Semua berawal dari sini. Aku mengenal dunia sastra, menemukan jati diriku, bahkan cerita cinta baru. Aku adalah aku yang menyukai diriku ketika jatuh cinta.
Pertengahan tahun 2012, atas saran dan bantuan biaya dari adikku, aku mendaftar sekolah di sebuah SMA islami swasta di kecamatan Secang. Usiaku waktu itu tak lebih dari 21 tahun yang menjadi salah satu syarat memasuki sekolah formal.
Para guru di sekolah itu sangat terkejut, bagaimana mungkin di usia yang menginjak kepala dua ini masih ingin bersekolah di sekolah formal? Apa tidak malu? Apakah bisa mengikuti proses belajar-mengajar dengan baik? Walau begitu, pertanyaan-pertanyaan itu tak menghalangi tekatku.
Pak Burhan, wali kelasku sewaktu SMP, sangat kaget ketika aku berkunjung ke SMP Secang untuk mengambil SKHU dan Ijazah SMP-ku. Beliau membanjiriku dengan berbagai pertanyaan tetang perjalanan hidupku selama ini. Dengan sedikit malu-malu kucing, aku mengarang-ngarang cerita yang intinya "aku gagal menjadi 'orang' dan ingin mencoba menjadi 'orang' lagi".
Aku mendapat dukungan dari teman-temanku: Hasan, Ahmad Mufsih, dan Nandi yang kini menjadi teman baikku bermain playstation. Mereka berkata padaku, "Sejujurnya, tidak ada kata terlambat untuk bersekolah lagi."
Selanjutnya, apa yang aku lakukan? Demi mengejar ketertinggalanku terhadap mata pelajaran dan memahami kurikulum baru, aku sampai harus pergi ke rumah ketiga temanku itu, lalu meminta izin kepada orangtua mereka supaya meminjamkan buku-buku lama milik anaknya agar bisa kupelajari di rumah. Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika, rasa-rasanya masih dapat kukuasai. Kuharap Fisika dan Kimia tidak sulit. Lalu, Geografi dan Sosiologi... Ah, enteng!
Saking bersemangatnya bersekolah lagi, aku sampai membuat akun facebook baru supaya dapat berteman dengan akun facebook Aulia. Ketika Aulia mengkonfirmasi pertemanan, aku langsung melakukan aksi "agresi serangan cinta Lord Luca Erillio jilid 2" ke dinding akun facebook-nya.
Aulia, sekarang aku bersekolah lagi, lho! Kau lihat saja suatu hari nanti, aku pasti bisa menjadi orang sukses! Setelah itu, aku pasti akan menikahimu!
Beberapa menit setelah Aulia membaca tulisanku dan menyadari jika si penulis adalah akun kloninganku, ia pun langsung memblokir akun kloninganku tersebut. Well, Aulia memang sangat... sangat membenciku.
"Eri, setelah lulus nanti, kau ingin bekerja atau melanjutkan kuliah?" Dari Ibaraki Ken, Jepang, Hasan mengirim pesan singkat padaku lewat akun facebook-nya.
"Aku belum yakin, tapi tujuanku bersekolah lagi adalah untuk membuka peluang melanjutkan pendidikanku ke bangku universitas. Namun, aku sudah memiliki rencana-rencana yang ingin kurealisasikan. Mungkin, aku akan melanjutkan ke PIP Semarang untuk menjadi seorang Taruna." Aku membalas inboknya.
Hasan tidak berkata apa-apa selama dua puluh menit kemudian, sehingga membuatku berpikir, kenapa anak ini ingin tahu tentang masa depanku? Sebegitu pentingkah masa depanku baginya? Atau ia memang hanya ingin tahu? Semua prasangka itu membuatku berpikir: Apakah Hasan memang seorang sahabat atau hanya sebatas teman baikku?
Kemudian, aku melakukan sesuatu yang bisa dibilang akan menjawab semua itu.
"Sejujurnya, aku memang ingin kuliah di PIP Semarang, namun aku tidak yakin apakah keluargaku mampu membiayai kuliahku atau tidak. Oh iya, teman baikku, seandainya aku diterima di PIP Semarang nanti, maukah kau membantu membiayai kuliahku? Aku janji, jika aku sukses suatu hari nanti, aku akan mengganti tiga kali lipat uang yang kau keluarkan untukku. Namun, jika aku gagal, aku juga akan menggantinya, kok. Tetapi jangan dikasih bunga, ya, hehehe." Irama jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya menunggu jawaban Hasan.
Beberapa menit kemudian, ia membalas, "Tentu saja, jangan sungkan, aku pasti akan membantumu. Kau adalah salah satu teman baikku, aku tidak mungkin melupakan kebaikanmu padaku dulu."
Aku tidak tahu apakah jantungku berdebar semakin kencang atau tidak, karena aku sudah benar-benar seperti terbang ke langit.
Berbulan-bulan kemudian....
"Sangat mengejutkan, Kakak berhasil menjadi murid terpandai di kelas satu, lho." Aku menelepon adikku yang saat itu bekerja di PT. Tiga Pilar Sejahtera sesudah rapor semester pertama dibagikan.
"Syukurlah, Kak. Kakak telah membuktikan bahwa sebetulnya Kakak pandai."
"Ini juga berkat doa dan doronganmu."
Sejujurnya, aku sangat senang bisa bersekolah lagi, namun aku selalu berusaha menutupi kesenanganku itu ketika berada di sekolah, sehingga membuat banyak orang berpikir sebaliknya.
Bu Esti, guru BK-ku yang juga seorang psikolog, telah salah besar menilaiku. Beliau berkata padaku jika aku menjalani hari-hari di sekolah karena terpaksa. Bu Rahma, guru bahasa Inggris-ku yang sungguh baik, selalu berusaha menyemangati hari-hariku dengan ucapan berkelas para motivator dunia dan video-video semangat hidup yang beliau putar dari laptopnya setiap kali akan memulai pelajaran. Bu Ning, guru geografi-ku yang juga menjadi seorang dosen agama islam di sebuah universitas islami di kota Temanggung, selalu menyanjungku karena aku sangat rajin membaca novel dan buku-buku pelajaran. Beliau pernah mengatakan sesuatu yang sampai saat ini masih terngiang di kepalaku. "Di masa depan, mas Eri bisa saja menjadi seorang gubernur, lho!"
"Hah? Yang benar saja, Bu? Kalau aku menjadi seorang gubernur, aku pasti sudah menikahi Mulan dan Aulia." Aku hanya bisa tersenyum dalam hati.
Baiklah, kita kembali ke bu Esti. Aku ingin membahas beliau lebih jauh.
Bu Esti adalah seorang ibu muda yang sudah memiliki seorang anak. Semua murid laki-laki di sekolahku sangat menggilainya, bahkan ada beberapa yang terang-terangan menyatakan rasa sukanya. Mungkin karena usia mereka tak jauh beda, atau karena wajah "baby face" yang bu Esti miliki. Sementara itu, usiaku dengan bu Esti hanya terpaut dua tahun, namun aku menghormati bu Esti sebagai seorang ibu, bukannya seorang kakak.
Entah kenapa, di antara guru-guru yang lain, bu Esti begitu perhatian padaku. Beliau selalu saja memperlihatkan gelagatnya untuk mengenalku lebih jauh. Namun, aku selalu bersikap dingin pada bu Esti. Sejujurnya, aku sangat senang diperhatikan oleh bu Esti, namun aku juga tidak bisa tiba-tiba berubah menjadi seorang yang ceria disaat rasa sakit akibat disharmoni dalam keluargaku dan kisah cintaku masih saja menghantuiku.
Setiap pelajaran BK berlangsung, bu Esti selalu mencuri-curi pandangan lekat ke arahku. Keningnya berkerut menimpali guratan yang mulai membias pada pipi dan kantung matanya. Terkadang aku membalas tatapan matanya yang hitam kecoklatan, khas seorang wanita berdarah campuran. Aku tahu itu. Darah beberapa ras dari rumpun masyarakat memang telah menyatu dalam tubuhnya. Kulitnya kekuningan, tidak sawo matang atau kehitaman seperti kulit para penduduk pulau-pulau lain di Indonesia. Ya, beliau berasal dari timur, terlalu banyak pengaruh budaya dan pengaruh darah tiap suku mengalir di tubuhnya, darah yang berasal entah dari penduduk dari pulau sebelah atau darah dari benua negeri lain yang berjarak ratusan mil. Yang sejak ratusan tahun lalu pernah datang berdagang atau pernah berkuasa di negeri ini.
Nah, dengan kening yang berkerut di antara bungkus kerudung merah mudanya, beliau sering menatap dengan cermat siapa saja. Hal itu memperlihatkan kalau bu Esti memang seorang yang penuh perhatian terhadap orang-orang yang berbincang dengannya. Itulah ciri khas seorang psikolog bu Esti. Atau itu yang memang selayaknya dilakukan oleh seorang psikolog?
Berkat kehadiran bu Esti dalam hidupku, aku menjalani hari-hari dengan penuh semangat; persis seperti semangat ketika aku jatuh cinta pada Mulan dan Aulia. Beliau menjadi sumber optimismeku; mata air yang jernih, semacam santriwati yang tidak memiliki kesalehan yang menyebalkan, sejenis santriwati yang menganggap godaan sebagai mainan, bukan sesuatu yang harus dilawan, namun beliau tetap wanita terhormat sebab tidak tahu sikap lain. Aku tahu jika Mulan dan Aulia sudah menyakiti hatiku, namun bu Esti sudah memiliki suami sehingga beliau tak mungkin menyakitiku, karena aku memutuskan untuk mencintai bu Esti sebagai ibuku. Dengan cinta seorang anak terhadap ibunya itu, perlahan aku mampu menjadi seorang yang terbuka dan menemukan kepercayaan diriku lagi.