormati, tahu!" Aku menonyor kepala Riyu.
"Bodoh! Siapa suruh dia jadi wanita cantik sehingga membuatku tak kuasa berfantasi ria dengannya!" Riyu menggenjreng gitar dengan keras sambil memicingkan mata padaku.
"Benar, tapi aku yakin kalau kita bercinta dengan wanita seperti bu Vita sama saja kita bercinta dengan gunung es." Agung mulai sok-sok-an.
"Bodoh! Kenapa kau ikut-ikutan, Agung? Kau kan belum pernah merasakan hal semacam itu!" Aku menatap Agung dengan serius, lalu tertawa keras sambil berkata, "Melihat DVD bergambar wanita seksi saja kau belum pernah, kan?"
"Dan kau pernah?" tanya Agung sambil tertawa terbahak-bahak.