Harus kuakui bahwa keberuntunganlah yang telah menghadiahiku hal tersebut: sebuah perjuangan memulai babak baru, perubahan suasana hati Aulia. Menurutku, suasana hati seorang wanita biasanya terkendali dan cenderung tidak peka menanggapi keinginan sesaat; rangsangan ringan disebabkan nada bicara yang tulus dan jujur, entah terlihat meyakinkan atau tidak, dan mungkin kombinasi logistik yang menyenangkan saat berpisah, namun semua itu bukan karena pesona pribadiku. Atau, mungkin, karena tutur kataku yang sangat hati-hati dan agak tak dikenal yang menandakan aku adalah teman yang tak banyak menuntut dan sederhana; telah menghasilkan hal yang tak terduga hari itu. Aku sangat paham akan hal ini, karena sifat rendah hatiku, kuanggap bahwa keberuntunganku adalah yang paling berharga.
Sejak hari itu, aku selalu menjemput Aulia, lalu kami berjalan-jalan sebentar di taman dekat sekolahnya, sebelum akhirnya aku mengantarnya pulang. Namun, Aulia selalu memintaku untuk menurunkannya di gapura desanya, kemudian ia melanjutkan dengan berjalan kaki menuju rumahnya. Namun, terkadang aku juga menemaninya berjalan kaki, meskipun tidak diperbolehkan sampai halaman rumahnya. Meski aku juga sedikit kecewa, tapi berjalan kaki bersama Aulia sungguh membuatku merasa senang.
"Oh iya, mengapa kau ingin sekali mengajakku pergi ke Salatiga?" Aulia menggigit bibirnya, sorot matanya berbinar. Beberapa hari terakhir aku selalu membujuk Aulia agar mau pergi bersamaku, namun ia selalu menolakku dengan halus. Padahal niatku ingin membuatnya melepas rasa stres akibat rutinitas sekolahnya, bukan bermaksud untuk mengencaninya. Namun, niatku itu memang mencurigakan, bagai "udang di balik batu".
"Setelah aku mengajakmu ke Salatiga, kau akan tahu bagaimana aku akan membuatmu gembira. Kau juga akan tahu bagaimana aku akan menjagamu di sepanjang perjalanan. Dan yang terpenting, kau akan tahu bagaimana keberanianku meminta izin pada ayah dan ibumu." Aku berbicara sembarangan. Sebenarnya, aku juga tidak tahu kenapa ingin mengajak Aulia ke Salatiga.
"Hm, ayah dan ibuku pasti tidak akan mengizinkanku pergi jauh, kecuali dengan pengawasan kakak-kakakku," kata Aulia dengan nada datar. Kudengar kakak-kakak Aulia cukup sukses; ada yang jadi tentara, dokter gigi, sampai densus 88 anti-teror.
"Oh begitu, ya?" Aku sedikit kecewa, dan sejujurnya takut kalau diawasi kakak-kakak Aulia, hehehe.
"Oh iya, ngomong-ngomong, kupikir kau sangat baik. Pasti banyak cewek-cewek yang berharap menjadi pacarmu, ya?" Aulia menatapku dengan sorot mata berbinar-binar.
"Tidak, lah. Aku tak sebaik yang kau pikirkan. Kau lah yang jauh lebih baik dariku. Terbukti, kan, jika banyak cowok-cowok yang mengejar-ngejarmu, dari SMP hingga sekarang ini," ungkapku. Sejujurnya, kebaikanku adalah keindahan yang keluar dari lubuk hatiku ketika aku sedang jatuh cinta. "Pasti sangat sulit bagimu memilih di antara mereka, ya?" sambungku. Sampai di sini, aku baru menyadari kalau Zobi dan beberapa teman sekelas Aulia juga sedang melakukan pendekatan dengan Aulia meski tak seagresif diriku.
"Rumahku sudah dekat, sampai di sini saja." Aulia tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Apakah aku tidak boleh mengantarmu sampai depan rumah?" tanyaku.
"Jangan, ayah dan ibuku sedang berada di rumah." Aulia terlihat gelisah.
"Kenapa? Sejujurnya, aku juga ingin berkenalan dengan keluargamu. Mungkin dengan begitu, kita bisa jauh lebih akrab, kan?"
"Kalau kau memaksa, lain kali aku akan melarangmu mengunjungi rumahku, lho!"
"Baiklah, kalau begitu, sampai jumpa besok, ya!" Aku menghentikan langkahku, lalu melambaikan tangan.
"Cowok berambut gondrong yang keras kepala, sampai jumpa besok." Aulia tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Beberapa kali aku menjemput Aulia lalu berjalan-jalan sebentar di taman sambil menikmati es krim. Setiap kali aku mengajaknya jalan ke Salatiga atau tempat-tempat wisata, Aulia selalu menolaknya dengan sopan. Perlahan, aku bisa mengerti kenapa seorang gadis baik-baik yang diajak jalan seorang laki-laki bisa bersikap seperti itu. Orang cenderung menganggap jelek sepasang muda-mudi yang dibiarkan lepas tanpa pengawasan. Namun, sampai saat ini aku masih tidak mengerti, kenapa Aulia tidak memperbolehkanku mengunjungi rumahnya ketika ada ayah dan ibunya? Hm, apakah Aulia malu mempunyai seorang teman yang miskin dan putus sekolah sepertiku? Apakah orang tua Aulia akan berpikir jika orang sepertiku bisa memberi pengaruh buruk terhadap anak perempuan semata wayangnya? Aku pulang ke rumah sambil tak henti-hentinya memikirkan hal itu.
Kemudian, aku mulai bosan karena hanya berjalan-jalan di taman saja.
Oleh sebab itu, aku mulai menjalin hubungan baik dengan teman-teman perempuan Aulia semasa SMP untuk lebih mengenal kepribadian Aulia lebih jauh.
Suatu hari setelah Aulia pulang sekolah, aku yang mulai mengetahui hobi dan kesukaan calon pacarku ini melakukan "siasat licik" dengan mengajaknya ke departemen store untuk membeli novel cinta-cintaan.
Usai melihat-lihat dan membeli tiga buah novel komedi romantis, kami berkeliling sebentar, menyusuri rak-rak penuh makanan ringan, mengelak dari para pengunjung dan SPG, melesat di antara kereta dorong dan ranjang belanjaan, lalu bergegas menuju eskalator. Lantai utama itu penuh dengan puluhan pengunjung yang menyaksikan pertunjukan sulap dan beberapa satpam yang siap siaga. Para penonton bertepuk tangan ketika para pesulap itu berhasil melakukan aksi-aksi heroik nan atraktif. Tak seorang pun diam membisu, termasuk aku dan Aulia yang menyaksikannya dari kejauhan.
"Kau lapar, Aulia?" tanyaku sambil menatap mata Aulia yang terfokus pada pertunjukkan itu.
"Mungkin sedikit."
"Ayo ke kafetaria. Akan kubelikan kau cheeseburger."
Aku bermaksud mengajak Aulia makan di kafetaria "Miazza", karena aku tidak tahu tempat lain lagi kecuali restoran murah tersebut dan karena aku juga takut salah masuk ke dalam restoran yang terlalu mahal. Kami lalu berjalan menyusuri kerumunan orang yang berseliweran di lobby mall, lalu menuruni tangga ke lantai bawah tanah, tempat segerombolan orang yang gelisah mondar-mandir di koridor. Satu lorong lain menuju tempat terbuka yang luas, dan sekonyong-konyong kami sudah berada di kafetaria, lebih bising dan berjejal daripada ruang makan di sekolahku dulu. Aku menunjuk ke meja kosong satu-satunya yang terlihat, lalu Aulia menungguku di sana.
Setelah memesan makanan, aku muncul dengan sebuah nampan yang tertutup kentang goreng dan cheeseburger, dua untukku dan satu untuk Aulia. Aku mengatur makanan itu dengan rapi dan mengembalikan nampan, kemudian kembali ke meja lagi sambil membawa sepasang pop ice.
Aulia menggigit-gigit sepotong kentang goreng, sementara aku langsung melahap satu burger.
"Hari ini kau terlihat cantik sekali, Aulia." Aku membuka obrolan.
"Terima kasih, kau juga ganteng, kok."
"Wah, baru kali ini ada cewek cantik yang berkata seperti itu, lho."
"Mungkin kau akan lebih ganteng lagi jika kau memangkas sedikit rambutmu."
"Hei, rambut ini adalah senjata utamaku untuk memikat hati anak perempuan."
"Aku kan hanya berpendapat. Jika rambutmu pendek, kau pasti kelihatan lebih bersinar."
Aku menyedot keras pop ice-ku dengan sedotan, menelan dengan kasar, mengosongkan mulut, dan berkata dalam hati, "Oh Tuhan, hatiku sangat berbunga-bunga."