Bulan mei tahun 2008, aku kembali ke Secang. Saat itu, adikku baru saja menyelesaikan ujian nasional dan ujian akhir sekolahnya. Ayah dan ibuku pun sibuk mencari hutangan supaya adikku bisa melanjutkan sekolah ke SMA. Sementara aku tak bisa membantu apa pun kecuali terus berdoa pada Tuhan, meskipun saat itu hubungan kami sedang tidak harmonis.
Akhirnya, ayah dan ibu mendapat pinjaman setelah menjaminkan sertifikat kios kecil miliknya pada sebuah bank konvensional. Setiap bulan selama satu tahun, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk melunasinya. Kemudian, untuk menambah pemasukan keluarga, ayah membuka cabang usahanya di pasar pagi Temanggung.
Setiap pagi hari sekali, aku selalu membantu ayah berjualan di pasar. Perjuangan kami saat itu sungguh berat karena harus memanggul ember besar berisikan cendol dan santan menuju pasar setiap kali bus yang kami tumpangi berhenti di halte bus kota Temanggung. Saat itu kami belum memiliki sepeda motor dan harus menghemat pengeluaran untuk membayar angsuran bank.
"Kau harus bersyukur bisa bersekolah di STM Pembangunan Temanggung yang sangat bergengsi ini. Kakak harap kau jangan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mulai saat ini, kau harus rajin belajar, ya!" Aku berbicara pada adikku ketika ia sedang mempersiapkan diri menghadapi MOS.
"Pasti, Kak! Aku pasti akan menjadi murid yang pintar," janji adikku.
"Kakak senang mendengarnya." Diam-diam aku menahan tangis. "Kakak ingin kelak kau mempunyai profesi yang terhormat."
Hari-hari silih berganti, minggu-minggu pun berganti berulang kali, dan bulan-bulan juga berdatangan tanpa permisi. Tak terasa, aku sudah bekerja membantu ayah selama setengah tahun. Berkat kerja keras kami, akhirnya kami bisa melewati segala cobaan dan perjuangan yang sangat melelahkan; memapankan usaha kami di pasar pagi Temanggung. Kami pun bisa membeli sepeda motor secara kredit untuk menunjang aktifitas sehari-hari. Aku sendiri bisa membeli playstation, komputer, dan ponsel baru. Semua yang kumiliki saat itu lebih dari cukup dan menambah semangatku untuk terus bekerja keras.
Sementara untuk kebutuhan sekolah adikku, aku menyisihkan sebagian kecil penghasilanku di kotak uang dan menulisnya di notes.
"Bulan ini adikku belum membayar sekolah. Dan, ah... dia harus memfotocopy banyak buku pelajaran untuk tugas-tugasnya! Dia juga membutuhkan banyak uang untuk praktek kerja lapangan!" Aku benar-benar pusing.
Catat; aku ingin pembekuan pendapatan untuk mengendalikan pengeluaran yang tidak perlu. Meningkatkan subsidi untuk pendidikan adikku sebesar lima puluh persen. Tidak, kukira yang belakangan ini tidak akan membatalkan efek yang pertama. Kau pikir aku yang bodoh ini tidak mengerti ilmu ekonomi? Aku tahu jika perekonomian fasis kebal dari gangguan berulang kapitalisme modern. Kau ingin menentang pendapatku dan mengatakan tampaknya sebaliknya lah yang benar? Menurutmu, mengapa negara kita melaksanakan swasembada selama bertahun-tahun? Kita memang ada beberapa ganjalan, itu saja, tapi aku tidak tahu pasti apa itu faktor penyebabnya.
Hm, aku tahu kalau aku mulai ngelantur, dan mungkin saat ini yang kubutuhkan adalah hiburan supaya terhindar dari stres.
Suatu malam ketika bermain di alun-alun kota Magelang untuk menonton konser Sheila on 7, aku bertemu dengan Ahmad Mufsih dan beberapa teman SMP lainnya. Awalnya, aku sempat ingin menghindari mereka, namun aku melihat dompet Ahmad Mufsih terjatuh ke tanah ketika larut dalam uforia keseruan konser tersebut, sehingga memaksaku untuk memungutnya sebelum dipungut oleh orang lain yang tak bertanggung jawab. Meskipun aku sangat malu bertemu teman-teman lamaku karena aku tak melanjutkan sekolah, namun, sebenarnya hal itu tersamarkan oleh kerja kerasku; aku bisa membantu membiayai sekolah adikku dan mempunyai segala sesuatu yang kubutuhkan. Aku merasa beruntung dan sangat menyukurinya.
"Ah, Eri, terima kasih banyak, ya. Jika tak ada kau, pasti aku sudah kehilangan uang gajianku." Ahmad Mufsih tersenyum lebar ketika aku mengembalikan dompetnya.
"Uang gajian? Kau tidak melanjutkan sekolah?"
"Aku bekerja paruh waktu."
"Ah, bekerja sambil sekolah," ujarku, dalam nada yang datar. "Selamat, kau hebat!"
"Hm, sejujurnya, semua sama saja. Bertahan dalam kesulitan. Membayar biaya sekolahku sendiri," ujarnya, sambil menjulurkan lengannya dengan sikap terkalahkan.
Naluri alamiku yang pemalu merasa iba dan menyesal: bagaimana mungkin aku mengumumkan keberuntunganku sendiri untuk membuat seorang teman yang bekerja keras seperti ini terkesan? "Oh, aku juga, kuberi tahu," kataku cepat-cepat, mengubah nada suaraku lagi, "Keluargaku kesulitan untuk hidup dari hari ke hari... bahkan, aku harus bekerja untuk membantu membiayai sekolah adikku."
"Yah, kita berharap saja agar semuanya menjadi lebih baik."
"Ya, kita harus tetap berharap."
Kami saling bertukar harapan terbaik untuk satu sama lain, bertukar nomor telepon, dan menonton konser bersama, lalu pulang ke rumah masing-masing.
Ahmad Mufsih, teman lamaku sewaktu kelas satu SMP ini sangat culun dan alim. Dulu ia sangat pemalu dan takut dengan cewek, sehingga aku sering menjahilinya. Ia selalu berkata padaku jika ia tidak pernah menonton DVD bergambar wanita seksi seumur hidupnya (Hah? Yang benar saja, Bro!). Ia adalah salah satu teman baik yang sangat berarti dalam hidupku. Aku sangat mempercayainya, sehingga ia selalu menjadi teman curhatku. Ketika kami menjalani tahun terakhir di SMP Secang, ia dan Aulia duduk depan-belakang di kelas 3C, sehingga aku sering bertanya padanya tentang gadis yang kucintai secara diam-diam itu.
Tiba-tiba, aku merasa dipenuhi oleh penyesalan: kemungkinan mengungkapkan rahasiaku pada Ahmad Mufsih, seperti yang kubayangkan pertama kali, sebuah rahmat besar bagiku, sekarang telah hilang untuk selamanya. Di antara kami berdua, pikirku, percakapan antarlelaki bisa terjadi secara alamiah, sedikit ironis, tanpa bersifat pamer, tanpa membual, dan temanku bersekolah sambil bekerja, membawa sebuah harapan yang tak akan pernah bisa kuwujudkan dalam hidupku karena berbagai masalah dalam keluargaku, dan aku samar-samar melihat diriku berada dalam pikiran imajiner Ahmad Mufsih, di sana, kehidupannya, di sekolah dan tempat kerjanya, sambil mengenang masa SMP, miskin, tetapi selalu setia pada potongan keindahan dan kenikmatan. Kemudian, ketika berpikir secara naluriah mengenai temanku ini, seorang teman sekolah yang pertama kali kutemui lagi setelah hampir satu tahun, selalu dengan penampilan waspada namun tetap percaya diri: seorang remaja yang selalu berkerja keras dalam hidupnya dan secara virtual menyimbolkan kebijakan hidup leluhurnya, gairah-gairah yang penuh dengan pertimbangan. Aku pun menjadi bersemangat: maka pertemuan di malam itu akan dapat meninggalkan sebuah tanda, memiliki makna tetap, alih-alih bertahan seperti pasir yang ditarik air laut di tepi laut pada hari-hari kosong, bertahan dan terus berjuang untuk tertawa bersama.