Suatu siang, ketika ujian praktek sekolah sudah berakhir, aku meminta Hasan menemaniku menunggu Mulan di gerbang sekolah sambil membahas tentang game-game terbaru yang dirilis oleh Capcom dan Rock Star Game. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Mulan terlihat berjalan cepat bersama Arinda dan Renita tanpa menolehkan pandangan padaku. Kemudian, dengan sisa keberanianku, diam-diam aku mengikuti mereka bertiga menuju mobil Honda Civic di seberang jalan. Sambil berjalan, di dalam benakku terbersit perasaan takut, "Aku harus bagaimana? Aku tidak boleh memperburuk keadaan." Aku mengumpulkan keberanianku, diam-diam mengeluarkan tanganku untuk menyentuh bahu Mulan.
"Jangan menyentuhku." Mulan tidak melihatku, dan hanya menundukkan kepala.
"Mulan, aku hanya ingin berbicara denganmu."
"Tolong jangan menyentuhku dan berbicara denganku lagi." Mulan berjalan semakin cepat. Sementara Renita dan Arinda terlihat kebingungan dengan apa yang terjadi antara aku dan Mulan. Aku juga tidak bisa menjelaskan pada mereka berdua. Aku sangat terpukul dengan sikap Mulan yang dingin, dan merasa jika keadaan telah berubah menjadi pahit.
Beberapa hari kemudian, keadaan tidak menjadi lebih baik.
"Eri, kau bertengkar dengan Mulan, ya? Sudah lama aku tidak melihat kalian berjalan pulang dan mengobrol bersama lagi." Riyu bertanya padaku ketika kami berjalan pulang bersama Agung melewati hutan belakang sekolah.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya memberinya lebih banyak waktu untuk belajar." Dengan lelah, aku berjalan sambil menundukkan pandangan.
Riyu tahu jika suasana hatiku sedang tidak enak, tetapi ia terus bertanya padaku tentang apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Mulan.
"Nih!" Riyu menyodorkan sebatang rokok yang diselotip kepadaku. "Obat stres."
Aku menolaknya. "Kau bercanda, ya!"
"...." Agung memiringkan kepalanya, lalu ia terkekeh-kekeh.
"Payah," ejek Riyu sambil menyikut tulang rusukku.
Riyu menyimpan rokok itu di saku jaketnya. "Ayahku bilang, laki-laki tidak akan pernah puas dalam empat hal. Uang, minuman keras, rokok, dan wanita."
"Sial, omongan ayahmu ada benarnya juga." Agung menyetujui perkataan Riyu. "Kau setuju tidak, Eri?" lanjutnya.
Aku mengangkat bahu. "Setuju tidak setuju, sih."
"Sekarang kau terlalu serius, Eri. Kalau kau tidak bisa diajak-ajak seperti dulu lagi, kami mungkin akan terpaksa meninggalkanmu." Dengan kening berkerut tidak suka, Riyu menendang ilalang yang menghalangi jalannya.
Bola mataku yang gelap berkilat khawatir. "Apa maksudmu dengan 'tidak bisa diajak-ajak'?"
"Maksudku mau diajak berbuat onar, main playstation, pokoknya gila-gilaan seperti dulu lagi."
"Mulan tidak suka kalau dia nakal, Riyu." Dengan sikap yang dibuat-buat seperti banci, Agung melipat kedua tangannya yang besar dan halus di bawah dagu dan mengerjapkan mata dengan genit. Suaranya yang dikecil-kecilkan membuatnya tampak dan terdengar menggelikan.
Aku menanggapi ucapan Riyu tadi dengan serius. "Akhir pekan kemarin aku juga bermain playstation dan berkelahi dengan salah satu pengunjung, tahu!" protesku. "Dan bukankah aku yang mencuri peralatan tempur sekolah itu minggu lalu seperti yang kau suruh, Riyu? Dan bukankah aku juga yang membeli cat semprot yang kita gunakan untuk mencoret-coret dinding kelas 1A?"
Riyu dan Agung menertawakan kengototanku.
Riyu lalu mengulurkan tangan dan menepuk pipiku. "Kau keren kok, Eri. Keren sekali." Tak mampu menahan diri untuk tetap bersikap serius, tawa Riyu pun pecah.
"Coretan-coretanmu jauh lebih banyak daripada coretan-coretan kami berdua dijadikan satu, Eri." Bahu Agung yang besar terguncang-guncang karena tertawa. "Apa kata Mulan waktu ia bertanya siapa pelaku utama dibalik aksi kriminal itu?"
"Dia tidak tahu soal itu, karena kami sudah jarang berkirim pesan singkat lagi." Aku meludah sembarangan, mulai bosan dengan pembahasan ini.