Kamarku benar-benar tidak terurus. Majalah-majalah lama, kertas-kertas penuh coretan puisi-puisi cinta yang telah diremas-remas, tergeletak di lantai, dan kubiarkan begitu saja. Aku tenggelam dalam depresi, dan mulai melakukan hal-hal aneh: Aku mulai membuat sebuah buku harian fotografik. Dengan komputer pentium empat-ku, aku mencuri foto-foto Aulia dari akun facebook-nya sambil menatap pada kehampaan.
Selanjutnya, aku mencetak foto-foto itu dan mengumpulkannya di sebuah album. Dengan semua itu, aku menutup diri dari lingkungan dan mengunci diri di rumah, jatuh ke kursi meja belajarku, lalu memotret album Aulia dengan ponsel secara kompulsif. Foto-foto di majalah sepak bola juga tak luput dari bidikan kamera ponselku, dan sebuah ikatan tidak langsung tercipta di antara kehidupanku dengan kehidupan para pesepakbola tersebut; mewah, penuh euforia, tujuan hidup, teman, wanita, dan lain sebagainya.
Aku sekarang merasakan sebuah kenikmatan istimewa ketika memotret objek-objek domestik yang dibingkai oleh mosaik telefoto, noda-noda kekerasan dari tinta pada kain putih. Dari kestatisannya, aku terkejut ketika menyadari bahwa aku merasa iri pada kehidupan para pesepakbola, yang aktif bertanding setiap akhir pekan, ditonton banyak orang, beradu skill dan strategi, mencetak gol dan mendapat aplaus dari para suporter. Pesepakbola yang berhasil mencetak gol kemungkinan besar akan menjadi man of the match, dielu-elukan, terlebih lagi jika berhasil membawa tim-nya menang atau menolong tim-nya dari kekalahan, saat-saat istimewa yang dihasilkan pada setiap waktu di dalam stadion.
Ini seperti mimpi, merenung, terkubur di dalam kegelapan, fotografer gadungan yang terfilter di dalam kaca segi empat: seperti sebuah mimpi, ketika sebuah kehadiran muncul dari kedalaman perkembangan memori, dikenali, dan kemudian tiba-tiba ditransformasi menjadi suatu yang tidak diharapkan, sesuatu yang bahkan sudah menakutkan sebelum transformasi terjadi, karena tidak ada perubahan mengenai hasil transformasi itu.