Ujian nasional dan ujian sekolah semakin lama semakin dekat. Keadaan sekolah pun semakin lama semakin tenang dan menegangkan. Selama beberapa hari berikutnya, keadaan "darurat ujian" ini menjadi berlarut-larut. Kami sudah tahu kapan rintangan ini akan berakhir, namun bukan itu yang kami pikirkan. Terbelenggu dalam himpitan soal-soal ujian dan memikirkan masa depan di SMA membuat kami tertekan. Untungnya pihak sekolah menyiasatinya dengan memberikan sedikit hiburan.
Mulai saat itu, setiap hari setelah jam sekolah berakhir, les-les siang dihentikan, dan diisi dengan bermacam-macam hiburan, namun kami tetap diwanti-wanti oleh para guru untuk berkonsentrasi terhadap ujian.
"Teater dan komedi, atau apa saja yang dapat mengendurkan ketegangan." Kepala sekolah kami berpidato di mimbar halaman sekolah.
"Acara olahraga, kontes budaya, konser musik, juga diadakan, dong, ibu Kepala Sekolah." Beberapa murid kelas tiga mengungkapkan pendapatnya.
Kami melepaskan ketegangan kami ketika menonton teater dan komedi. Sementara para guru juga ikut melepaskan ketegangan dengan konser musik dangdut. Acara-acara hiburan ini ternyata sangat dinantikan oleh warga di sekitar sekolah. Mereka berduyun-duyun ingin menyaksikan pertunjukan kami.
Ujian nasional dan ujian sekolah tinggal menghitung hari. Sekolah mengumumkan bahwa kelas diliburkan untuk masa tenang.
Tiga tahun masa SMP-ku yang penuh suka-duka bersama teman-teman... yang cukup semangat dan rajin belajar karena Mulan pun akan segera berakhir.
Namun, sebelum semua itu berakhir, terjadilah sesuatu yang mengakhiri semua itu lebih awal.
Ibu memberitahuku jika beliau sedang mengalami masalah keuangan akibat hutang yang tak kunjung usai kepada rentenir-rentenir bangsat yang berkeliaran di pasar, sehingga aku dipastikan tidak akan melanjutkan sekolah ke tingkat SMA.
"Jika aku tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMA, lebih baik aku tidak mengikuti ujian nasional sekalian." Aku mengatakannya sambil menangis, merasa sangat kecewa pada ibu.
Aku dan ibu berdebat hebat gara-gara masalah ini. Aku menyalahkan ibu karena beliau tak memedulikan masa depanku, sementara ibu juga menyalahkanku karena aku anak yang tak terlalu pandai sehingga tak perlu bersekolah tinggi-tinggi, karena beliau sudah menggariskan hidupku untuk meneruskan usaha keluarga. Di sisi lain, ayah juga tidak bisa berbuat banyak dengan keadaan keluarga yang begitu amburadul ini. Sampai-sampai, adikku yang biasanya hanya terdiam membisu mendengar perdebatan keluarga pun ikut angkat bicara.
"Umur Kakak sekarang sudah lima belas tahun, dan Kakak murid yang pandai," katanya. "Belajarlah keras dan janganlah membuang-buang waktu, Kak. Kalau Kakak lulus dengan nilai baik, bapak dan ibu guru di sekolah mungkin akan membantu, Kakak. Siapa tahu setelah lulus nanti Kakak bisa bersekolah di SMA favorit."
"...." Aku menangis, tak bisa membalas ucapan adikku. Kemudian aku berlari ke kamarku dan menutup pintu rapat-rapat.
Seperti yang kalian ketahui waktu itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Budaya hanya mencanangkan program "Wajib Belajar Sembilan Tahun". Dan sepengetahuanku, pemerintah daerah Magelang melalui Departemen Pendidikan Magelang tidak memberikan program beasiswa bagi murid miskin yang ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Jangankan murid miskin, nyaris semua murid berprestasi pun juga tidak mendapatkan perhatian dari pihak sekolah maupun Departemen Pendidikan. Satu-satunya program yang mungkin cukup membantu bagi siswa miskin adalah dana BOS, bantuan operasional sekolah. Namun sayang, tak sedikit pula kucuran dana itu yang dikorupsi oleh "oknum guru". Ya, seperti inilah negeri tercintaku.
Jadi, aku sangat skeptis dengan masa depanku.
Mataku masih lebam akibat menangis semalaman. Tubuhku rasanya remuk. Keesokan harinya aku membolos sekolah untuk menenangkan diri. Seharian aku hanya berdiam diri di kamar sambil menangisi kisah kasih dan masa depanku yang sudah berakhir. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kelanjutan hidupku nanti.
Sebenarnya, apa yang ingin Tuhan rencanakan padaku? Aku sudah kehilangan cinta pertamaku. Dan kini, kenapa aku juga harus kehilangan masa depanku?
Hari itu, aku sangat kesal pada ibu. Saking kesalnya, sampai-sampai pernah sebulan penuh aku tidak berbicara sepatah kata pun, selain beliau sibuk mencari hutangan di sana-sini untuk menutupi hutang-hutangnya, aku juga malas berbicara padanya. Bahkan, aku pernah menulis "IBU, AKU MENYESAL LAHIR DARI RAHIMMU!" menggunakan darahku, dan menempelkannya di dinding kamarku. Namun, semua itu sia-sia. Sebab, ibu tak pernah masuk ke kamarku. Nasibku tak seberuntung anak-anak yang setiap malam mendapat kecupan selamat tidur dari orang tua. Huh, sebenarnya aku tidak ingin membahas tentang ibu. Terlebih lagi, setiap kali aku mengingat kenangan pahit itu, mungkin aku bisa menyulut bara permusuhan lagi dengan masa laluku yang suram.