Aku merebahkan kepala di dinding kamar tidurku sambil menggigit sepotong kue kering. Kedua kakiku kuselonjorkan rapat-rapat dan saling mengait satu sama lain. Buku bahasa Indonesiaku terbuka lebar di atas pangkuanku.
Setiap hari selama masa tenang menjelang ujian nasional, hanya itulah yang bisa kulakukan demi membuka peluang meraih peringkat sepuluh besar satu sekolah. Mungkin aku bisa mendapat nilai 8 lebih untuk ujian bahasa Indonesia dan Matematika, namun aku tidak yakin dengan kemampuan bahasa Inggrisku.
Dua minggu kemudian, ujian nasional dan ujian akhir sekolah sudah berakhir. Sepanjang ujian itu berlangsung, aku selalu berusaha mengerjakan setiap soal dengan ekstra hati-hati. Namun, pikiranku berkelana dari soal-soal ujian ke masalah pribadi, terutama persoalan dengan ibuku, yang memaksaku untuk pergi ke Sumatra dan menjadi pekerja di bawah umur. Atau sikap Mulan yang sedingin es, ditambah kemesraan Aulia dan Dinar yang saling menyemangati satu sama lain sebelum dan sesudah ujian, telah berhasil mengundang segala penyakit hati untuk menggerogoti jiwaku. Maka tak mengherankan jika setiap hari setelah ujian selesai, aku selalu menghabiskan waktu bersama Riyu dan Agung di rental playstation untuk merefresh otak.
Sehari setelah ujian sekolah selesai, suasana di sekolah berlangsung bebas tapi sopan seperti suasana di universitas. Aku, Riyu, dan Agung duduk-duduk mengobrol di halaman mushola sekolah. Aku dan Riyu duduk di salah satu bangku yang terbuat dari pohon bambu, sementara Agung berselonjor di bangku sebelahnya, dipisahkan oleh pohon mangga yang begitu rimbun.
"Jadi, bagaimana denganmu, Riyu? Kau ingin melanjutkan sekolah ke mana?" Agung bertanya sambil memainkan batang rumput teki dengan bibirnya.
"Aku ingin masuk SMK Yudakarya dan mengambil jurusan listrik," ujar Riyu dengan percaya diri.
"Kenapa kau tidak mengambil jurusan otomotif saja biar bisa meneruskan usaha ayahmu," ledek Agung sambil tertawa terbahak-bahak.
"...." Aku hanya bisa terdiam membisu seperti patung setiap kali mendengar obrolan kedua teman baikku itu.
"Sial! Kau sendiri kenapa ingin melanjutkan sekolah di Jogjakarta? Apa kau tidak mau mewarisi jabatan Kepala Suku dari ayahmu?" balas Riyu.
"Berengsek!" Agung melempar batang rumput teki yang ia mainkan dengan bibir ke arah Riyu. "Aku ingin menjadi seorang jenderal, tahu!" lanjutnya.
"Hahaha." Riyu tertawa keras, lalu ia tersenyum bersahabat ke arahku, "Kau sendiri ingin melanjutkan ke mana, Eri? Dari minggu lalu kau belum menceritakannya pada kami."
"Mungkin Eri tidak ingin lulus dari sekolah ini, Riyu," ledek Agung.
"Hm, kemana ya? Aku belum seyakin kalian." Nada suaraku terdengar lemah.
"Wah, kau harus segera menentukan masa depanmu, Eri." Riyu menatapku dengan serius.
"Aku sudah menentukannya, kok. Hanya saja, aku tak bisa mengatakannya pada kalian." Aku menunduk sambil mengamati tag name di seragamku.
"Hm, kupikir setiap orang punya privasi tersendiri. Jadi, kau jangan terlalu menekan Eri." Agung menekuk lututnya dan memicingkan mata pada Riyu.
"Aku hanya berharap agar Eri mau menceritakan tentang masa depannya pada kita." Riyu membela diri.
"Sebegitu penting kah masa depanku bagimu?" ujarku pada Riyu.
"Hm, kupikir kau akan bersekolah di dunia antah berantah," ujar Riyu sewot.
Aku menelan ludah, dan memandang cermin mushola. "Kenapa kau bisa berpikir begitu?"
"Karena kau menyembunyikan sesuatu dari kami."
Jantungku berhenti berdetak dan darahku seolah membeku, namun aku tahu pentingnya berusaha tampil tenang. Tepiskan saja. Teman-temanku tak tahu tentang kehidupan pribadiku. Mereka juga tidak tahu tentang masa depanku. Tanganku mulai bergetar, maka aku pun berusaha menghela napas dengan santai. Agung dan Riyu mengawasiku.
"Baiklah, aku akan bersekolah di Salatiga, dan aku merasa sedih karena tidak bisa bertemu kalian lagi." Aku berusaha menahan tangis.
"Kau serius? Jangan berbohong, ah!" dengus Riyu.
"Aku tidak berbohong, ya? Aku akan pergi ke Salatiga untuk bersekolah di sana."