You Are My Flaky

Luca Scofish
Chapter #35

Chapter 35

Bulan Mei tahun 2011, adikku lulus dari STM Pembangunan Temanggung dengan predikat "sepuluh besar peraih nilai UN terbaik satu sekolah", dan mendapatkan tawaran beasiswa dari sebuah universitas swasta di Jogjakarta. Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, ia memutuskan untuk tidak mengambilnya karena takut membebani keluarga kami; kebutuhan hidup di kota besar tidaklah murah. Kemudian, ia menjalani praktek kerja lapangan selama enam bulan sebagai bagian dari R&D Mikrobiologi di PT. Forisa Nusapersada, Tangerang. Setelahnya ia bekerja untuk PT. Indofood dan PT. Mayora, sebelum akhirnya bekerja di PT Tiga Pilar yang ada di Sragen. Selanjutnya, karena ingin mengubah nasib keluarga, atau keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk memiliki kehidupan yang lebih dari biasanya (suami, rumah tangga, dan anak-anak), ia selalu mencari informasi untuk magang kerja di Jepang.


Adikku pernah bilang padaku jika keluarga memang penting dan ia ingin berumah tangga. Namun, bukan hanya itu yang ia inginkan. Meskipun STM Pembangunan Temanggung mendidik murid-muridnya untuk menjadi seorang pengusaha, namun sebagian besar teman sekelas adikku sudah pasrah pada nasib dan memilih bekerja menjadi seorang buruh pabrik sampai mereka menikah dan punya anak. Jelas, masalah utama untuk menjadi pengusaha adalah modal, dan itu yang ada di kepala adikku (bekerja di Jepang sama dengan modal untuk menjadi pengusaha).


Entah disengaja atau tidak, ayahku telah mengaruniakan keberanian dalam diri adikku, keberanian yang tidak dimiliki ayahku seumur hidup, dan menanamkan kepada adikku hasrat untuk meraih kehidupan yang lebih baik bagi dirinya sendiri daripada yang pernah dicapai orang tua kami. Paling tidak, dalam hal itu kami sekeluarga sependapat. Hanya tujuan utama kami yang berbeda... serta cara-cara untuk mencapainya. Namun, aku dan adikku selalu takut perbedaan-perbedaan itu tidak akan pernah dapat didamaikan, terurama bila terkait masa lalu dan uang.


Sementara adikku terus berjuang menggapai impiannya, aku hanya berjalan di tempat dan masih saja mengharapkan Aulia.


"Hai, Aulia... Tebak, bagaimana aku bisa tahu nomor teleponmu? Ayo telepon aku!" Suatu malam setelah mendapat nomor baru Aulia dari teman SMA-nya dengan cara mengaku sebagai Vivi Vidya, aku menelepon Aulia sambil menatap bintang-bintang.


"Eri." Nada suara Aulia sangat terkejut.


"Iya, Sayang."


"Katakan, dari mana kau mendapat nomor teleponku?"


"Itu tidak penting. Yang penting kau harus sadar jika ini membuktikan begitu besarnya rasa cintaku padamu!" Menurutku, perjuangan membuktikan ketulusan cintaku pada Aulia selama ini adalah hal yang menakjubkan. "Mengertilah, Sayang!" lanjutku.


"Kenapa kau terus meneleponku? Kau tahu, aku sangat takut. Aku mohon, berhentilah meneleponku."


"Hei, santailah. Aku menelepon karena aku sangat merindukanmu."


"Eri, aku sudah melukai dan menghinamu habis-habisan, tapi, kenapa kau masih saja mencintaiku?"


"Karena, duniaku tak lain adalah hatimu." Aku mengatakannya dengan tersedu.


Namun, Aulia malah memutuskan percakapan.


Akhirnya, karena Aulia takut dengan berbagai teror yang kulakukan, ia meminta bantuan kakak-kakaknya untuk menghentikan aksi gilaku itu.


"Kau yang bernama Eri, ya? Dengar, saya kakaknya Aulia, kalau kau terus-terusan mengganggu adik saya, saya tak segan-segan akan melaporkanmu ke pihak berwajib dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan." Suatu siang sebelum shalat jum'at, kakak Aulia meneleponku.


"Maaf, Kak, saya tidak bermaksud mengganggu Aulia. Saya hanya ingin mendapat perhatian darinya... juga karena saya ingin membuktikan cinta saya pada Aulia."


"Dasar bodoh! Cintamu itu sesat!" teriaknya. Suaranya penuh emosi yang tidak dapat kuterima. "Adikku sudah bilang jika dia tidak mencintaimu! Kau tidak tuli, kan?"


"...." Aku tercegang, bisa-bisanya kakak Aulia yang berprofesi sebagai seorang aparat negara berkata seperti itu.


"Ini peringatan pertama dan terakhir buatmu! Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Awas, jangan ganggu adikku lagi!" ucap kakak Aulia dengan nada tinggi.


"Saya juga tidak main-main dengan cinta saya pada adik Anda! Tolong, jangan larang saya mencintai Aulia!" Aku juga meninggikan nada suaraku.


"Kau menantangku, ya? Sekarang aku sedang ada di Yon Armed 3, lebih baik kau ke sini dan kita selesaikan masalah ini secara jantan!" Yon Armed 3 adalah komplek militer yang ada di kota Magelang.


Sebelum aku membalas ucapannya, terdengar suara adzan dari masjid dekat rumahku.


"Sebelumnya saya minta maaf, tapi Tuhan sudah memanggil saya. Kalau begitu sudah dulu, ya, Kak, saya ingin menjalankan ibadah shalat jum'at." Aku berbohong. Sejujurnya, aku sudah jarang menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim sejak Aulia menolak cintaku.


"Baiklah, saya sedang tugas piket, jadi saya tidak shalat."

Lihat selengkapnya