You Are My Flaky

Luca Scofish
Chapter #30

Chapter 30

Musim kemarau akan berlalu sebentar lagi, aku berkunjung ke rumah Hasan untuk pertama kalinya setelah setahun lebih tidak bertemu, dan tidak pula berhubungan lewat pesan singkat ataupun telepon. Ia bertanya padaku kenapa aku menghilang beberapa hari setelah ujian akhir sekolah usai. Perlahan, aku menceritakan masalahku dengan jujur, namun tetap menyembunyikan rahasia-rahasia yang tak bisa diceritakan pada orang lain.


Hasan ikut prihatin dengan nasibku, namun ia menasehatiku. "Sebenarnya, setiap cobaan yang diberikan oleh Tuhan, pasti selalu diiringi dengan kenikmatan lainnya. Hanya saja, kita tidak menyadari kenikmatan itu."


Hm, Hasan benar. Sesudah aku putus sekolah, aku masih bisa mendapatkan pekerjaan meskipun hanya membantu usaha orangtuaku.


Berhari-hari kemudian, aku selalu mengunjungi rumah Hasan, lalu mengajaknya bermain playstation di kota Temanggung. Sesudah itu, Hasan selalu mengajakku ke perpustakaan kota untuk meminjam buku-buku pelajaran dan novel-novel fantasi sebelum pulang ke rumahnya.


Hasan bertanya padaku, kenapa aku tidak ikut meminjam buku?


Aku hanya tersenyum dan menjawab, "Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk belajar. Lagi pula, penyemangat belajarku juga sudah tidak ada lagi."


Hasan tahu siapa penyemangat belajarku, namun ia tidak menanyakan bagaimana hubunganku dengan penyemangat belajarku itu bisa terhenti begitu saja.


Setiap kali selesai bermain di rumah Hasan, aku selalu melewati depan rumah Mulan secara diam-diam untuk mengenang masa-masa indah kami belajar di halaman rumahnya yang rimbun. Namun, aku hanya bisa memuaskan kenanganku setiap kali membayangkan wajah Mulan dan mendengarkan keriuhan canda tawa kami yang menggemaskan. Tetapi semua itu sudah lenyap sekarang. Aku datang dan berdiri dalam serpihan masa laluku dan yang kulihat hanya capung dan kupu-kupu yang saling berterbangan ke sana-kemari. Tak ada apa pun di sini yang dapat kulihat sambil memejamkan mata kecuali rumput layu, batu pecah, dan tanaman rebah. Tak ada meja maupun bangku tempat kami bersendau gurau sambil menyelesaikan soal-soal latihan, tak ada dua sejoli yang saling bertengkar dan berkejaran ke sana-kemari gara-gara sebait puisi, tak ada suara-suara tetangga Mulan dan suara bising knalpot sepeda motor yang berlalulalang di depan rumahnya. Aku hanya bisa merasakan malaikat kebahagiaan memegang tanganku dengan tangannya yang tak terlihat, lalu menuntunku menuju perpustakaan pribadi yang ada di dalam rumah Mulan.


Ya, hanya bisa terus-menerus melewati depan rumahnya, terus berhenti, terus berkhayal, terus merenung sejenak, lalu terus melewatinya.


Seperti itu lah.


Namun, setiap kunjungan memberikan makna baru bagiku, dan meyakinkanku betapa dalam cintaku yang suci dan sungguh baik, hingga ia pun seolah menjadi sebuah puisi yang keseluruhan baris dan baitnya berisi tentang pujian dan harapan tentang masa depan yang kujadikan sebuah lirik lagu. Hanya saja, aku belum menemukan irama yang sesuai untuk kisah cinta tak bertuan ini.


Aku tak peduli jika Mulan menganggapku orang miskin yang tak tahu malu. Dan mungkin, di dalam hidup Mulan, aku ibarat secarik kertas kosong yang digunakannya untuk menulis atau menggambar suatu gambar yang tidak jelas. Kemudian, tak peduli ketika hasilnya baik atau buruk, kertas itu akan diremas-remas lalu dibuang ke tempat sampah.


Di rumah, ketika "perang rumah tangga" antara ayah dan ibuku memasuki babak baru, aku mengirim pesan singkat dan memperkenalkan diriku kepada Aulia. Namun, ia sama sekali tidak ingat siapa aku. Anehnya, semakin aku menceritakan siapa diriku, Aulia semakin tertarik padaku, sehingga kami berkirim pesan hingga larut malam.


Ketika Aulia bertanya padaku, "Kau melanjutkan sekolah di mana?"


"Aku didrop-out." Aku sadar jika kebohongan baik untuk sesaat, dan akan menghancurkanku suatu hari nanti. Tetapi, rasa maluku yang berlebih saat itu jauh lebih besar daripada kejujuran dan ketenangan hatiku, sehingga aku tak kuasa melakukannya.


Namun, sewaktu Aulia bertanya, "Apa kesibukanmu sehari-hari?"


Aku bisa menjawabnya dengan sangat jujur. "Aku membantu usaha ayahku dan melakukan hal-hal baru."


Beberapa hari kemudian, saat aku membantu ibuku berjualan di pasar Secang, aku bertemu dengan Risma, teman sekelasku sewaktu duduk di kelas 3D, yang sedang membeli es cendol.


"Eri, kau suka berkirim pesan dengan Aulia, ya?" tanya Risma sambil menyeruput es cendol.


"Hah? Bagaimana kau bisa tahu?"


"Tahu, dong. Aku dan Aulia kan bersekolah di sekolah yang sama. Kau tahu tidak, kemarin lusa, Aulia mendatangi kelasku dan dia bertanya, 'Eh, Risma, yang namanya Eri itu kayak gimana, sih?'"


"...." Aku tersipu, wajahku memerah seperti tomat. Namun, hatiku dilanda rasa terima kasih yang sangat indah. Rasa terima kasih ini terus bersemayam di hatiku seharian penuh dan aku tak henti-hentinya mengulang-ulang perkataan Aulia pada Risma tadi, 'Eh, Risma, yang namanya Eri itu kayak gimana, sih?'


Sejak hari itu, aku dan Aulia selalu berkirim pesan singkat setiap malam. Aku sadar jika Aulia sangat sibuk dengan sekolahnya. Oleh sebab itu, aku selalu mencari waktu yang pas; kapan saat terbaik berkirim pesan singkat dengannya.


Suatu malam, aku dan Aulia berkirim pesan singkat dengan topik "keluarga". Sejujurnya, aku tidak suka membahas keluargaku dengan siapa pun, termasuk cewek yang kusukai. Maka, aku lah yang begitu agresif bertanya tentang keluarga Aulia. Aulia adalah satu-satunya anak perempuan dan sulung dalam keluarganya. Ayahnya seorang guru olahraga di sebuah SMA negeri di kota Magelang, sedangkan ibu kandungnya sudah meninggal dunia. Namun, sekarang ini ia tinggal bersama ibu tirinya yang berprofesi sebagai seorang bidan. Kakak-kakaknya sudah berkeluarga dan hidup mandiri.


Kemudian, aku yang mulai bosan karena hanya berkirim pesan singkat saja dengan Aulia memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya.



Oh iya, Eri, kalau jadi main ke rumahku, tolong berpakaian yang sopan, ya?


Ya pasti, dong. Masa aku berpakaian kayak preman.


Hihihi, soalnya, dulu Riyu selalu main ke rumahku dengan dandanan yang mengerikan.


Riyu sering ke rumahmu?


Iya, dulu dia sering ke sini sama anak punk, gitu.




"...." Aku tercegang.


Riyu, kau teman baikku yang suka menonton DVD bergambar wanita seksi benar-benar membuatku kecewa. Kau merencanakan "sesuatu" yang tak pernah kuduga sebelumnya, seperti seekor ular yang dengan sabarnya memantau dan terus memantau hingga mendapatkan kesempatan untuk menyergap mangsanya. Namun, aku juga tidak bisa menyalahkanmu, karena kau tidak pernah tahu jika aku menyukai Aulia. Huh....


Selesai meluapkan emosi, aku mengembuskan napas lega. Kemudian, aku pergi ke rumah Ahmad Mufsih yang dulu pernah satu kelas dengan Aulia dan Riyu di kelas 3C untuk mencaritahu hubungan mereka berdua.


Akhirnya, aku tahu jika Riyu pernah menyukai Aulia. Aku cukup terkejut, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah Riyu pernah menembak Aulia ketika status Aulia masih berpacaran dengan Dinar.


Sehari kemudian, aku menjemput Ahmad Mufsih di sekolahnya untuk memintanya menemaniku berkunjung ke rumah Aulia. Di perjalanan menuju rumah Aulia, kami bertemu Zobi, anak yang sangat aku hindari semasa SMP, di pertigaan lampu lalu lintas Secang. Zobi bertanya kami akan pergi kemana, Ahmad Mufsih pun menjawab dengan jujur. Lalu, Zobi pun mengutarakan keinginannya untuk ikut dengan kami. Sejujurnya aku tidak menginginkan hal ini, namun aku juga tidak mungkin melarang orang yang ingin menjalin tali silaturahmi.


Sekitar dua puluh menit kemudian, kami sampai di lingkungan tempat tinggal Aulia, Krincing. Lingkungannya cukup tua, dengan pohon-pohon tinggi yang menggantung di atas jalan, menghalangi cahaya matahari. Rumah-rumah di sini memiliki pekarangan yang ditata secara profesional dan dilengkapi tanah separuh lingkaran untuk jalur masuk kendaraan. Arsitekturnya bergaya minimalis. Hampir semua rumah dicat putih dengan pinggiran hitam. Ahmad Mufsih dan Zobi telah menaikkan kaca helm, dan dari kejauhan kami mendengar dentuman musik dangdut.


"Di mana alamatnya?" tanya Ahmad Mufsih, menyipitkan mata jauh ke depan. "Rumah-rumah di sini sangat jauh dari jalan, jadi aku tidak bisa membaca nomornya."


"Jalan manggis nomor dua puluh tiga," jawabku.


"Setahuku, patokannya bidan Helmi. Kita cari saja papan nama tersebut." Zobi menambahkan.

Lihat selengkapnya