You Are My Flaky

Luca Scofish
Chapter #32

Chapter 32


Selama sebelas detik terakhir, aku tidur tengkurap dengan wajah terbenam dalam bantal. Aku berusaha membungkam panggilan ayahku yang menyuruhku untuk bergegas membasuh muka agar tak kesiangan berangkat bekerja. Suaranya terdengar lantang dan jernih dari jam beralarm di samping ranjangku. Aku juga berusaha mematikan bagian logis dari otakku yang berteriak-teriak menyuruhku berpakaian, dan mengingatkan risikonya kalau tak segera kulakukan. Tetapi yang menang adalah bagian otakku yang mencari kesenangan. Membuatku masih bergelayut dalam kesedihan, atau lebih tepatnya subjek kesedihanku, sehingga aku memutuskan untuk tidak ikut membantu ayahku bekerja. Hal ini membuat amarahnya meledak-ledak.


Jujur saja, aku tidak mungkin bisa bekerja dengan baik dalam keadaan seperti ini; stres, gila, rasanya ingin menabrakkan diri ke kereta api. Tapi, aku sadar kalau di daerah manapun di kabupaten dan kota Magelang tidak ada atau tidak dilintasi kereta api. Jadi, dengan berat hati aku memutuskan untuk melanjutkan tidurku.


Ketika aku bangun di siang hari, awan gelap seakan menaungi kepalaku. Aku tak tahu bagaimana hubunganku dengan Aulia selanjutnya: Apakah aku bisa menerima penolakan ini atau justru aku akan bermusuhan dengannya? Namun, jika aku memusuhi Aulia gara-gara ia menolak cintaku, berarti aku sudah menciderai sportifitas pertemanan kami selama ini. Sejujurnya, kebimbangan ini membuatku tak dapat berpikir rasional, sehingga aku memilih untuk merebahkan diriku di atas sofa, sambil berkhayal, "Andai saja waktu bisa kuulang kembali, aku tidak akan menyatakan perasaanku melalui telepon."


Tak ada asap tak ada api, tiba-tiba aku mendapat ide yang cukup brilian. Kemudian, dengan membumbungkan sejuta harapan baru, aku bergegas menuju tukang cukur. Aku bermaksud menemui Aulia dengan penampilan yang lebih rapi, lalu mengungkapkan isi hatiku secara langsung. Saat itu yang ada di kepalaku hanyalah supaya Aulia tidak menganggapku pengecut.


"Selamat pagi, Mas. Silakan duduk." Bapak tukang cukur berbicara dalam nada tinggi profesional, yang bagiku terlihat seperti sebuah kedipan mata.


"Ah, tolong cukur gundul yang keren!" Aku membalasnya dengan keramahan skeptis, sambil memandang diriku sendiri di depan cermin. Wajahku, dengan handuk diikatkan di leherku, tampil seperti sebuah objek independen dan sejumlah jejak keletihan tak lagi tersamarkan oleh keseluruhan penampilanku, mulai terlihat. Namun, itu tetaplah sebuah wajah normal, seperti wajah seorang pelancong yang baru turun dari bus ketika terik matahari atau seorang pemain judi bola yang menghabiskan malamnya untuk begadang; kecuali ada penampilan tertentu yang menandai sifat alamiah istimewa dari keletihan, aku mengamati dengan bangga, kenyamanan tertentu, ekspresi manja seorang pria yang telah mengalami banyak hal, dan siap mengambil hal baik dari yang buruk.


"Mana ada potong gundul yang keren? Masnya ada-ada aja, deh." Kerikan pisau cukur bapak tukang cukur ini, membuat kulitku seakan-akan berkata, 'Anda tidak akan mengerik apa yang telah kurasakan dan kuketahui!'


"Potong saja, Pak! Nanti Bapak juga akan tahu," seruku.


Bagiku, sebuah percakapan penuh kiasan seakan-akan sedang berlangsung antara diriku dan bapak tukang cukur, seperti itulah, sama-sama bersuara, yang mengabdikan diri menggunakan perkakasnya. Beliau seorang tukang cukur berpengalaman, agak cerewet, lebih tepat dikatakan sebagai orang yang berimajinasi luas daripada seorang berkarakter cerewet; dan kenyataannya, sebagai usaha menghibur pelanggannya, beliau berkata, "Tahun yang bagus, ya? Cuaca baik telah datang. Musim penghujan."


Pernyataan itu menggapaiku tepat di tengah-tengah percakapan imajinerku, dan kata 'musim penghujan' pun dipenuhi rujukan dan makna tersembunyi. "Ah, musim penghujan!" ujarku, dengan senyuman penuh arti di bibirku yang berbusa. Dan percakapan pun berhenti sampai di situ.


Setelah mengganti model rambut, aku bergegas menunggu Aulia pulang sekolah di dekat gapura desanya. Sekitar tiga puluh menit lamanya, mataku selalu tertuju ke arah angkot yang berhenti di pertigaan Krincing dengan radius sekitar dua puluh meter dari tempatku bersembunyi. Setelah cukup lama menunggu, Aulia terlihat menuruni angkot jurusan Secang-Grabag dengan hati-hati. Kemudian, aku bergerak cepat dan langsung menghadangnya, tepat di antara tugu desa yang mengarah ke rumahnya.


"Aulia, aku ingin bicara sebentar." Aku menyapanya dengan perasaan campur aduk.


"Apalagi?"


"Aku mencintaimu, Aulia."


"Iya, aku tahu."


"Apa kau tidak mencintaiku?"


Aulia hanya memandangku dan tak mengucap satu kata pun.

Lihat selengkapnya