Suatu malam suara telepon membangunkanku, dering yang terdengar istimewa dan memaksa, seperti sebuah teriakan jarak jauh. Aku menyalakan lampu: waktu menunjukkan hampir pukul tiga dini hari, saat ayahku sedang menyiapkan dagangan es cendol. Bahkan sebelum memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurku, bergegas menuju meja komputer, dan mengambil ponsel di dalam kegelapan, jauh sebelum semua itu terjadi, pada guncangan pertama dalam tidurku, aku sangat mengharapkan jika itu Aulia.
Dan ternyata benar: itu nomor telepon Aulia dulu, yang kukira selama ini sudah kadaluarsa. Sebelum aku menerima teleponnya, aku menarik napas dalam-dalam, berharap bisa berbicara santun, santai, pokoknya berusaha tampil sebaik mungkin. Namun, setelah menerima telepon Aulia, suaranya terdengar aneh dan seperti berasal dari planet lain; dengan mataku yang hampir tertutup aku merasakan sesuatu gairah, kejutan, yang sebenarnya adalah perpindahan nada dari suara Aulia yang terdengar menggebu, semangat dramatis yang selalu menyertai segala hal yang ia katakan dan kini terdengar olehku, menembus gendang telingaku. Aku sadar aku tak pernah ragu bahwa suatu saat Aulia akan meneleponku; dan jujur saja, aku tak pernah menantikan hal lain selain dirinya selama ini.
"Degarkan baik-baik, kalau kau terus-terusan mengganggu anak saya, saya akan melaporkanmu ke polisi." Suara Aulia tiba-tiba berubah menjadi seperti nenek sihir.
"Tapi, saya tidak bermaksud...." Aku menelan ludah, tubuhku gemetar hebat.
Beliau sangat marah. Beliau tidak menginginkan penjelasan, beliau menginginkan reaksi dariku, sesuatu yang dapat membakar jarak di antara kami. Tetapi jawabanku terlanjur terdengar penuh kewaspadaan, keluhan, ketakutan.
"Apa?" Suara ibu tiri Aulia sangat keras hingga memekakkan gendang telingaku.
"...." Aku langsung memutuskan sambungan telepon daripada ayah dan ibuku terbangun gara-gara lengkingan suara ibu tiri Aulia. Alis mataku dipenuhi keringat. Aku merasa lelah sekarang, terbebani oleh perasaan bersalah. Adalah suatu kesalahan untuk tidak mengindahkan ancaman ibu tiri Aulia, untuk kebaikanku: bahkan juga kebaikan keluargaku.
Aku berjalan menuju jendela. Di sana terlihat sebuah bangunan-bangunan jaman kolonial Belanda yang tinggi, penuh dengan beranda, tetapi rasanya seperti berada di tengah-tengah gurun. Langit terlihat di atas atap, tak lagi jelas meski larut malam, tetapi berwarna gelap kebiruan, tertutup oleh lapisan buram, seperti yang terjadi dalam ingatanku, suatu nuansa hitam suram menyapu setiap kenangan akan sensasi, dan kehadiran bulan diwakili oleh seberkas cahaya samar dan diam, seperti semburat kesedihan tersembunyi.
Kemudian, kurasakan ada bayangan besar yang memayungi kepalaku hingga membuat bulu kudukku merinding, dan dengan suara lantang ia berkata, "Kau yang memulai adanya cinta. Dan kau juga yang menimbulkan pemberontakan. Maka, hadapilah segala risikonya."
Pada saat itu, keheningan seakan menyatu dengan gemerisik kepakan sayap-sayap patah yang tak kasat mata; dan itu terus berlangsung. Aku memejamkan mataku dan berusaha berkonsentrasi mencerna kata-kata yang baru saja kudengar di dalam pikiranku; dan ketika kembali membuka mata, bayang-bayang dan suara-suara tadi telah tergantikan hembusan angin malam yang bercampur suara-suara serangga malam.